Dara

Rey memeluk Dara begitu erat. Perempuan itu sudah masuk ke alam mimpi usai dosa yang mereka lakukan beberapa menit lalu. Ada rasa bangga karena Rey sudah memiliki Dara seutuhnya. Namun rasa bersalah jelas merasuki hatinya. Ini salah, tapi tetap ia lakukan.

Melihat wajah teduh Dara, Rey tersenyum. "Bahkan jika aku harus mati di tangan Papamu, aku rela, Ra. Aku bersalah, dan aku memang pantas mendapatkan hukuman"

Rey meletakkan kepala Dara dengan pelan lalu ia bangun dari ranjang. Rey berdiri didepan jendela sembari menatap kerlap - kerlip lampu malam ibukota.

"Maafkan aku, Ma. Mama pasti kecewa dengan apa yang Rey lakukan. Tapi mungkin dengan begini, Rey bisa bersatu dengan Dara"

Pria tampan itu masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya di bawah shower. Entahlah, ada rasa senang dalam hati, tapi lebih pada rasa bersalah. Setelah bangun nanti, jelas Dara akan marah padanya. Bahkan mungkin akan membencinya.

Usai membersihkan diri, Rey kembali memakai pakaiannya. Dia menelpon anak buahnya untuk berjaga di depan apartemen Dara karena dirinya harus pergi ke suatu tempat.

"Pastikan tidak ada orang yang masuk kemari"

"Baik, Bos"

Rey menatap ke arah pintu sebelum benar - benar pergi. Ia masuk kedalam lift lalu menuju ke bestmen untuk mengambil mobilnya. Pria tampan itu mengendarai mobilnya menuju ke suatu tempat. Jalanan yang sudah mulai sepi membuatnya lebih cepat sampai di tempat tujuan. Jelas saja, sekarang pukul sebelas malam.

Akhirnya, Rey tiba di depan sebuah rumah mewah dengan pagar yang menjulang tinggi. Ia menghela nafas sebelum memutuskan meminta izin masuk kepada satpam.

"Pak, saya ingin bertemu dengan Tuan Axel"

"Waduh, Mas. Apa ndak sekalian sejam lagi. Pas tengah malam? Bertamu kok tidak tahu waktu"

"Maaf, tapi ini darurat. Ini tentang Nona Dara. Bilang pada Tuan Axel, Rey ingin bertemu"

Satpam tampak berdecak namun tak urung menghubungi Tuan mereka. Tak berselang lama, terlihat pintu rumah terbuka. Papa Axel dan Mama Raya keluar dan berdiri di teras.

"Silahkan masuk, Mas. Tuan sudah menunggu"

"Terima kasih"

Rey kembali melajukan mobilnya. Ia berhenti tepat di depan carport kemudian turun.

Papa Axel dan Mama Raya sempat saling pandang saat mengetahui jika Rey yang datang.

"Selamat malam, Om, Tante. Maaf mengganggu kalian tengah malam begini"

"Pasti ada hal penting kan? Jadi, katakan ada apa?" tanya Papa Axel to the point

Rey berlutut di depan kedua orang tua Dara. Dia menunduk dalam sebelum menatap kedua orang tua tersebut,

"Ada apa, Rey? Kenapa kamu berlutut di depan kam?" tanya Mama Raya

Rey berusaha menatap kedua orang tua Dara, "Aku kemari untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku. Aku bersedia di hukum apapun atas apa yang sudah aku lakukan"

Mama Raya menatap suaminya tak mengerti, "Sebenarnya apa yang terjadi?" kali ini Papa Axel yang bertanya

"Aku ... Aku sudah merenggut kesucian Dara"

Brugh

"Papa!" teriak Mama Raya

"Beraninya kau melakukan itu pada putriku! Dasar bajingan!"

"Pa sudah, Rey bisa mati"

Papa Axel tak menghiraukan, ia terus memukuli Rey hingga pria itu tak berdaya

"Pa, hentikan. Dia bisa mati!"

Teriakan Mama Raya tak diindahkan, hingga Opa Brama keluar dan menghentikan perbuatan putranya, "Dia sudah tak berdaya, Xel. Dia bisa mati!"

"Biarkan saja dia mati! Dia sudah menodai putriku!"

Opa Brama tertegun, namun otak warasnya masih bekerja, "Semua pasti ada alasannya. Kalau dia memang berniat jahat, dia tidak akan kemari dan mengakui kesalahannya!"

Kemarahan Papa Axel berangsur reda, dia mengusap wajahnya frustasi sembari menatap Rey dengan kesal, "Masuk dan jelaskan semuanya!"

Opa Brama menggeleng melihat putranya pergi begitu saja. Dia dan Mama Raya membantu Rey berdiri. Wajah pria itu sudah babak belur. Bahkan sudut bibir dan hidungnya mengeluarkan darah.

"Nyalimu besar juga anak muda. Tapi aku akui, kau berani juga. Aku rasa, kau memang cocok dengan cucuku"

Rey tersenyum walau bibirnya terasa perih, "Terima kasih, Opa. Aku tidak akan mengecewakanmu"

Mama Raya tersenyum tipis, Ia akui, Rey adalah pria yang bertanggung jawab. Masalah kesalahan yang dia lakukan memang tidak bisa dibenarkan. Tapi setidaknya, mereka bisa mendengarkan penjelasannya dulu.

Rey duduk didepan Papa Axel, Mama Raya dan Opa Brama.

"Sekarang jelaskan. Bagaimana caramu menodai putri kesayanganku!" Papa Axel sengaja menekankan kata putri kesayangan

Rey menatap semua orang bergantian, "Sebelumnya, mungkin Om sudah tahu bagaimana perasaan saya pada Dara"

"Tapi beginikah caramu mendapatkan putriku? Pengecut!!"

Rey menghela nafas, "Saya bukan pria seperti itu, Om. Kejadian ini diluar kendali saya"

"Halah! Alasan kamu saja!"

Opa Brama berdecak, "Kamu mau masalah ini cepat selesai atau tidak! Jangan menyela terus!"

Papa Axel berdecak, "Teruskan!"

"Saya memang mengawasi Dara beberapa waktu belakangan ini. Sebelumnya Dara sempat terlibat perdebatan dengan istrinya Ibra. Dan hari ini, ada orang yang berniat melecehkan Dara. Saya tidak tahu, dia ada hubungannya dengan Cantika atau tidak. Setelah membereskan pria tersebut, saya hendak mengantarkan Dara pulang. Namun di luar kendali saya, ternyata Dara dalam pengaruh obat"

Papa Axel, Mama Raya dan Opa Brama tak mampu menutupi keterkejutannya. Meski tak di jelaskan secata detail, mereka paham obat apa yang Rey maksud.

"Dara menolak saat saya mengantarnya pulang. Dia meminta di antar ke apartemen. Tapi setelah itu, kami ..."

"Kamu harus menikahi Dara secepatnya!"