👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Young Girl
Di aula Akademi yang kini menjadi kuburan bagi Akihisa dan Miku, pertarungan Liini dan Shiera melawan Lucius berlanjut dengan sengit. Meskipun mereka berdua kelelahan dan dipenuhi duka, pengorbanan rekan-rekan mereka mengobarkan semangat baru yang tak terduga.
Liini, dengan Heavy Sniper-nya, bergerak cepat di sekitar Lucius, memaksa iblis itu untuk terus bergerak.
"Dia harus mati! Jangan biarkan dia istirahat!" teriak Liini, menembakkan proyektil energi ke arah Lucius.
Lucius menangkis dengan pedang gelapnya, wajahnya dipenuhi keringat dan kemarahan. Ia mulai terlihat panik, sadar bahwa ia telah menghabiskan terlalu banyak energi melawan setiap Guardian ini.
"Kalian tidak tahu kapan harus menyerah!" geram Lucius, melepaskan gelombang bayangan ke arah Liini.
Shiera melompat di depan Liini, menggunakan katana-nya untuk memotong gelombang bayangan itu. Teleportasi adalah kunci pertahanannya. Ia muncul dan menghilang dalam sekejap, membuat Lucius frustrasi.
"Kami tidak akan menyerah, Lucifer! Kami akan membalaskan semua Sensei kami!" balas Shiera, pedangnya meninggalkan goresan di armor gelap Lucius.
Lucius mundur selangkah, menatap jenazah Akihisa dan Miku di dekatnya. "Kalian lihat? Mereka mati sia-sia! Dan kalian akan ikut! Tidak ada lagi yang tersisa untuk membantu kalian!"
Tepat saat Lucius bersiap untuk serangan balik yang mematikan, suara gemuruh baru terdengar dari lorong utama Akademi. Dua sosok muncul, memancarkan aura chi yang kuat.
"Kau salah, Iblis," suara dingin dan penuh otoritas terdengar.
Indra dan Evelia telah tiba.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Lucius berbalik, terkejut melihat dua target utamanya berdiri di hadapannya. Ekspresi puasnya langsung memudar.
"Kalian—Aku pikir kalian pengecut yang melarikan diri!" seru Lucius.
"Tidak ada Royal yang lari, Lucifer," jawab Indra, suaranya dipenuhi amarah yang terkontrol. Ia tidak menunggu balasan. Indra melancarkan serangan missile magic ke Lucius—proyektil energi yang kuat dan cepat, terbentuk dari chi murni.
Lucius terpaksa menggunakan perisai bayangannya untuk menangkis.
Tepat saat Lucius sibuk menahan serangan Indra, Evelia melangkah maju, auranya meledak. Evelia dalam mode Namitha. Sembilan ekor rubahnya yang bersinar perak-keemasan memudar, dan ekor kesepuluh yang merupakan tanda Kitsune terkuat muncul, memancarkan cahaya yang menusuk mata Lucius. Rambutnya memanjang, dan di dahinya muncul tanda Royal Kitsune.
"Kau telah menyentuh hal yang tidak seharusnya, Iblis," desis Evelia, suaranya kini berlapis, dipenuhi kekuatan kuno. "Kau telah membunuh keluarga Kitsuneku. Dan kau akan membayar dengan darahmu."
Evelia melancarkan serangannya. Itu bukan sihir elemen, melainkan gelombang chi murni yang menargetkan esensi gelap Lucius. Lucius menjerit, perisainya berderak.
"Liini! Shiera! Kalian mundur! Ambil jenazah Akihisa dan Miku!" perintah Indra, memanfaatkan gangguan itu.
Liini dan Shiera, meskipun enggan, mengangguk. "Siap, Komandan!"
Saat kedua murid itu bergerak cepat untuk mengamankan jenazah para guru mereka, Indra dan Evelia melanjutkan serangan.
"Aku akan mengikatnya, Suamiku!" seru Evelia, energi Namitha-nya menciptakan rantai cahaya yang mengikat Lucius.
"Bagus!" jawab Indra. "Sekarang, Lucifer, kau akan membayar untuk setiap nyawa di Kerajaan ini!"
.
.
.
