Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Cari (Zia/Mati)
Kerusakan yang dia lakukan menciptakan kebisingan hingga membuat putri pemilik kost tersebut marah besar.
"Katakan saja berapa uangnya!!"
Mikhail kehabisan kesabaran, secercah harapan dalam hatinya hilang begitu saja kala pemilik suara itu bukan sosok yang dia mau.
Wanita cantik bermata sipit dengan kaca mata bertengger di hidung mancungnya itu masih menatap Mikhail dengan penuh amarah. Pintunya hampir lepas padahal baru saja renovasi tiga bulan lalu.
"17 juta."
Iya, dia paham itu adalah kesempatan dalam kesempitan. Mikhail mengerti otak wanita itu, hanya saja untuk berdebat mempemasalahkan harga dia sudah enggan.
Sejak tadi Mikhail bertanya tentang Zia dan wanita itu enggan menjawab jika dia belum berniat mengganti pintunya. Pintu kedua yang harus dia ganti lantaran sebelumnya dia juga merusak pintu kamar mandi Erika beberapa waktu lalu.
"Baik, berapa nomor rekeningmu."
Semua memang hanya tentang uang, satu bulan ini dia bahkan sudah mengorbankan hampir 700 juta dan itu semua berhubungan dengan Zia. Andai Kanaya tahu betapa borosnya dia, mungkin pujiannya tentang Mikhail yang tiba-tiba berubah jadi hemat hilang begitu saja.
"Gini kan enak, kamu kalau yang lihat Papa mungkin bukan 17 juta ... tapi 170 juta, paham?"
Sekilas perkataannya terdengar sangat menyebalkan, namun kembali lagi dia ingat bahwa dirinya juga hampir sama kala meminta ganti rugi pada Zia beberapa waktu lalu.
Suara wanita itu kini berbeda, terdengar lebih lembut dengan senyuman manis di wajahnya. Tampan, dan sebenarnya dia tidak tega meminta ganti rugi. Akan tetapi saat ini yang dia butuhkan hanya uang, itu saja.
"Sekarang katakan kemana dia? Tidak mungkin istriku pergi diam-diam sementara uang sewanya sudah aku bayar enam bulan ke depan."
Sengaja menyebut istri karena sejak awal mereka mencari tempat tinggal, Mikhail mengenalkan dirinya sebagai suami agar dia bebas masuk kamar Zia. Memang sedikit egois dan memaksakan kehendak, sampai menciptakan status sendiri seenaknya.
"Mana kutahu ... istrimu hanya mengembalikan kunci tanpa mengatakan apa-apa malam itu," tutur wanita itu kemudian, perkataan yang sukses membuat ubun-ubun Mikhail panas.
"Malam?"
Mikhail mengerutkan dahi, pria itu kembali menajamkan telinga karena merasa ini sedikit tidak wajar. Jika memang Zia pergi baik-baik kenapa harus malam hari.
"Iya, kemarin malam lebih tepatnya."
Mikhail menarik napasnya dalam-dalam, rahangnya mengeras dan telapak tangannya kini terasa gatal. Ingin sekali rasanya dia melayangkan satu tamparan keras pada wanita yang berani memalaknya malam ini.
"Kenapa tidak dilarang?!" Mikhail membentak wanita itu layaknya telah melakukan kesalahan fatal.
"Kenapa jadi marah? Dia pamit baik-baik dan keluarga kami bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain."
Sederhana saja, kepergian Zia malam itu tidak membuatnya pusing. Dia pamit baik-baik dan tidak mengatakan tujuannya sama sekali, dan bagi otak bisnis seperti keluarga Marisa selagi dia tidak rugi maka tidak masalah.
Mikhail mengalah, daripada salah satunya naik darah lebih baik dia pergi dan mencari wanita itu ke tempat lain. Entah kemana dan bagaimana caranya, yang jelas Mikhail akan berusaha semampunya.
Gerimis mulai melanda ibu kota, kendaraan mulai lenggang lantaran senja sudah menjelang di ufuk sana. Mikhail tak peduli meski hari kian gelap dan angin berhembus menusuk kulitnya, terasa dingin tapi ini bukan sebuah penghalang.
-
.
.
Rela menurunkan harga diri dan dia mengunjungi tempat tinggal Erika saat ini, pria itu menerobos masuk meski penghuninya belum mempersilahkan.
"Jangan membohongi saya! Kamu mau saya laporkan kepada pihak kampus karena sikap kurang ajar kamu ini?"
Yang kurang ajar siapa dan yang marah siapa, Erika bukan tanpa alasan berusaha mempertahankan istananya. Kamarnya berantakan dan akan banyak pemandangan yang mungkin mengejutkan Mikhail jika melihatnya.
