Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Gempar
Elvara akhirnya berhenti di depan gerbang sekolah. Napasnya sedikit teratur, walau dadanya masih menahan rasa malu yang menempel dari kejadian barusan. Di sana, Raska sudah berdiri dengan kedua tangan di saku, sementara taksi yang ia pesan baru saja berhenti tepat di depan mereka.
Tanpa menunggu, Raska melangkah cepat dan membuka pintu taksi untuknya.
“Naiklah,” ujarnya pelan namun tegas.
Elvara mengangguk dan masuk. “Terima kasih,” ucapnya tulus. Lebih tulus dari biasanya.
Raska hanya mengangguk kecil, menarik senyum tipis yang begitu jarang ia berikan pada siapa pun, seolah hanya muncul sesekali dalam hidupnya. Lalu ia menutup pintu.
Taksi mulai melaju meninggalkan area sekolah.
Di dalam mobil, Elvara menatap Raska lewat kaca spion. Tatapannya datar, tapi pikirannya tidak.
"Lo rela lakuin semua ini demi gue. Apa sebenarnya motif lo? Mau rangking satu bareng? Atau… ada sesuatu yang lain?"
Di luar, Raska berdiri diam menatap taksi itu pergi, senyum samar terangkat tanpa ia sadari.
"Tak kusangka, sisi cueknya bisa retak cuma gara-gara ini… Dan dia, astaga... dia keliatan menggemaskan waktu pipi cabenya merah begitu."
Ia mengusap tengkuknya, bingung pada dirinya sendiri.
"Tunggu… kenapa gue jadi gini? Kenapa gue ngerasa iri, kagum, penasaran karena sikap cueknya? Dan senang cuma karena dia merona?"
Raska menatap bayangan dirinya di kaca pos satpam di samping gerbang.
"Apa yang terjadi sama gue?"
***
Bel istirahat berbunyi. Bella melenggang menuju kantin. Namun saat tinggal beberapa meter dari kantin, tiba-tiba seorang siswi menghampirinya.
"Bel, lo denger nggak? Tadi Raska… beli pembalut di koperasi.”
Bella langsung berhenti melangkah.
“Dia… beli apa?”
Jantungnya mencelos tanpa ia mengerti kenapa.
“Beli… pembalut.” ulang siswi itu pelan, tapi cukup bikin rahang Bella mengeras.
Siapa yang sehebat itu sampai bisa bikin Raska, si dingin, si tak tersentuh, si pemuja jarak, melakukan hal memalukan begitu… dengan sukarela?
Bella tak menjawab pertanyaan itu bahkan pada dirinya sendiri. Ia hanya mengepalkan tangan dan berjalan cepat menuju kantin, perasaan tak nyaman menusuk dadanya.
Saat ia sedang membuka tutup botol minuman dingin, suara bisik-bisik dari meja belakang terdengar jelas.
“Lo tahu apa yang gue lihat waktu ke toilet tadi?” ujar seorang siswi, nadanya seperti baru menemukan harta karun.
“Apa?” temannya menanggapi datar.
“Gue lihat Raska, pangeran sekolah, berdiri di depan toilet putri sambil bawa tas. Dan lo tahu tas siapa?”
Temannya langsung mencondongkan tubuh, suaranya merendah namun penuh semangat “Siapa?”
“Gasekil.”
"Hah?!"
Bella membeku.
Siswi itu melanjutkan dengan penuh dramatis.
“Gue lihat sendiri waktu pintu toilet kebuka. Gasekil keluar pakai jaket Raska yang dililit di pinggang buat nutupin roknya. Terus Raska kasih tasnya, dan mereka jalan bareng. Kayaknya… Gasekil lagi datang bulan.”
Temannya langsung membelalak. “Jadi tadi pembalut yang dibeli Raska itu buat—”
“WHAT?!”
Suara siswi itu melengking tanpa sadar, membuat seluruh kantin menoleh. Ia buru-buru menutup mulutnya, pipi merah padam.
Tapi semuanya sudah terlambat. Bisik-bisik mulai menyambar cepat, berantai, seperti api yang menyulut sekam kering.
“Gue tadi lihat Raska beli pembalut di koperasi, dan penjaganya juga liat. Itu pasti buat Gasekil.”
Zahra, teman sebangku Elvara, memijat pelipisnya, masih syok.
“Jadi… Raska beneran ambil tas Elvara dan izin ke Bu Guru karena Elvara datang bulan? Itu… serius manis banget.”
Komentar lain menyambar cepat:
“Raska beli pembalut…”
“Pinjemin jaket…”
“Ambilin tas…”
“Serius segitunya?!”
“Gasekil? Yang seratus kilo itu?!”
“Ya ampun, ini bukan pdkt lagi. Ini… pelayanan VIP.”
“Gue lihat juga tadi, Raska di depan gerbang sekolah bukain pintu taksi buat Gasekil.”
“Astaga...ini udah level pacar, bukan level teman lagi!”
Suasana kantin berubah heboh total, suara-suara memenuhi udara. Nama Elvara, atau ejekan Gasekil, dan Raska sang pangeran sekolah bergejolak di udara kantin seperti isu paling panas abad ini.
Bella memegang botol minumannya terlalu keras sampai plastiknya berderak dan isinya keluar.
Wajahnya memucat, lalu memerah, lalu pucat lagi.
