Apa jadinya jika dua orang sahabat memiliki perasaan yang sama, tapi sama-sama memilih untuk memendam perasaan itu daripada harus mengorbankan persahabatan mereka? Itulah yang saat ini dirasakan oleh dua orang sahabat, Bulan dan Bintang.
Bulan, sahabat sejak kecil seorang Bintang, menyukai pemuda itu sejak lama tapi perasaan itu tak pernah terungkap. Sementara Bintang, baru menyadari perasaannya terhadap gadis cantik itu setelah dirinya mengalami kecelakaan.
Keduanya terjebak dalam perasaan yang tak terungkap. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Keduanya hanya tahu bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Tapi, akankah persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih?
---------------------------------------------------------------------------
"Lo keras kepala banget! Lo gak tau apa gue khawatir, gue sayang sama lo." gumam gadis itu lirih, bahkan hampir tak terdengar.
"Lo ngomong apa tadi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Tulusnya perhatian Bulan
Seperti biasa, Bulan bangun lebih awal ketika mendengar suara azan subuh dari masjid terdekat. Setelah selesai dengan ibadahnya, Bulan tidak sengaja berjalan di depan kamar Bintang. Ia menoleh ke arah pintu dan berharap bahwa Bintang sudah sedikit lebih baik saat ini.
Bulan akhirnya melangkahkan kakinya untuk melihat kondisi Bintang. Tapi ketika Aksa memanggilnya, Bulan pun langsung menurunkan tangannya dari kenop pintu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk melihat Bintang, digantikan dengan berbalik arah dan menghampiri sang kakak.
"Iya bang, ada apa?" Sahutnya.
Aksa yang memanggil dari arah kamarnya, membuat Bulan langsung memasuki kamar kakaknya itu. Baru tiba di depan pintu, ia bisa melihat Aksa yang seperti sedang mencari sesuatu.
"Lo ada liat kemeja gue gak, dek?" Ujar Aksa sembari mencari di dalam lemari nya.
Bulan menggelengkan kepalanya, ia merasa pusing dengan kebiasaan Aksa yang suka lupa meletakkan barangnya entah dimana. Bulan pun berjalan mendekat, dan membantu Aksa mencarinya.
"Kemeja yang mana, bang? Lagian sih, lo suka banget taruh barang di mana-mana, ribet sendiri kan jadinya?" Ujar Bulan sembari mengomeli.
"Yaelah, malah ceramah ni bocah. Itu lho, kemeja abu-abu lengan pendek yang biasa gue pake." Ujar Aksa yang masih sibuk membongkar laci lemarinya.
Bulan hanya terkekeh menanggapinya, komunikasinya dengan sang kakak memang bukan terlihat seperti kakak beradik, tapi layaknya seperti teman. Mereka pun sudah terbiasa seperti itu, membuat ikatan persaudaraan mereka semakin erat.
Bulan pun membantu Aksa mencari kemejanya, dengan hati-hati dan teliti ia membongkar satu persatu baju di lemari Aksa. Beberapa menit ia mencarinya, tapi tidak menemukan pakaian yang dicari kakaknya itu.
"Ada gak?" Tanya Aksa di sela-sela keheningan.
"Gak ada bang, coba ingat-ingat dulu, mungkin kotor atau lo taruh dimana tu kemeja," ujar Bulan sambil menggelengkan kepalanya.
Aksa menghela nafas, ia pun mengingat-ingat dimana ia meletakkan kemejanya. Ia pun meletakkan jaket yang diselempangkan di bahunya ke atas kasur dan duduk di sebelah jaketnya.
Bulan yang awalnya serius, tiba-tiba tertawa dan menepuk jidatnya. Pasalnya, kemeja yang dicari kakaknya itu ternyata sudah melekat pada tubuhnya. Tapi, bisa-bisanya Aksa melupakan itu.
"Haha bang-bang! Pantes gak ketemu, itu yang lo pake apaan coba?" Ujar Bulan sembari menunjuk badan Aksa.
Mendengar perkataan Bulan, Aksa pun langsung melirik tubuhnya. Dan benar saja, kemeja itu ada di tubuhnya. Aksa merasa malu dengan sang adik, ia pun akhirnya menertawai dirinya sendiri.
"Haha, astaga! Sorry dek, pagi-pagi gini gue udah repotin lo karena kecerobohan gue sendiri." Ujar Aksa sembari menggelengkan kepalanya.
"Gapapa kali bang, hidup juga butuh hiburan. Dan pagi ini gue sangat terhibur karena ulah lo." Ujar Bulan yang masih tertawa.
"Untungnya cuma lo yang liat, kalo yang lain tau bisa hilang muka gue," canda Aksa.
