Kisah ini berasal dari tanah Bugis-Sulawesi yang mengisahkan tentang ilmu hitam Parakang.
Dimana para wanita hamil dan juga anak-anak banyak meninggal dengan cara yang mengenaskan. Setiap korbannya akan kehilangan organ tubuh, dan warga mulai resah dengan adanya teror tersebut.
Siapakah pelakunya?
Ikuti Kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halangan
Wuuuuusssh
Kelebatan kucing hitam melintas tepat didepan mata Andi Lalo yang saat ini sedang menyetir motor dengan kecepatan tinggi.
Hingga saat tabrakan hampir terjadi...,
Ciiiiiiiiit
Suara decitan bam motor akibat pengereman yang membuat Andi Lalo hilang keseimbangan, dan terlempar dijalanan dengan dengan kepala yang membentur aspal.
Braaaaaak
Tubuhnya bergulingan dijalanan, dan akhirnya terhenti dipinggir aspal. Sedangkan motornya mengalami rusak parah dan tergeletak ditengah jalan.
Luka lecet dan robek dibagian kepala, siku dan lututnya cukup parah.
Darah mengalir dari retakan dibagian tempurung kepalanya.
Ia merasakan dunia bagai berputar, dan kunang-kunang tampak berterbangan, hingga saat sebelum semua terlihat gelap, ia melihat sesosok kucing berwarna hitam menghampirinya, menatapnya dengan tajam, dan menyeringai kepadanya, hingga akhirnya pandnagannnya menggelap dan tak lagi melihat apapun.
Sementara itu, Andi Enre sedang sibuk dilokasi penambangan. Usahanya tidak tersentuh hulum, sebab ia sudah membayar uang kompensasi terhadap aparat.
Para pegawainya terlihat sibuk membongkar pipa yang terhubung ke mesin penghisap air.
Saat berhasil dibuka, didalamnya ditemukan potongan tangan dan juga kaki yang masuk ke dalamnya, dan menghambat pekerjaan mereka.
Sontak saja hal ini membuat mereka tersentak kaget, lalu melaporkannya pada Andi Enre.
Dengan rasa kaget, pria itu menghubungi pihak kepolisian, dan memberitahu tentang penemuan potongan tubuh tersebut.
Mendapati laporan tersebut, akhirnya pihak INAFIS datang untuk melihat dan menindaki laporan.
"Tangan siapa ini, Bos?" tanya seorang pekerja yang tadi bertugas membongkar pipa yang terbubung ke mesin.
"Entahlah, mungkin salah satu warga yang mandi disungai Saddang dan diterkam buaya," duga Andi Enre dengan mengerutkan keningnya.
Akan tetapi, ia seperti sedang mengamati sebuah cincin yang terpasang dijemari tengah dari potongan tangan tersebut.
Dimana ia pernah melihatnya. Sesaat memorynya menggali sebuah ingatan tentang seseorang. Takko, ya itu Takko. Satu nama yang diingatnya.
Sosok pria yang pernah menjadi bos semasa ia bekerja tempo hari dan juga merupakan tetangganya.
"Pantas saja ia tidak terlihat selama ini, apakah ia mati diterkam buaya?" gumam Andi Enre dengan lirih.
Ia terlihat sangat gelisah, namun ia tak ingin menjadi saksi dan lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
Tak berapa lama, mobil Polisi datang dan bergegas menghampiri lokasi penemuan potongan tubuh tersebut.
"Siapa yang pertama kali menemukannya?" tanya pihak kepolisian pada mereka yang ada ditempat kejadian perkara.
"S-Saya, Pak." tunjuk seorang pria berambut keriting saat memberikan pengakuan.
"Apa yang membuat bapak mengetahui jika ada potongan tubuh didalam pipa?" tanya salah seorang polisi.
"Karena menyumbat pipa, maka kami buka, dan ternyata ada benda itu," ia melirik pada dua potongan tubuh yang sudah didimasukkan kedalam kantong jenazah.
Penyidik mencatat semua pernyataan dari saksi dan akan dijadikan sebagai petunjuk.
Mereka menelusuri ujung pipa yang terhubung ke sungai Saddang, dan disana tampak tenang, hingga dua bola mata menyembul dari dalam sungai dengan moncongnya yang panjang.
"Hah!" dua orang Polisi terkejut saat melihat apa yang terjadi.
Keduanya beringsut mundur, sedangkan buaya berukuran besar itu tampak begitu tenang, mungkin ia sedang kekenyangan.
"Tangkap buaya itu, dan pastinya ia menerkam korban," titah sang atasan.
Karena tak ingin gegabah, mereka menembak sang buaya tepat dimatanya, lalu mendapatkannya.