"Saya nggak bohong, Pak ... memang Zia tidak ada di sini, saya juga coba hubungi tapi nggak bisa."
Dia sudah bicara sejujur-jujurnya, setelah pulang dia memang mencoba menghubungi Zia. Tak hanya itu, Zidan juga dia hubungi dan jawabannya lebih menyebalkan lagi, entah kenapa pasangan itu tidak ada yang waras, pikirnya.
"Zia!! Kamu dimana? Keluar!! teriak Mikhail mengelilingi kamar berukuran 6 meter persegi dengan segala serba serbinya ada di satu ruangan.
"Pak-pak!! Ngapain!! Nggak bakal ada dia di sana."
Erika panik luar biasa kala Mikhail memeriksa lemari pakaiannya. Sungguh pikiran sempit dan buruk sekali, mana mungkin Zia muat di lemari itu.
"Kalian pasti bekerja sama? Iya kan?!!" Dia bertanya dengan suara luar biasa dingin, pria itu menatap tajam Erika bahkan tatapan itu seakan ingin merebusnya hidup-hidup.
"Kerja sama apanya, Pak ... saya dan Zia mana mungkin berani melakukan hal macam-macam." Meski jantungnya berdegub tak karuan lantaran ketakutan yang amat luar biasa, akan tetapi dia berusaha menjelaskan pada Mikhail jika kecurigaannya salah.
"Kamu pikir saya percaya? Katakan dimana Zia sekarang?!!"
"Demi Tuhan saya nggak tau, Pak! Untuk apa saya bohong."
Hendak menekan Erika agar mengaku juga percuma, karena pada faktanya kamar Erika yang berantakan ini sudah dia buat makin berantakan pun tetap tidak ada hasilnya.
Zia benar-benar meninggalkannya, Mikhail kembali merasa gagal sebagai laki-laki. Langkahnya kalah cepat dengan keputusan Zia, pria itu hanya bisa mengelus dada sembari berharap Zia belum jauh.
"Satu-satunya tempat Zia pulang adalah rumahnya, tapi saya sudah tanyakan pada Ricko dan Zia belum pulang sejak enam bulan lalu, Pak."
Langkahnya terhenti usai mendengar ucapan Erika, pria itu lupa jika Zia juga punya keluarga. Mikhail benar-benar panik hingga tak berpikir tentang hal itu sebelumnya.
"Kamu yakin?" tanya Mikhail dengan nada yang sedikit lembut, pria itu sepertinya sudah lelah sejak tadi selalu bicara disertai emosi yang tak terkira.
"Yakin, Pak."
Kedatangan Mikhail seakan menjawab semua pertanyaan Erika tentang Zia selama ini. Kecurigaannya terjawab meski tidak ada pengakuan langsung tentang hubungan mereka oleh Mikhail.
Mana mungkin tidak terjadi apa-apa jika perginya Zia membuat Mikhail sepanik ini. Sementara Zidan saja tidak sekhawatir Mikhail bahkan tidak menunjukkan panik sama sekali dan mengatakan itu mungkin saja terjadi karena Zia berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Seperti putus asa namun bukan putus asa, dia belum menyerah dan tidak akan pulang sebelum menemukan Zia. Ke ujung dunia pun akan dia kejar jika perlu, Mikhail tak pernah main-main jika menginginkan seseorang.
"Tidak pernah marah, sekalinya marah kamu menyiksa ya," tutur Mikhail tertawa sumbang seakan menertawakan dirinya sendiri, pria itu bersandar di kursi kemudi sembari menatap rintik hujan di luar sana.
Mikhail memulai kembali pencarian Zia. Malam ini hujan dan mungkin wanita itu akan kedinginan, Mikhail menghela napas perlahan dan kembali penyesalan itu menggema di relung hatinya.
"Aku hanya bercanda, Zia ... kenapa kamu anggap serius?" Mikhail berteriak dalam kesendirian, dia hanya mengetes Valenzia setelah kejadian menyebalkan pagi itu. Sejak hari pertama, kerinduan itu sudah hampir membuatnya lelah, dan kini Zia benar-benar membuatnya seakan hampir gila.
The number you are calling
"Ya Tuhan, Zia!! Angkat tolonglah!!"
Mikhail menekan nomor itu lagi dan lagi, sungguh dia sama sekali tidak akan baik-baik saja sebelum bisa mendengar suara lembut Zia.
Matanya lebih banyak fokus ke ponselnya padahal dia melaju dengan kecepatan yang masih sama tingginya. Jemarinya bergetar dan konsentrasinya mulai berkurang kala cahaya terang dari arah berlawanan tiba-tiba menghalangi pandangannya.
Tiiiiit Tiiitt
"Astaga!! Mama!!"
BRAAAAAAAAKKK
Tbc