Keterkejutan melanda aula Akademi. Rantai cahaya Evelia yang mengikat Lucius tiba-tiba pecah menjadi asap gelap.
"Tertipu lagi!" teriak Lucius, suaranya terdengar dari bayangan di balik pilar.
Namun ternyata itu adalah bayangan. Lucius, sang ahli ilusi dan kegelapan, menggunakan ilusi terakhirnya untuk mengelabui mereka.
Dan lagi, Lucius menyandera Liini. Tepat Liini, bersama Shiera, hendak mengangkat tubuh Akihisa, Lucius muncul dari bayangan di bawah Liini.
"Aku bilang, aku tidak akan membiarkan kalian pergi!" desis Lucius, cakar bayangannya mencekik leher Liini.
"Liini-san!" teriak Shiera, mengayunkan katana-nya.
"Jangan bergerak, atau dia mati!" ancam Lucius, menarik Liini erat-erat.
Lucius menyeringai, fokus pada senjata di tangan Liini. Lucius mematahkannya menjadi dua bagian, menghancurkan Heavy Sniper Liini—sumber kekuatan chi terbesarnya. Lucius meremas patahan focus device itu.
Membuat Liini kekuatannya terserap dan lemas. Lucius, melalui sentuhan fisik dan focus device yang hancur, menyerap sisa energi Liini. Liini terbatuk, matanya memandang Shiera dengan putus asa.
"Tidak!" teriak Shiera, bergegas maju.
"Mundur, Shiera!" perintah Indra, suaranya dipenuhi frustrasi.
"Aku akan memberimu pilihan, Royal," kata Lucius, menatap Indra dan Evelia dengan kejam. "Biarkan aku pergi, dan aku hanya akan membunuhnya. Atau lawan aku, dan aku akan membunuh dia—" Lucius menunjuk Liini dengan Niigata Akihisa yang ia pegang—"dan kemudian aku akan membunuhmu berdua."
Evelia, dalam mode Namitha, gemetar menahan amarahnya. "Kau pengecut!"
"Tentu saja," balas Lucius. "Karena aku yang akan menang!"
.
.
.
Shiera menghentikan langkahnya, katana-nya terhunus, menatap tajam ke arah Lucius.
"Tawaranmu ambigu dan tidak tertata, Lucifer," balas Shiera, suaranya dipenuhi penghinaan. "Kau bilang hanya akan membunuhnya jika kami membiarkanmu pergi? Itu bukan tawaran, itu kepastian kematian."
Lucius mendongak, tertawa terbahak-bahak, tawa yang dingin dan mengejek.
"Benar! Murid pintar!" seru Lucius. Dan mengubahnya: ia ingin Kristal Kehidupan jika ingin Liini dilepaskan.
"Baiklah, kita lakukan negosiasi sesungguhnya! Berikan aku Kristal Kehidupan, sumber energi Kerajaanmu yang kalian sembunyikan di sini. Sebagai gantinya, aku akan melepaskan temanmu. Cepat, atau aku akan mengakhiri hidupnya sekarang juga!"
Evelia dan Indra berpikir jika menyerahkan Kristal Kehidupan sama saja dengan bunuh diri. Kristal itu adalah jantung sihir dan pertahanan Kerajaan. Tanpanya, Namitha Evelia akan melemah, dan Indra tidak akan punya sumber energi untuk bertarung.
"Tidak akan!" bentak Indra. "Kristal itu adalah harapan terakhir Kerajaan ini!"
"Kalau begitu, aku akan mengakhiri harapan Guardian yang menyedihkan ini sekarang!" ancam Lucius, cakar bayangannya semakin mencekik leher Liini.
Liini berusaha melepas cengkeraman Lucius dengan suaranya yang meringis. Ia kehabisan energi dan napas.
"K-k-kakak Indra... jangan..." rintih Liini. Disini Liini mulai memanggil Indra dengan sebutan kakak. Ia kembali ke saat-saat di mana mereka semua adalah keluarga besar di Akademi. "Jangan berikan... kristal itu... Aku... aku siap..."
Indra membeku. "Liini..."