Buaya itu dinaikkan ke atas dengan menggunakan jaring, dan perutnya dibelah untuk melihat isi dalamnya.
Setelah dibelah, mereka menemukan potongan lain didalam tubuh sang buaya.
Setelah dikumpulkan, ada kejanggalan yang terlihat, dimana organ tubuhnya tidak terlihat.
"Kita bawa jasad ini segera dan lakukan autopsi," ucapnya dengan jelas.
Saat bersamaan, ponsel Andi Enre berdering. Satu panggilan masuk dari Ambo Uleng yang tak lain adalah ayahnya.
"Hallo, Ambo, ada apa?" tanya Andi Enre dengan perasaan senang. Sebab baru kali ini keluarganya menghubunginya.
"Enre, pulanglah. Ammak dirumah sakit dan kecelakaan motor. Kamu harus melihatnya di rumah sakit. Ammak mengalami koma," ucap pria diseberang sana dengan nada cemas.
"A-apa? Ammak kecelakaan?" Andi Enre tampak terkejut, dan hatinya cemas. "Iya, Ambo, Enre akan segera pulang." Ia bergegas mematikan ponselnya, lalu menyerahkan pekerjaannya dengan seorang kepercayaannya.
Ia mengendarai mobilnya, lalu pulang menuju kerumah, berniat membawa Daeng Cening untuk ikut serta.
Setelah berkendara cukup lama, akhirnya ia tiba didepan rumahnya. Terlihat rumah masih sepi, dan ia turun dari mobil, lalu melangkah dengan tergesa-gesa.
Setibanya didepan pintu, ia disambut oleh Daeng Cening yang membuka pintu untuknya.
"Sayang. Kamu ngagetin saja. Abang pulang untuk mengabarimu, kalau ibu kecelakaan dan sedang koma. Saat ini sedang dirawat dirumah sakit. Ayo kita pergi kesana," ucapnya tanpa basa-basi.
Wanita berparas cantik itu menatap sang suami. Lalu dengan senyum misterius, ia menganggukkan kepalanya.
"Ya, ayolah." jawabnya dengan lirih. Namun nada suaranya sudah mampu membuat Andi Enre seperti mendengar melodi yang mampu membuainya dengan sempurna.
"Ya." pria itu mengamit tangan sang istri, lalu membawanya pergi menuju ke mobil.
****
Mobil yang dikendarai oleh Andi Enre tiba didepan rumah sakit yang berdiri cukup megah.
Ia memarkirkan mobilnya dan bergegas turun untuk menuju ruang administrasi dan pendaftaran
Ia bertanya dimana ruang tempat sang Ammak dirawat.
Setelah mendapatkan informasi, ia berjalan dengan langkah tergesa-gesa, dan diikuti oleh Daeng Cening yang berada dibelakangnya.
Setibanya didepan pintu, terlihat Bombang sang ipar sedang menggendong puterinya yang tertidur dengan lelap.
Sedangkan Andi Anni sedang menunggu sang ibu yang tampak tak sadarkan diri alias koma.
Andi Anni menoleh ke arah kakak lelakinya beserta sang ipar yang sedari tadi sedang melirik buah hatinya.
Sontak saja hal itu membuat Andi Anni terlihat berang.
"Abang! Mengapa kau membawanya kemari? Tidak bisakah kau datang sendiri saja?!" hardik wanita muda tersebut.
Hal itu membuat Andi Enre terkejut. Ia tidak pernah menduga, jika kehadirannya yang berniat untuk melihat sang ibunda, justru mendapat sambutan yang tidak mengenakkan.
"Anni, abang anak Ammak. Jadi wajar jika abang datang," sahutnya dengan nada protes.
"Abang memang anak ammak. Tetapi dia tidak! Abang jangan pernah bawa dia bertemu kita!" tolak Andi Anni. Ia menatap tajam pada wanita cantik yang berdiri dibelakang kakak lelakinya.
"Jika dia orang lain, lalu bagaimana dengan Bombang?" kali ini Andi Enre menoleh ke arah adik ipar laki-laminya yang sedang menggendong sang keponakan.
"Dia berbeda, dan harap abang memintanya pulang!" Andi Anni menekan nada bicaranya. Giginya terlihat bergemeretak. Ia dapat melihat bagaimana mata berbinar Daeng Cening saat menatap puteri mungilnya.
Andi Enre merasa tak senang. Ia tidak terima jika orang-orang berbuat sangat keterlaluan pada sang istri.
"Abang tidak perduli, abang punya hak untuk menunggu ammak!" Andi Enre bersitegang dengan adik perempuannya.