Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kepercayaan seseorang dan tidak perlu waktu lama untuk kehilangannya.
Begitupun yang Indah rasakan. Rumah tangganya hancur berkeping-keping akibat perselingkuhan suaminya.
Setelah menjanda, Indah menjadi TKW di negeri Arab dan selama lima belas tahun dia meninggalkan ketiga anaknya.
Seluruh derita kerinduan dia pendam sendiri dengan satu tekad, bahwa dia akan jauh lebih baik setelah ini.
Perceraian itu meninggalkan trauma mendalam dalam hidupnya, hingga dia tidak lagi mempercayai cinta. Saat cinta mendekatinya, dia selalu menepisnya dan menganggap bahwa cinta itu akan kembali menyakitinya.
Ketika Indah menjadi jutawan, siapa yang akan meninggalkannya? siapa yang tidak tertarik padanya? bahkan sang mantan suamipun ingin kembali padanya.
Akankah Indah kembali pada mantan suaminya seperti yang diminta anak-anaknya??
"Kejahatanku adalah memercayainya. Hukumanku adalah pengkhianatannya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zandzana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil lagi
Saat Mikail berusia 5 bulan aku ternyata sudah hamil lagi. Awalnya kehamilan ini aku rahasiakan dari suamiku karena aku takut dia akan marah. Tapi dia curiga karena aku jika pagi morning sickness, sering lesu, pagi-pagi sudah ngantuk.
"Jangan-jangan hamil lagi bun?" tanyanya
"Ga ah" elakku
"Dulu waktu hamil adek, bunda juga kaya gini"
"Mungkin aku kecapekan aja Yah, maklum kurang tidur" lagi-lagi aku mengelak.
"Oh, ya sudah, syukurlah. Kasihan adek kalau bunda ngisi lagi" jawabnya sambil menyeruput teh hangatnya pagi ini sebelum berangkat kerja.
Setelah suamiku berangkat kerja aku mengambil test pack yang aku sembunyikan di bawah baju di lemari pakaian. Aku terdiam mengamati garis dua pada benda itu.
Bahagia campur panik tentu aku rasakan. Bohong jika aku tidak mengkhawatirkan Mikail. Bagaimanapun dia masih sangat kecil dan masih sangat butuh asiku. Itulah sebabnya, aku menyembunyikan kabar baik ini dari suamiku. Pertama karena aku tidak mau dia kefikiran terhadap anak kami yang masih kecil, dan yang kedua aku takut dia marah. Tapi bagaimanapun juga, hamil ini tidak bisa disembunyikan, tiap hari perutku akan membesar dan pada akhirnya akan ketahuan. Dan jikapun nanti dia marah, terserahlah, toh ini akibat ulahnya juga.
Dua minggu setelah aku mengetes sendiri kehamilanku, aku memberanikan diri untuk ke Klinik Citra Adinda tempat langgananku. Tak perlu menunggu lama, akhirnya tiba giliranku.
"Ada keluhan apa mbak Indah?" bu Rini yang sudah hafal dengan ku langsung bertanya ketika aku duduk di hadapannya.
Dengan gugup aku membuka tas dan menyerahkan hasil test pack bergaris dua itu pada beliau.
Bu Rini tersenyum saat menerima benda itu. Setelah mengamati dia lalu berdiri dan mulai mengeluarkan alat untuk memeriksa denyut nadi dan tensi darahku.
"Top cer juga suami kamu mbak" ucapnya sambil terkekeh.
Tak urung hal itu juga membuatku ikut terkekeh.
"Akunya yang salah ini buk" jawabku
"Loh kok bisa?" tanyanya
"Habis nifas aku cuma suntik dua kali, terus bulan kemarin ga suntik. Fikirku biasa saja, ehh kok tau-tau malah aku teler" terangku.
"Mbak kan memang jarang mens kan?" lanjutnya
"He eh buk, itulah makanya saya itu ga suntik bulan kemarin. Karena fikirku nantilah suntiknya setelah mens lagi, ehh kok malah mlendung" ucapku sambil tertawa kecut
"Rezeki mbak" jawab bu Rini lagi
"Tapi anakku masih kecil loh buk, baru empat bulan lebih. Gimana ini"
"Ya ga gimana-gimana toh mbak, mbak jalani aja, toh yang dua kemarin aja lancar kok, yang ini pasti lebih lancar" ucap Bu Rini seperti tahu dengan kegelisahan ku.
"Asi buat si kecil gimana buk?" tanyaku khawatir.
"Selagi tidak berpengaruh buat mbak Indah, tidak apa-apa terus mbak kasih ke bayinya. Tapi kalau ngefek ke mbak di stop, ganti sufor" terangnya sambil terus memeriksa tensi darahku.
"Sudah, sekarang berbaring dulu, kita USG, kita lihat sudah berapa minggu usia kehamilannya" ucapnya lagi.
