Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kolega dingin
Sore itu, kantor terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena beban pekerjaan, melainkan karena kehadiran yang asing dan dingin.
Erwin adalah kepala departemen hukum dan kolega terdekat Erick yang dulu seorang pria yang didominasi oleh logika, kalkulasi, dan sikap skeptis yang kental. Ia juga satu-satunya orang di kantor yang mengetahui dengan pasti sejauh mana jurang es yang memisahkan Erick dan Aluna sebelum tragedi amnesia.
Aluna duduk di meja kerja, punggungnya menegang saat mendengar suara rendah Erwin berbincang dengan Erick di seberang bilik.
Sudah seminggu sejak Erick kembali bekerja dengan kondisi memori yang terhapus, dan Erwin datang menjenguk dengan dalih menyerahkan dokumen.
Namun, Aluna tahu kunjungan itu lebih dari sekadar urusan berkas.
Erwin datang untuk menguji keanehan yang kini menyelimuti rekannya.
Erick yang sekarang, Erick yang amnesia, terlalu ceria, terlalu terbuka, dan yang paling mengkhawatirkan bagi Aluna, terlalu menyayangi. Ia adalah kebalikan mutlak dari CEO dingin yang dikenal Erwin.
“Kau terlihat jauh lebih santai, Rick,” kata Rian, suaranya datar seperti lantai marmer.
“Kukira kecelakaan itu membuatmu stres, tapi ternyata kau terlihat... hampir bahagia. Mungkin amnesia punya efek samping.”
Erick tertawa kecil, tawa yang dulu tak pernah Aluna dengar, selembut beludru.
“Mungkin. Dunia lama terasa asing, tapi yang baru ini... kurasa aku menyukainya. Apalagi aku punya pendamping yang sempurna untuk mengurus semua kekacauan ini.”
Aluna merasakan panas merayap di pipinya.
‘Pendamping yang sempurna.’
Kalimat itu terasa seperti pedang bermata dua, sangat manis, namun begitu rapuh.
Erwin melipat lengannya. Matanya yang tajam beralih ke Aluna, yang kini pura-pura fokus pada layar ponselnya.
“Ah, ya. Aluna.” Erwin menyebut nama itu dengan jeda dingin, seolah itu adalah nama suatu penyakit.
“Kami semua terkejut melihatmu kembali. Seingatku, kau sudah bersiap mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan passion senimu, bukan?”
Aluna menggenggam ponsel dengan kuat. Ia tahu Erwin sengaja memancing.
Dulu, Aluna pernah berniat keluar dari perusahaan karena merasa terjebak dalam bayangan Erick. Ia merasa cintanya tidak dihargai dan mimpinya diabaikan. Erwin tahu semua itu.
“Erwin,” Erick memotong, nada suaranya sedikit berubah. Nada itu belum marah, baru peringatan.
“Aku hanya berkata jujur, Rick,” balas Erwin, menahan tatapannya pada Aluna.
“Aluna, kau terlihat lelah. Kau terlalu sering mengurus Erick akhir-akhir ini. Tapi memang ini yang terbaik, kan? Setidaknya ada yang mengurusnya di rumah, karena terus terang, dulu passion-mu memang bukan di kantor. Kariermu di perusahaan ini selalu jadi formalitas, tempat aman untuk berlindung, bukan ambisi. Kupikir kau sudah bosan menjadi... bayangan.”
Sindiran itu tajam, menusuk tepat di ulu hati Aluna, membangkitkan semua keraguan dan rasa sakit masa lalu. Ia mendongak, bersiap membalas, tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Erick sudah bangkit.
Gerakan Erick tidak lagi lugu atau canggung seperti biasanya. Ada sesuatu yang instingtif dan kuat dalam caranya berdiri, tegap, memblokir pandangan Rian ke arah Aluna. Tubuhnya kini menjadi perisai.
Keheningan seketika menyelimuti ruang kerja itu. Beberapa kolega di dekat mereka berpura-pura sibuk, namun telinga mereka pasti mencuri dengar.
“Cukup, Erwin!” Suara Erick rendah, tetapi di dalamnya terselip lapisan es yang familiar, es dari Erick yang dulu, hanya saja, es ini diarahkan pada orang lain.
Erwin, yang terbiasa dengan otoritas Erick, terkejut melihat intensitas ini. Ia tersenyum tipis, mencoba meremehkan situasi.
“Astaga, Rick, santai saja. Aku hanya bergurau. Kenapa kau protektif sekali? Jangan bilang kau sampai lupa siapa Aluna yang sebenarnya.”