Evelia menatap mata suaminya, duka yang tak terhingga beradu dengan keputusan yang harus dibuat. "Indra, kita tidak bisa—"
"Terserah kalian! Lima detik! Lima detik, atau Guardian terakhirmu mati di tanganku!" teriak Lucius, pedang Niigata di tangannya diarahkan ke perut Liini.
.
.
.
.
.
.
Waktu terasa melambat. Detik-detik Lucius memberikan ultimatum terasa seperti keabadian bagi Indra, Evelia, dan Liini yang tercekik.
Namun, di tengah semua kepanikan itu, Shiera dengan tenang meletakkan telapak tangannya di lantai. Ia memfokuskan dirinya melakukan sesuatu. Energi chi mulai mengalir dari telapak tangannya ke lantai batu Akademi.
Saat semuanya suasana tegang, Shiera tetap tenang. Matanya terpejam sesaat, mengingat semua pelajaran yang pernah ia dapatkan di kelas sihir.
"Lima! Empat!" teriak Lucius. Cakar bayangannya semakin menusuk leher Liini.
"Tiga!"
Saat hitungan Lucius terakhir, sebuah kejutan terjadi. Dari lantai yang disentuh Shiera, serpihan-serpihan kristal keras berwarna ungu pekat menyebar dengan kecepatan yang tak terduga. Shiera melancarkan kristal yang membekukannya dengan kuat. Kristal itu menjalar ke kaki Lucius, lalu dengan cepat menyelimuti seluruh tubuhnya, menghentikan gerakannya secara total. Lucius terperangkap dalam balok kristal yang kokoh, seringainya membeku.
Lucius berteriak marah di dalam kristal, tetapi suaranya teredam.
Dengan cepat Shiera menangkap Liini, menarik temannya yang lemas keluar dari cengkeraman Lucius.
Liini terbatuk, mencengkeram lehernya yang sakit. Liini bertanya bagaimana bisa. "Shiera... bagaimana kau... aku tidak pernah tahu kau punya kekuatan sihir sekuat ini!"
Shiera terkekeh, meskipun napasnya terengah. "Aku baru saja tahu, Liini. Jika usia sudah mencapai 18 tahun, akan diberikan elemen oleh Kristal Kehidupan. Aku baru 18 minggu lalu. Kurasa dia memilihku sekarang."
Liini mengangguk, meskipun masih shock. Ia tahu bahwa Kristal Kehidupan, yang seharusnya berada di lokasi rahasia, memiliki hubungan mistis dengan Guardian muda.
Indra dan Evelia segera mengangkat Miku dan Akihisa. Mereka tidak membuang waktu untuk berterima kasih atau merayakan.
"Ayo, cepat!" teriak Indra. Evelia, meskipun dalam mode Namitha, menggunakan kecepatan Kitsune untuk membantu membawa jenazah yang menyedihkan itu.
Mereka lari meninggalkan Lucius yang terperangkap. Shiera dan Liini menyusul, meninggalkan iblis yang marah itu di balik kristal yang perlahan retak karena kekuatan Amon yang masih mengalir melalui tubuhnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di puncak bersalju Gunung Fujin, tempat Amon terlempar, Araya bertarung dengan Amon di tengah badai salju buatan yang diciptakan oleh kekuatan iblis. Langit di atas gunung itu merah darah karena pusaran energi higanbana Araya.
Kini Araya sudah mencapai titik maksimalnya dan tidak akan kelelahan sedikit pun. Kekuatan Blood Manipulation-nya, yang dipicu oleh duka dan kemarahan atas kematian seluruh keluarganya, melampaui batas yang pernah ia capai. Higanbana bermekaran di udara, menyalurkan energi tanpa henti ke dalam dirinya.
Justru Amon yang perlahan melemah. Luka tusukan dari Araya sebelumnya, ditambah kerusakan akibat serangan Lightning Nuita, membuat pemulihan Amon lambat dan tidak sempurna.
Araya bergerak secepat kilat merah, menebas dan menusuk dengan katana-nya yang dilapisi energi darah. Setiap serangannya menusuk esensi gelap Amon.
"Kau bersembunyi seperti tikus di sini, Amon," kata Araya, suaranya dingin. Ia melompat mundur setelah serangan, sesekali Araya meremehkannya.