Kalimat dalam kepalanya berdenging:
“Gak mungkin…” bisiknya, mata berkilat marah. “Mana mungkin Raska sampai segitunya buat… dia.”
Dadanya bergolak antara kaget, iri, marah, dan tidak percaya.
“Ini… gak mungkin,” gumamnya, bergetar.
Ucapan itu seperti racun bagi dirinya sendiri.
Dengan napas memburu dan dada sesak, Bella meletakkan botolnya dan melangkah cepat meninggalkan kantin, mencari satu-satunya orang yang bisa memastikan apakah semua ini benar.
Raska.
Karena kalau semua itu benar… itu berarti sesuatu yang jauh lebih mengancam daripada “sekedar suka”.
---
Sementara itu di belakang sekolah, suasana seperti biasa.
Vicky duduk bersila sambil main game, jempolnya ngebut seperti mau meledak.
Gayus melempar kacang ke udara, berusaha nangkap pakai mulut—40% meleset.
Raska duduk paling tenang, membaca buku seperti biarawan yang sedang meditasi.
Hingga Asep muncul berlari, napas megap-megap seperti habis dikejar anjiing tetangga sambil bawa minuman dingin yang hampir tumpah.
“BRO… BROOO. itu... beneran?!”
Tiga orang itu menatapnya dengan reaksi berbeda:
Raska: cuma melirik sebentar, alis naik 0,3 cm.
Vicky: pause gamenya, matanya langsung sipit penuh kecurigaan.
Gayus: kacang yang dilempar gagal ditangkap, mental mengenai dahinya.
“Aduh!”
Asep menahan lututnya, ngos-ngosan.
“Gue… dengar gosip di kantin… lo—” dia menunjuk Raska dramatis, “BELI PEMBALUT!”
"Uhuk..uhuk..uhuk..." Gayus spontan tersedak kacang. Vicky langsung berdiri.
“APAAN?! Lo bercanda 'kan?”
Vicky menatap Asep, lalu lirikan maut ke Raska.
Raska… tetap membaca. Seperti tidak terjadi apa-apa di dunia ini.
Asep makin histeris, “GOSIPNYA NYEBAR CEPAT! Ada yang lihat lo nungguin Gasekil di depan pintu toilet! Katanya LO PINJEMIN JAKET, LO NGAMBIL TASNYA DI KELAS, TERUS—”
Asep mengangkat tangan dramatis, “LO BUKAIN PINTU TAKSI BUAT DIA!!”
Vicky dan Gayus membeku.
“WHAT?!” teriak mereka kompak, seperti chorus drama Korea.
Vicky yang paling cepet ngomong, langsung maju setengah langkah.
“Ras, Bro… ngomong. Jangan bikin gue paranoid. Ini elu PDKT ala ninja atau apa?”
Gayus menjatuhkan bungkus kacangnya. “BRO, ini… ini prestasi baru dalam sejarah lo. Lo tuh pangeran sekolah! Kok bisa ke bagian… pembalut?!”
Asep menepuk dada dramatis.
“Dan lo harus tahu… satu sekolah udah gempar, Bro. Di kantin tadi Bella hampir meledak.”
Gayus mencondongkan tubuh ke Raska. “Serius, Ras. Ini gosipnya udah selevel Breaking News.”
Vicky mendekat ke Raska, wajah serius tapi bergetar.
“Bro, Bro, Bro… ini penting nih. Jawab jujur. Biar gue tau lo masih manusia biasa apa udah naik level jadi malaikat penolong menstruasi.”
Gayus mengangkat tangan, gaya sok bijak.
“Asal lo tau, tindakan seseorang membeli pembalut untuk seorang wanita adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap… ehm… peradaban.”
Raska akhirnya menutup bukunya pelan… sangat pelan… Menatap mereka satu per satu.
“Ribut amat,” gumamnya datar.
Tiga sahabatnya langsung jatuh mental.
“JADI LO NGAKU?!”
“LO YANG BELI PEMBALUT?!”
“BROOO, GASEKIL?!”
Raska hanya melirik jam di pergelangan tangannya, lalu berdiri… merapikan bajunya seolah mau pergi ke rapat direksi.
“Istirahat hampir habis,” katanya santai. Lalu ia melenggang pergi.
Tiga sahabatnya mematung.
Vicky langsung pegang kepala. “Gue nggak siap sama plottwist ini.”
Asep menarik napas panjang. “Lima bulan mendekati cewek cuek kelas dewa… dan lo udah sejauh ini? Ini… ini tanda-tanda jatuh cinta yang fatal, bro.”
Gayus mengangguk cepat. “Yup. Kalo dia udah rela beli pembalut… ini bahaya. Bahaya banget.”
---
Di lorong sekolah Bella akhirnya menemukan Raska yang baru muncul dari arah belakang sekolah, matanya tajam seperti laser mau nembak target.
Bella melangkah cepat. “Raska!”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Om Nata, satu lagi pastikan Elvara aman. cari tau tentang anakmu, siapa aja yg deket sama Raska. Kalo perlu tempatkan bodyguard bayangan di sekeliling Raska dan teman2nya. Istri dan anak mu yg lain sedangkan merencanakan hal jahat klo yg mereka inginkan tidak sesuai.
Ayo Raska kamu semangat untuk sembuh,,dan Elvara tempat ternyamanmu🤣
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