Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana licik emelia
Saat Nyonya Bernie memulai rencananya untuk "memperbaiki" Emelia, kastil menjadi medan pertempuran etiket dan martabat, dengan Gideon sebagai perisai setia Emelia dan Emelia sebagai Nyonya Adipati yang pantang menyerah. Hari-hari ke depan tidak akan mudah, tetapi dengan dukungan satu sama lain, mereka siap menghadapi tantangan apa pun.
Pagi hari emelia diam diam bangun terlebih dahulu emelia menghampiri gerya
" Gerya gerya ", memanggil gerya dengan pelan
" Nona ada apa ", jawab gerya yang baru saja membersihkan taman belakang
" Sttt , aku punya rencana bagaimana kalau kita kerjain saja nyonya bernie dengan Putri Anna ", kata emelia pelan
" Nona ya ampun saya setuju,hihihi",
Gerya mendekatkan telinganya, matanya berbinar nakal. Sebagai pelayan yang sudah lama jengah dengan sikap kaku dan merendahkan dari Nyonya Bernie, tawaran Emelia bagaikan angin segar.
"Apa rencananya, Nona?" bisik Gerya tidak sabar.
Emelia tersenyum misterius. "Nyonya Bernie sangat membenci segala sesuatu yang 'berdebu' dan 'tidak berkelas', bukan? Dan dia bersikeras ingin mengajariku cara menjamu tamu di taman sore nanti. Gerya, apakah kau ingat di mana paman kebun menyimpan pupuk organik yang baru datang kemarin? Yang aromanya sangat... 'khas' pedesaan?"
Gerya menutup mulutnya, menahan tawa. "Maksud Nona, pupuk kandang yang baunya menyengat itu? Ada di gudang belakang, Nona!"
"Bagus," Emelia mengedipkan sebelah matanya. "Pastikan paman kebun menyebarkannya di sekitar meja teh paviliun barat, tepat satu jam sebelum pelajaran dimulai. Katakan saja itu perintah dariku untuk menyuburkan bunga mawar favorit Duke. Oh, dan satu lagi..."
Emelia merogoh kantong gaunnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan lengket. "Ini sirup bunga yang sangat manis. Oleskan sedikit saja di kursi yang akan diduduki Putri Anna. Tipis saja, agar tidak terlihat, tapi cukup untuk mengundang 'tamu-tamu kecil' bersayap yang sangat menyukai gula."
"Nona, Anda benar-benar cerdik!" seru Gerya tertahan. "Putri Anna yang sangat takut pada serangga itu pasti akan melompat-lompat tidak karuan!"
"Ingat Gerya, pastikan tidak ada yang melihatmu. Kita harus terlihat sangat polos saat mereka mulai mencak-mencak nanti," Emelia kembali ke posisinya semula, berpura-pura sedang mengagumi tanaman mawar dengan wajah tak berdosa.
Satu jam kemudian, Gideon keluar ke taman mencari istrinya. Ia menemukan Emelia sedang duduk manis di bangku taman sambil membaca buku, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kau tampak sangat bersemangat pagi ini, sayang," ujar Gideon sambil mengecup puncak kepalanya.
"Tentu saja, Duke. Aku ingin memberikan kesan yang 'tak terlupakan' bagi ibu angkatmu hari ini," jawab Emelia dengan senyum yang terlalu manis hingga membuat Gideon sedikit curiga.
"Apa yang kau rencanakan, Emelia?" tanya Gideon sambil tertawa kecil.
"Hanya sedikit perkenalan dengan kehidupan desa yang asri, Gideon. Kau bilang kau akan menjadi perisaimu, kan?" Emelia menarik kerah baju Gideon dan berbisik, "Maka tugasmu nanti adalah menahan tawa, apa pun yang terjadi. Bisakah kau melakukannya?"
Gideon menatap mata Emelia yang berkilat jenaka. Ia menyadari bahwa istrinya bukan hanya memiliki keberanian baja, tapi juga kecerdikan yang nakal. "Perintah diterima, Nyonya Adipati. Aku tidak sabar melihat pertunjukannya."
Dari kejauhan, terlihat Nyonya Bernie dan Putri Anna berjalan mendekat dengan dagu terangkat tinggi, tidak menyadari bahwa sore itu, martabat "bangsawan" mereka akan diuji oleh aroma pupuk kandang dan kawanan lebah yang lapar.
Emelia segera memperbaiki posisi duduknya dan berpura-pura sangat serius membaca bukunya kembali. Gideon, yang sudah diperingatkan, berusaha mengatur napas dan memasang wajah sedingin es, meskipun matanya berkilat geli saat melihat Gerya memberikan isyarat jempol dari balik semak-semak.