Erick melangkah maju, tangannya mengepal, sorot matanya kini dipenuhi gairah dan amarah yang tulus. Ia tidak hanya membela, ia menyerang balik dengan emosi murni yang tak bisa dibendung.
“Aku tidak lupa apa pun yang penting,” ujar Erick, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan.
“Yang kutahu adalah apa yang ada di hadapanku, dan apa yang kurasakan di sini.” Erick menyentuh dadanya.
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan soal masa lalu, dan aku tidak peduli dengan gosip atau sejarah kalian. Yang aku tahu, Aluna ada di sini, setiap hari, sejak aku membuka mata tanpa memori. Dia merawatku. Dia melindungiku dari kebingungan dan ketakutan. Dia tidak pernah meninggalkan sisiku.”
Erick menoleh sekilas ke arah Aluna, tatapannya lembut, kemudian kembali menatap Erwin dengan tatapan mengintimidasi.
“Kau bertanya kenapa aku protektif? Itu pertanyaan bodoh. Bagaimana mungkin aku tidak melindungi belahan jiwaku?”
Kata-kata itu menggantung di udara seperti guntur yang baru saja selesai bergemuruh.
Erwin terdiam. Senyum sinisnya menghilang, digantikan oleh ekspresi kaget yang murni dan tak terduga. Ia adalah seorang pria yang terbiasa menganalisis data dan fakta, dan kalimat itu adalah anomali yang tidak dapat diproses. Erick yang ia kenal akan mencibir konsep romansa klise seperti itu, apalagi mengucapkannya untuk Aluna.
“Soulmate?” Erwin bergumam, seolah sedang membaca istilah asing. “Rick, kau bicara apa? Kau...”
“Aku bicara kebenaran,” potong Erick tegas. “Dan jika kau datang ke sini hanya untuk mencoba menyakiti perasaannya atau menghinanya, sebaiknya kau tinggalkan berkasmu dan pergi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun, terutama kolegaku sendiri, mengucapkan kalimat sinis tentang wanita yang kurasa diciptakan untukku. Kau tidak mengenalnya, Erwin. Bukan yang sekarang, dan mungkin, tidak juga yang dulu.”
Aluna di belakangnya, terhuyung-huyung secara emosional. Tubuhnya terasa dingin dan panas secara bersamaan.
‘Belahan jiwa.’
Erick yang dingin, yang pernah melupakannya di acara penting, yang jarang mengucapkan terima kasih, kini membela dirinya dengan kata-kata suci dan gairah yang ia dambakan selama bertahun-tahun.
Ini adalah Erick yang selalu ia inginkan. Penuh gairah. Protektif. Menganggapnya segalanya.
Erwin menghela napas, menyadari bahwa ia telah kalah dalam pertarungan emosi ini. Ia mengambil berkas dan meletakkannya dengan keras di meja terdekat.
“Baiklah, Rick,” kata Erwin, tatapannya kini berubah, tidak lagi meremehkan, tetapi sangat curiga. Mata tajam itu beralih dari Erick, berhenti sejenak pada Aluna, seolah mencoba menembus pertahanan kebohongannya.
“Aku mengerti. Semoga amnesia ini tidak bertahan selamanya, karena aku tidak yakin perusahaan bisa bertahan dengan CEO yang mendadak puitis.” Erwin berbalik dan berjalan pergi tanpa pamit lagi.
Setelah Erwin hilang di balik pintu lift, Aluna mendapati dirinya masih terperangkap di belakang punggung Erick.
Erick berbalik, matanya yang hangat mencari matanya. Amarahnya mereda, digantikan oleh kekhawatiran yang jujur.
“Kau baik-baik saja?” bisik Erick, tangannya secara refleks menyentuh bahu Aluna, meremasnya lembut.
“Maafkan aku jika aku terlihat kasar. Aku hanya... aku benci melihat orang bicara buruk tentangmu, Lun. Itu membuatku marah.”
Aluna tidak bisa berbicara. Ia hanya bisa menatap mata Erick yang jernih, yang sekarang memancarkan ketulusan yang mematikan.
Ia meraih tangan Erick yang menyentuh bahunya, mencengkeramnya erat. Rasa bersalah menghantamnya dengan gelombang dingin yang dahsyat.
‘Bagaimana bisa kau mengucapkan kalimat itu, Erick?’ batin Aluna, matanya berkaca-kaca.
Saat itu, Aluna menyadari bahwa Erick yang baru telah menjadi cinta sejatinya, dan cinta sejatinya itu adalah hasil dari kecelakaan yang ia tutupi.