"Makanya bang jangan pelupa, untungnya yang lupa cuma barang bukan pacarnya." Ujar Bulan tak kalah bercandanya.
Aksa hanya tertawa menanggapi perkataan adiknya itu. Bulan pun akhirnya berpamitan kepada sang kakak untuk melihat keadaan Bintang.
"Ya udah deh bang, gue mau liat Bintang dulu. Semalam dia demam, semoga sekarang udah baik-baik aja." Ujar Bulan.
"Iya, kalo dia belum sembuh buat surat aja, kasihan." Ujar Aksa peduli.
"Iya bang, nanti gue minta ayah atau bunda buat nulis suratnya. Gue ke kamar Bintang dulu ya, bang?" Ujar Bulan sambil berlalu pergi yang hanya diangguki singkat oleh Aksa.
Setibanya di depan kamar Bintang, Bulan membuka pintu dengan hati-hati. Ia takut mengganggu Bintang, terlebih masih pagi buta seperti ini.
Saat pintu terbuka, Bulan bisa melihat Bintang yang sudah bangun dari tidurnya, tapi masih terlihat menggigil kedinginan sama seperti tadi malam.
"Morning Bintang, belum enakan ya?" Tanya Bulan lembut sembari duduk di tepi tempat tidur Bintang.
"Eh, Bu-Bulan. Enggak tau nih, dingin banget." Ujar Bintang sambil menarik selimut ke lehernya.
Bulan mengecek suhu tubuh Bintang dengan punggung tangannya, dan benar saja Bintang masih demam. Penyebab Bintang demam bisa saja karena hujan gerimis di hari kemarin, terlebih Bintang yang menahan dingin karena angin yang terasa menusuk tulangnya.
"Izin aja hari ini, biar gue hubungi dokter buat cek keadaan lo." Ujar Bulan penuh perhatian.
Bintang tidak menjawab, ia hanya berusaha menghangatkan tubuhnya. Tanpa kata, Bulan pun beranjak dari duduknya menuju ke arah dapur untuk mengambil air kompres untuk Bintang.
"Eh, bunda udah bangun?" Tanya Bulan kepada ibunya ketika tiba di dapur.
Ibunya yang masih memasak langsung menoleh ke arah Bulan. Ia bisa melihat jelas bahwa Bulan sedang mengambil baskom dari arah rak.
"Iya sayang, bunda bangun cepat. Ayah katanya mau pergi lebih awal hari ini, takutnya gak sempat sarapan." Ujar ibu Bulan dengan seutas senyum. "Itu untuk apa sayang? Untuk kompres Bintang ya?"
"Iya bunda," ujar Bulan dengan anggukan singkat.
Ibunya yang mengerti tidak mengatakan apa-apa lagi, ia pun membiarkan Bulan untuk merawat Bintang. Ia merasa bersyukur memiliki anak yang peduli terhadap sesama seperti Bulan.
"Bulan ke kamar Bintang dulu ya, bunda. Nanti Bulan akan telepon dokter." Ujar Bulan sambil berlalu.
"Eh, lupa bunda. Kalo Bintang izin hari ini, bunda atau ayah boleh gak tulis suratnya? Biar nanti Bulan yang kasih ke wali kelas." Ujar Bulan yang tiba-tiba berhenti dan kembali menoleh ke arah ibunya.
"Tentu saja boleh, nak. Nanti biar bunda yang bilang ke ayah." Ujar Ibunya yang kembali melanjutkan kegiatannya.
"Terima kasih, bunda."
Bulan pun melangkahkan kakinya kembali ke kamar Bintang, ia merasa sedikit lega karena keluarganya juga peduli terhadap Bintang.
Kini, Bulan pun sudah berada di kamar Bintang, ia mengompres sahabatnya itu dengan hati-hati. Bintang sendiri hanya membiarkan Bulan merawatnya, ia hanya menatap Bulan dengan tatapan penuh ucapan terima kasih.
Beberapa menit berlalu, ibu Bulan pun menghampiri. Ia tersenyum sedikit, ketika melihat Bulan yang begitu tulus dalam memperhatikan Bintang.
"Bintang, ini tante bawakan sarapan buat kamu. Hari ini istirahat aja, ayah Bulan udah tulis surat izin buat kamu." Ujar ibu Bulan sembari meletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan susu hangat untuk Bintang.
"Makasih tante, Bintang udah banyak banget ngerepotin kalian." Ujar Bintang lirih pada ibu Bulan.
"Enggak ngerepotin sama sekali kok, kami justru senang kamu berada di sini." Ujar ibu Bulan dengan seutas senyum.
"Iya Bintang, jangan ngerasa gak enak gitu." Ujar Bulan menimpali, lalu ia menoleh ke arah ibunya. "Makasih ya, bunda."
