Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Cinta yang kukejar terus berlari
Malam itu udara kota terasa berat. Hujan rintik-rintik membasahi jendela apartemen mewah milik Barra, seakan ikut menyelubungi suasana hatinya yang kusut. Lampu ruangan hanya menyala redup, memberi cahaya kuning pucat yang jatuh di wajahnya. Lelaki itu duduk bersandar di sofa dengan gelas bourbon di tangan, tatapannya kosong menembus kaca jendela tinggi.
Di tengah kesunyian itu, Cleo, sekretaris pribadinya yang paling dekat, masuk dengan langkah hati-hati. Di tangannya, ponsel masih menyala panggilan terakhir dari Nyonya Ratih, ibunda Barra.
“Tuan, Nyonya Ratih menelpon lagi. Beliau meminta Anda segera pulang.” Suaranya pelan, seakan takut mengusik bara api yang siap menyala kapan saja.
Barra tidak bergeming. Ia hanya mengangkat gelas, meneguk setengah isinya, lalu meletakkannya di meja kaca dengan dentuman kecil.
Cleo menarik napas dalam. “Nyonya juga bilang … Nyonya muda mendadak demam tinggi. Beliau sudah hampir pingsan dan perlu dibawa ke rumah sakit.”
Sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar. Barra memejamkan mata, rahangnya mengeras. Ada sekelumit rasa bersalah yang berusaha merayap, tapi egonya jauh lebih kuat. Dengan nada datar penuh dingin, ia berkata,
“Biarkan Mama yang urus. Bukankah dia menantu kesayangannya? Mama pasti lebih bisa merawatnya daripada aku.”
Kata-kata itu keluar begitu tajam, menusuk, namun Barra tak peduli. Baginya, Aluna hanyalah luka berjalan wanita yang sejak awal tidak pernah ia cintai, apalagi percaya. Cleo hanya bisa menunduk. Ia tahu Aluna mungkin mendengar langsung ucapan itu melalui telepon, sebab Ratih tadi menyalakan pengeras suara tanpa sengaja. Dan benar saja di rumah besar keluarga Pramudya, Aluna terbaring di ranjang kamar tidurnya. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis. Ia mendengar jelas percakapan suaminya dengan ibu mertua, meski suara itu bergetar samar dari ponsel Ratih.
Air mata Aluna jatuh tanpa bisa ditahan. Dadanya sesak, dalam benaknya, kenangan manis saat ia pertama kali menikah dengan Barra berkelebat senyum manis yang dulu ia bayangkan, genggaman hangat yang ia harap menjadi tempat pulang. Namun kenyataannya, semua itu hanya mimpi. Yang ia dapat hanyalah dinginnya tatapan, tamparan menyakitkan, dan ucapan tajam yang terus meremukkan hatinya. Barra tak pernah menganggapnya istri dan baginya dia hanyalah beban.
Ratih duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan menantunya dengan lembut.
“Sabar, Nak … Mama akan bawa kamu ke rumah sakit sekarang. Jangan pikirkan Barra dulu.”
Namun Aluna hanya bisa menutup mata, membiarkan air matanya terus mengalir. Dalam hatinya, ia bertanya sampai kapan ia harus bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini.
Rumah sakit malam itu terasa lengang. Bau obat-obatan menusuk hidung, bercampur suara mesin monitor jantung yang berdetak stabil. Aluna terbaring di ranjang pasien dengan selang infus menempel di tangan mungilnya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, namun air matanya masih menetes diam-diam.
Nyonya Ratih duduk setia di sisi ranjang, menggenggam tangan menantunya erat-erat. Sesekali beliau menyeka keringat di dahi Aluna dengan tisu basah. Meski Ratih tahu anaknya tidak mencintai Aluna, hati seorang ibu tetap luluh melihat penderitaan wanita yang sudah sah menjadi bagian keluarganya.
Tak lama kemudian, seorang dokter muda masuk dengan wajah serius.
“Kondisi Nyonya Aluna terlalu lemah karena kelelahan fisik dan mental. Demamnya tinggi akibat stres berlebihan. Untuk saat ini, beliau harus banyak istirahat, hindari tekanan, dan jangan dibiarkan sendirian.”
Ratih mengangguk penuh cemas. “Baik, Dok. Saya akan menjaganya.”
Setelah dokter pergi, Ratih menatap Aluna penuh iba.
“Nak, kamu harus kuat. Mama tahu Barra keras kepala, tapi bukan berarti kamu sendirian. Selama Mama ada, kamu jangan merasa terbuang.”
Aluna hanya menggigit bibir, air matanya makin deras. Kata-kata Ratih memang menghibur, tapi tetap tidak bisa menghapus luka di hatinya.
Sementara itu, di apartemen Barra.
Barra masih duduk di balkon, rokok menyala di tangannya. Hujan deras kini turun membasahi kota, lampu-lampu jalanan berpendar samar di bawah sana. Dalam kesepian, pikirannya kembali melayang ke masa kecil.
Dia teringat sosok gadis kecil yang ia temui di dekat makam ayahnya dulu dan gadis dengan mata bening yang membawa kanvas dan kuas cat air. Senyum gadis itu hangat, berbeda dari semua orang yang ia kenal. Sejak hari itu, bayangan gadis kecil itu menjadi pelipur di setiap kesepian masa kecilnya.
Barra yakin gadis itu adalah Miska. Dan keyakinan itu yang membuatnya buta, menutup semua pintu hatinya untuk Aluna. Namun, semakin ia mengisap rokoknya dalam-dalam, semakin resah hatinya. Barra menggenggam rokoknya lebih erat. Rasa bersalah mulai menyusup pelan, meski egonya masih berusaha menyangkal.
Di rumah sakit, Aluna akhirnya tertidur dengan wajah lelah, sementara Ratih tak lepas menggenggam tangannya. Dalam tidurnya, Aluna bermimpi tentang hari di mana Barra akhirnya menatapnya bukan dengan dingin, tapi dengan hangat yang selalu ia rindukan.
Namun saat terbangun, yang ada hanya ruangan putih, suara mesin medis, dan kursi kosong di sisi ranjang tempat seharusnya suaminya duduk. Dia melihat tak ada orang lain di sana selain dirinya yang baru saja terbangun. Dia melirik jam di dinding ruangan yang menunjukkan pukul 07.00, pagi hari.
Namun, samar-samar Aluna mendengar suara Ratih berbicara dengan seseorang lewat ponselnya.
“Barra, kamu harus datang. Aluna butuh kamu. Kamu tega, Nak? Dia sakit begini, masih saja kamu biarkan sendirian?” suara Ratih terdengar tegas tapi juga lirih menahan kecewa.
Di seberang, suara Barra terdengar datar, dingin.
[Mama, jangan memaksa. Aku sudah bilang, Mama saja yang urus. Dia kan menantu kesayangan Mama. Lagi pula, Miska juga masih butuh aku ... tangannya belum sembuh sempurna.]
Ratih terdiam, darahnya serasa mendidih. “Kamu dengar baik-baik, Barra! Istri itu tanggung jawab suami. Bukan tanggung jawab ibu mertua. Kalau kamu terus begini, jangan salahkan Mama kalau suatu hari kamu kehilangan dia selamanya!”
Barra hanya mendengus. “
[Mama terlalu dramatis.] Ia langsung memutuskan panggilan. Ratih pun mendengus kesal dan melirik ke arah pintu ruangan inap Aluna.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