Amon meraung, mencoba membalas dengan cakar bayangan yang besar. "Diam! Aku akan menghancurkanmu, Bayangan!"
Araya menangkis serangan itu dengan mudah. "Kau hanya menggunakan sihir basi. Kau bilang kau akan mengambil tahta, tetapi kau hanya bisa membunuh wanita dan anak-anak yang tidak berdaya. Apakah itu yang bisa dilakukan oleh seorang Raja Iblis?"
"Aku adalah takdir Kerajaan ini!" teriak Amon, meluncurkan rentetan fireball neraka.
Araya berdiri tegak, membiarkan fireball itu menabrak perisai darah yang ia ciptakan. "Takdir? Kau pengecut yang lari dari pertarungan yang setara. Aku menantangmu saat kau masih dalam kondisi prima, dan kau memilih untuk menyerangku di Rumah Sakit, dengan senjata yang curang."
Araya melesat maju, katana-nya menebas bahu Amon, darah gelap menyembur. Amon menjerit kesakitan.
"Kau bahkan tidak layak menjadi musuhku," kata Araya, menatap Amon dengan jijik. "Kau hanya sampah yang harus disingkirkan. Pengorbanan mereka semua tidak akan pernah kau mengerti."
.
.
.
.
.
.
.
.
Aura kematian yang dipancarkan Araya kini begitu dingin hingga membuat udara di Gunung Fujin terasa beku. Keadaan berbalik, Araya tidak lagi hanya bertahan atau menyerang. Kini Araya mempermainkan Amon—sebuah tindakan yang menunjukkan dominasi mutlak.
Araya melompat mundur sejauh dua puluh meter, lalu menunjuk Amon dengan ujung katana-nya.
"Serang aku, Amon," tantang Araya, suaranya pelan dan mengancam. "Serang diriku sekuat tenaga. Tunjukkan padaku apa yang kau punya setelah kau menyerap begitu banyak nyawa tak berdosa."
Amon, yang kini benar-benar marah dan putus asa, meluncurkan energi gelap terkuatnya, gelombang kejut yang seharusnya menghancurkan gunung. Namun, setiap Amon menyerangnya, Araya selalu menyerang balik.
Sring!
Araya memotong gelombang energi Amon menjadi tiga bagian dengan kecepatan kilat, lalu melesat maju, menggores pipi Amon dengan presisi tanpa ampun.
"Terlalu lambat," desis Araya. "Itu yang terbaik? Ayolah, Raja Iblis! Bukankah kau baru saja membunuh ibuku?"
Araya mengungkit tentang kematian ibunya Amanda Yamada. "Kau membunuh Bunda Amanda di singgasananya dan kau membalasnya dengan belati di punggungnya. Serang lagi!"
Amon meluncurkan serangkaian cakar bayangan. Araya menangkis semuanya, lalu menusuk Amon di perut.
"Lalu Sahabatku Nuita," lanjut Araya, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan. "Kau membunuhnya saat dia lengah, di Rumah Sakit. Dia memberiku waktu. Kau membunuh si jenius yang sombong itu hanya karena dia membantuku?. Apa kau pikir aku akan memaafkan itu? Serang!"
Amon, kehabisan napas, mencoba melarikan diri, tetapi Araya sudah berada di depannya, menghalangi.
"Dan sekarang Adik kandungku Nina Yamada, dan suaminya Kizana Shoujin," kata Araya, nadanya naik, aura manipulator Araya kembali, tetapi kali ini, itu sebagai kebaikan—melindungi yang lemah.
"Kau membunuh adikku yang sedang mengandung! Kau mencuri keponakanku! Kau menghancurkan seluruh garis keturunan Royal! Apakah ini caramu bermain, Amon? Menghancurkan keluarga orang lain?"
Araya menyeringai tipis, bergumam hampir lupa jika ia dulu sering mempermainkan murid-murid di Akademi Animers saat menjadi Ketua OSIS sambil membenarkan rambutnya. Sikap masa lalunya kembali, tetapi kini digunakan untuk tujuan baik.
"Aku hampir lupa betapa menyenangkannya melihat wajah putus asa. Kau mengingatkanku pada murid-murid Kelas Satu yang selalu aku bully saat menjadi osis di Akademi Animers.