"Sama-sama sayang. Semoga lekas sembuh ya, Bintang. Tante ke belakang dulu." Ujar ibu Bulan sambil berlalu pergi.
"Terima kasih, tante." Ujar Bintang, tapi tidak di dengar lagi oleh ibu Bulan karena sudah berjalan menjauh.
Bulan langsung mengambil mangkuk bubur yang masih panas itu. Ia pun langsung menyuapi Bintang, menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli terhadap Bintang.
"Gue bisa makan sendiri, Bulan. Gue gak enak repotin lo terus," ujar Bintang yang belum menerima suapan dari tangan Bulan.
"Ya gapapa kali, lo sahabat gue. Emangnya salah kalo gue mau bantuin lo?" Ujar Bulan dengan nada lembut.
"Ya, gak salah sih. Tapi gue yang gak enak." Ujar Bintang menatap Bulan dengan mata yang berkaca-kaca.
"Jangan ngerasa gitu, kita sahabatan udah lama banget. Lo sakit, gue juga ngerasain sakitnya." Ujar Bulan membuat Bintang langsung bungkam.
Entah kenapa jantung Bintang terasa berdegup lagi ketika mendengar perkataan yang baru saja Bulan lontarkan. Ia mulai merasa sesuatu yang aneh lagi, yang kini kembali menyerang hatinya, tapi Bintang tidak tahu apa itu.
"Lo harus sarapan, Bintang. Biar cepat sembuh juga." Ujar Bulan yang kini kembali menyuapi Bintang.
Bintang yang merasa tidak enak akhirnya menerima suapan itu. Ia merasa terharu dengan kepedulian Bulan terhadap dirinya. Bulan pun akhirnya tersenyum ketika Bintang kini menerima suapan dari tangannya.
"Thanks ya, Bulan." Ujar Bintang setelah selesai dengan sarapannya.
"Sama-sama, gue siap-siap pergi ke sekolah dulu ya? Sekalian gue mau telpon dokter buat cek kondisi lo," ujar Bulan yang kini berdiri sambil membereskan mangkuk dan gelas itu.
"Bulan,"
Baru saja hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja Bintang memanggilnya dengan sangat lembut. Jelas saja membuat Bulan langsung merasa berdebar-debar.
"Ya?" Ujar Bulan sembari membalikkan tubuhnya.
"Sekali lagi thanks ya?" Ujar Bintang dengan seutas senyum tipis, nada suaranya pun terdengar sangat lembut di telinga Bulan.
Bulan hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan singkat. Setelahnya, ia pun meninggalkan Bintang sendirian di kamarnya dan membawa nampan itu kembali ke dapur.
Bulan melangkahkan kakinya menuju kamarnya, ia juga harus bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Sebelum sarapan, ia pun menghubungi dokter kepercayaan keluarganya untuk mengecek keadaan Bintang.
Setelahnya, Bulan pun berjalan ke dapur untuk mengisi perutnya. Bulan bergabung dengan keluarganya yang juga sedang sarapan, diisi dengan perbincangan tentang keadaan Bintang.
"Ayah, bunda, bang Aksa, Bulan berangkat ke sekolah dulu ya. Assalamualaikum." Ujar Bulan setelah selesai dengan sarapannya.
"Waalaikumsalam," sahut ketiganya kompak.
Bulan mengambil tasnya di dalam kamarnya, lalu ia kembali ke kamar Bintang sejenak untuk menyampaikan amanah ibunya.
"Gue pergi dulu ya, Bintang. Kata bunda kalo perlu apa-apa panggil bunda aja." Ujar Bulan dari ambang pintu.
"Iya, thanks ya. Gue bener-bener gak enak sama lo dan keluarga lo." Ujar Bintang lirih.
Bulan hanya menanggapinya dengan senyuman, ia tidak menjawab apa-apa. Terlebih ia pun tahu bahwa mungkin Bintang selalu merasa tidak enak dengan keluarga Bulan selama ia tinggal di sini.
"Dadah, Bintang. Semoga lekas sembuh." Ujar Bulan tanpa menunggu jawaban Bintang.
Bulan pun menutup pintu di belakangnya, lalu ia pun bergegas menuju ke sekolahnya. Sejujurnya ia ingin meliburkan diri untuk hari ini dan merawat Bintang saja. Tapi, karena sebelumnya pun ia sudah meminta izin pada gurunya untuk hal yang sama, ia pun akhirnya mengurungkan niatnya itu.
Bulan menoleh sejenak ke arah kamar Bintang, ia pun tersenyum sedikit. Setelahnya, ia pun melanjutkan langkahnya menyusuri jalanan menuju ke sekolahnya.
^^^Bersambung...^^^