Aku menuruti perintahnya dengan berbaring dan bu Rini mulai memberikan krim di atas perutku, dan mulai memutar-mutarkan alat di atas perutku. Aku menoleh kearah layar komputer yang tak jauh dari tempatku berbaring. Tak lama pemeriksaan itu, lalu keluarlah hasilnya dalam bentuk Print out dan bu Rini membimbingku turun dari ranjang lalu aku kembali duduk di kursiku. Sedangkan bu Rini kembali duduk di kursinya.
"Usianya sudah empat minggu" ujarnya sambil matanya tak berpaling dari kertas hasil usg tadi.
Aku lemas mendengarnya. Aduh gimana ini ucapku dalam hati.
"Jaga kesehatan, jangan stress, karena kalau mbak stress berpengaruh terhadap asi dan tentu saja berpengaruh terhadap kehamilannya" lanjut bu Rini.
"Aku takut buk" ucapku akhirnya
"Takut kenapa mbak?" tanyanya yang langsung menatap kearahku
"Aku takut suami ku marah kalau tahu aku hamil lagi"
Tak kusangka bu Rini malah terkekeh mendengar ucapanku.
"Jangan takut, justru ini kabar baik. Insha Alloh mas Andi senang mbak" jawabnya seolah menenangkan ku.
"Di luar sana banyak orang yang bertahun-tahun ingin punya anak tapi masih belum diberi sama Alloh, dan mbak, mbak ini sangat beruntung" terangnya lagi.
"Iya sih buk, tapi saya bingung"
"Ingat, jangan stress, asinya nanti terganggu dan janinnya juga"
"Santai saja ya, rileks, nikmati, syukuri" tambahnya.
Setelah cukup banyak nasihat dan wejangan dari bu Rini aku segera pamit pulang setelah sebelumnya menyelesaikan segala administrasi.
Sepanjang jalan di motor aku melamun, memikirkan bagaimana caranya aku memberitahu suamiku. Lamunanku buyar saat suara panjang klakson mobil di depanku. Dengan gugup aku langsung meminggirkan laju motorku dan berhenti. Terlihat sopir mobil tersebut mengumpat-umpat kearah ku.
"Astaghfirullah hal adzim" ucapnya sambil mematikan motor setelah aku sudah dipinggir.
Ku usap wajahku berkali-kali sambil terus beristighfar. Bayanganku langsung tertuju kepada kedua buah hatiku yang menunggu di rumah. Entah apa jadinya pada mereka jika tadi terjadi sesuatu terhadapku. Kembali aku mengusap wajahku sebelum akhirnya aku fokus dengan laju motorku tanpa melamun lagi.
...++++++++++...
"Enak ya mbak, anaknya sudah dua" ucap Pak Herman saat kami berkump di ruang guru jam istirahat.
"Alhamdulillah pak" jawabku
"Buk Indah sih lancar pak Herman, di lempar ****** saja bisa hamil dia" seloroh pak Agus yang disambut tawa oleh yang lainnya.
"Ihh pak Agus ini" ucapku dengan wajah merah karena malu.
"Lah iya pak, kita yang nunggu lama saja belum satupun, lah buk Indah sudah dua saja" selorohnya lagi sambil masih terkekeh.
"Rezeki pak" sahutku.
"Bagi tips nya buat kita buk Indah, gimana caranya biar cepat hamil" tanya bu Ani yang sudah tujuh tahun menikah belum juga punya anak
Aku terkekeh geli mendengar pertanyaannya.
"Kalau tidur jangan pakai ****** buk tipsnya" lagi-lagi yang menjawab pak Agus.
Kembali ruang kantor ramai dengan tawa kami.
"Sudah-sudah, kasihan mbak Indah. Nanti dia merajuk loh" Pak Joko kepala sekolahku menengahi.
Begitulah suasana kami siang itu di SMA tempatku mengabdi. Kita mengobrol sambil bercanda ringan. Dan tentu saja kali ini yang jadi bahan candaan mereka adalah aku. Apa jadinya ini jika mereka tahu kalau aku saat ini hamil lagi. Bisa-bisa tidak berhenti mereka menggodaku.
Sebenarnya aku bersyukur mengingat jika pak Herman, pak Agus dan buk Ani yang sampai saat ini belum juga dikarunia anak. Itulah rezeki Illahi, tidak hanya melulu tentang harta, tetapi bisa yang lainnya, seperti aku saat ini yang sedang mengandung.
Memang akan terpancing oleh godaan syaitan.Tahniah ya aurthor..hampir realistik novel garapanmu.salam dari peminat novelmu di Kajang Malaysia..sekali lagi tahniah..teruskan berkarya.
aku klo di sruh milih mending sama yg di arap...tuan muda lagi 😆😆😆😆