Amon, menyadari bahwa ia tidak akan menang dalam pertarungan langsung, mencoba taktik lain.
Amon menawarkan kerja sama. "Araya! Tunggu! Kita bisa bekerja sama! Kekuatanmu dan kekuatanku! Kita bisa menguasai dunia! Aku bisa mengembalikan Kerajaanmu, kau bisa memerintah di sisiku!"
Araya berhenti, lalu berjongkok dan menatap dalam Amon. Wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah iblis yang kelelahan itu.
"Kerja sama?" tanya Araya, nadanya dingin dan mengejek. "Bagaimana mungkin Iblis rendahan seperti dirimu menawarkan hal seperti ini kepada diriku?"
"Kau seharusnya tahu posisimu sekarang," desis Araya, matanya yang tunggal memancarkan ancaman total. "Kau bukan Raja. Kau hanya mainan yang rusak. Dan aku akan membuangmu ke tempat sampah neraka."
.
.
.
.
Araya masih berjongkok, menatap Amon yang terengah-engah dan terluka parah.
"Neraka?" ulang Araya, nadanya mengejek. Araya berpikir Neraka terlalu bagus untuk iblis karena itu asalnya. "Kau ingin aku mengirimmu ke rumah? Aku tidak akan semurah hati itu."
Araya bangkit, katana-nya menunjuk ke langit badai. Araya menyeringai, senyum mengerikan muncul di wajahnya.
"Menarik," desis Araya. "Kau adalah entitas dari dimensi lain, tapi kau kelelahan. Ternyata iblis bisa bernapas dan kehabisan tenaga. Sungguh ironi. Kekuatanmu hanyalah pinjaman, bukan milikmu."
Amon, dihina dan dianiaya, terus berusaha menyerang. Ia mencoba memanggil kekuatan gelap dari Gunung Fujin, tetapi energi di sekitar Araya terlalu dominan.
"Aku akan membunuhmu, Bayangan! Aku akan menghapusmu dari sejarah!" raung Amon, melancarkan serpihan bayangan putus asa.
Araya hanya menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa mati, Amon. Aku adalah penyesalan yang berjalan. Aku sudah mati sejak lama. Tapi kau..."
Araya melesat, menghindari serangan Amon dengan mudah. Dia muncul di belakang Amon, pedangnya diacungkan.
"Aku akan memberimu akhir yang pantas. Kau tidak akan kembali ke Neraka. Kau akan lenyap. Menjadi ketiadaan, seperti semua nyawa yang kau ambil."
Araya memfokuskan semua Blood Manipulation-nya. Katana-nya bersinar merah darah. Ini bukan lagi serangan chi sederhana, ini adalah serangan yang ditujukan untuk menghapus eksistensi.
"Sampai jumpa, Amon," bisik Araya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tepat ketika Araya akan melancarkan serangannya—serangan pamungkas yang dimaksudkan untuk menghapus eksistensi Amon—sebuah bayangan muncul di belakang Iblis yang terluka itu.
Tiba-tiba Lucius muncul dan menggenggam kepala Amon. Lucius tampak jauh lebih kuat, energinya pulih sepenuhnya, dan matanya memancarkan kegelapan yang menakutkan—jauh melampaui keadaan sebelumnya.
Amon berteriak kesakitan dan terkejut. "Lucius! Sembuhkan aku! Cepat! Aku butuh energimu!" Amon memohon untuk menyembuhkannya.
Namun, Lucius menyeringai—senyum yang penuh dengan pengkhianatan dan kekuatan yang mengerikan—dan memandang Araya.
"Tidak, Amon," ujar Lucius, suaranya kini lebih dalam dan lebih berat, seolah-olah ia menyalurkan kekuatan yang lebih tua. "Aku tidak akan menyembuhkanmu. Aku akan mengambil apa yang pantas menjadi milikku."
Sambil mengatakan kepada Araya, Lucius menyerap energi kegelapan Amon hingga lenyap tak tersisa. Gelombang kegelapan yang masif ditarik dari tubuh Amon, diserap oleh Lucius. Tubuh Amon mengerut, menjadi kering dan hampa, seperti cangkang yang dibuang.