"Kalian di sini rupanya," sapa Nyonya Bernie dengan suara melengking. Ia berhenti sekitar lima langkah dari meja teh dan tiba-tiba hidungnya kembang kempis. "Bau apa ini? Apakah ada binatang mati di sekitar sini?"
Putri Anna, yang berjalan di sampingnya dengan gaun sutra berwarna peach yang sangat mewah, ikut menutup hidungnya dengan saputangan berenda. "Oh astaga, baunya sangat tajam sekali. Gideon, apakah sistem drainase kasti ini sedang bermasalah?"
Emelia berdiri dengan wajah polos yang sangat meyakinkan. "Selamat sore, Nyonya Bernie, Putri Anna. Ah, bau itu? Itu adalah aroma kesuburan. Saya baru saja meminta tukang kebun untuk memberikan perhatian khusus pada bunga-bunga mawar kesayangan Duke. Di desa saya, ini adalah tanda bahwa taman akan tumbuh dengan sangat indah."
Gideon terbatuk pelan, mencoba menyembunyikan tawa yang hampir meledak saat melihat Nyonya Bernie hampir pingsan karena aroma pupuk kandang yang semakin menguat tertiup angin.
"Ini keterlaluan! Tidak berkelas sama sekali!" gerutu Nyonya Bernie. Namun, karena tidak ingin terlihat kalah sebelum "pelajaran" dimulai, ia memaksakan diri untuk berjalan menuju meja. "Anna, duduklah. Kita harus segera memulai. Abaikan saja bau pedesaan yang menjijikkan ini."
Anna dengan anggun mengibaskan gaunnya dan duduk di kursi yang telah disiapkan—kursi yang sudah "diberkati" oleh sirup bunga buatan Emelia.
Baru saja Nyonya Bernie membuka mulut untuk memberikan ceramah pertamanya tentang cara menuang teh yang benar, terdengar suara dengungan halus. Satu, dua, lalu lima ekor lebah besar mulai berputar-putar di sekitar kepala Putri Anna.
"Gideon... ada sesuatu yang terbang di telingaku," cicit Anna, wajahnya mulai pucat.
"Hanya lebah, Putri. Mereka juga menyukai bunga, sama seperti Anda," jawab Gideon singkat, menjaga jarak sepuluh langkah sesuai perjanjiannya dengan Emelia.
Tiba-tiba, Anna memekit. Seekor lebah mendarat tepat di sandaran kursinya yang lengket, disusul oleh beberapa ekor lainnya yang mulai merayap naik ke bahu gaun mahalnya.
"KYAAA! JAUHKAN MEREKA DARIKU! MEREKA MENEMPEL PADA GAUNKU!" Anna melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas panik ke udara. Gerakannya yang tidak beraturan justru membuat lebah-lebah itu semakin agresif.
"Anna! Jaga martabatmu! Berhenti melompat seperti orang gila!" teriak Nyonya Bernie yang ikut panik karena beberapa lebah mulai beralih ke arahnya.
Emelia berdiri dengan tenang, menahan tawa hingga perutnya sakit. "Oh, jangan panik, Putri Anna! Semakin Anda bergerak, mereka semakin senang berteman. Di desa, kami menyebutnya 'tarian bunga'."
"TIDAK! AKU BENCI TARIAN INI! GIDEON, TOLONG AKU!" Anna berlari kencang menuju paviliun, melupakan semua etiket anggun yang selama ini ia banggakan. Nyonya Bernie, yang terkena serangan bau pupuk dan kepanikan Anna, terpaksa ikut berlari menyusul sambil terus mengumpat dalam bahasa bangsawan yang kasar.
Setelah mereka cukup jauh, tawa Emelia akhirnya pecah. Ia tertawa terpingkal-pingkal hingga harus berpegangan pada lengan Gideon.
Gideon pun tidak sanggup lagi menahan diri. Ia tertawa lepas, suara tawanya yang berat menggema di taman itu. "Tarian bunga? Kau benar-benar luar biasa, Emelia. Aku tidak pernah melihat Nyonya Bernie berlari secepat itu seumur hidupku."
"Bukankah aku sudah bilang?" kata Emelia sambil menghapus air mata tawanya. "Gadis desa mungkin tidak tahu cara memakai korset dengan benar, tapi kami tahu cara menghadapi serangga dan... kotoran."
Gideon merangkul pinggang Emelia, menatapnya dengan kekaguman yang makin dalam. "Aku rasa mereka butuh waktu lama untuk mandi dan menghilangkan bau ini. Jadi, apakah Nyonya Adipati ingin melanjutkan istirahatnya yang tertunda?"
"Dengan senang hati, Duke," jawab Emelia manja.
Namun, di balik kegembiraan mereka, mata tajam Nyonya Bernie mengintip dari jendela paviliun barat dengan kemarahan yang membara. "Gadis sialan. Kau pikir kau sudah menang? Ini baru permulaan."