"Lihat, Bayangan," kata Lucius, matanya menyala dengan kekuatan Arch-Demon yang baru didapat. "Kau tahu, Aku adalah wadah yang lebih baik. Dia terlalu tua dan terlalu terikat pada aturan Neraka. Dia tidak pernah benar-benar mengerti bagaimana menggunakan duka manusia."
Lucius melepaskan mayat Amon yang kini mengering, yang langsung hancur menjadi debu.
"Aku akan mengakhiri semua ini untukmu, Araya," lanjut Lucius. "Aku akan menyelesaikan kehancuran yang Amon mulai dengan begitu banyak kesalahan. Dan aku akan membalas semua rasa sakit yang aku dapat dari para muridmu yang merepotkan itu."
.
.
.
Araya menyimak dengan tenang. Ia memegang katana-nya, energi higanbananya kini fokus pada ancaman yang jauh lebih besar.
"Kau membunuh Iblis yang kau layani," balas Araya, suaranya datar. "Kau melanggar setiap aturan Neraka dan surga. Kau adalah pengkhianat sejati."
.
.
..
.
Lucius tertawa, kini benar-benar sombong. "Pengkhianat? Tidak. Aku adalah pemenang. Sekarang, Araya, tunjukkan padaku mengapa mereka menyebutmu Bayangan. Kita akan bertarung di kondisi puncaknya, kau dan aku. Sang Jenius melawan Sang Pahlawan!"
.
.
.
.
Araya memandang Lucius yang kini memancarkan kekuatan Iblis yang baru dan mengerikan. Araya terkekeh, suara tawa yang kering dan dingin di tengah badai salju.
"Jenius melawan Pahlawan?" ulang Araya, mengayunkan katana-nya santai. "Menarik. Siapa yang kau maksud Sang Jenius?"
Lucius, yang kini memiliki penampilan yang lebih menakutkan, menyeringai. Matanya merah pekat, dan energi gelap berputar di sekelilingnya.
"Jangan pura-pura bodoh, Bayangan," desis Lucius. "Aku adalah Sang Jenius. Aku adalah arsitek yang merencanakan kejatuhan Kerajaan ini. Aku meruntuhkan pertahananmu, membunuh Ratu-mu, dan menghancurkan moral kalian semua. Sementara kau..."
Lucius menunjuk Araya dengan cakar yang memanjang. "Kau adalah Pahlawan. Pahlawan yang naif, yang selalu mencoba menyelamatkan yang lain. Pahlawan yang terlambat menyelamatkan Ibunya, Sahabatnya, Adiknya, dan seluruh muridmu. Sekarang, Pahlawan, mari kita lihat apakah pengorbanan sia-sia ini akan memberimu kekuatan untuk membunuhku!"
Araya membenarkan penutup mata kirinya, menatap Lucius dengan mata tunggalnya.
"Kau salah, Lucius," balas Araya, suaranya tenang, tetapi dipenuhi ancaman. "Aku bukan Pahlawan. Aku adalah mantan psikopat. Aku adalah Bayangan. Dan kau salah total tentang siapa yang Jenius dan siapa yang Pahlawan."
Araya menunjuk dirinya sendiri. "Aku adalah Sang Jenius. Aku merencanakan kebangkitan kembali Kerajaan ini sejak aku lahir. Aku tahu setiap langkahmu, setiap kelemahanmu, dan setiap pengkhianatanmu."
Araya kemudian menunjuk ke tempat Lucius berdiri. "Dan kau? Kau bukan siapa-siapa. Kau hanya pecundang yang mencoba mencuri kekuatan bos-nya. Kau adalah seorang badut, Lucius. Dan aku akan mengakhiri pertunjukanmu sekarang."
Dua kekuatan besar berhadapan: Bayangan Sang Jenius yang didorong oleh duka, melawan Iblis Baru yang didorong oleh ambisi. Pertarungan pamungkas yang akan menentukan nasib Kerajaan telah dimulai.
.
.
.
.
.
.
Di puncak Gunung Fujin, Pertarungan Araya dengan Lucius dimulai. Itu adalah bentrokan antara Blood Manipulation yang diperkuat duka melawan kekuatan Iblis yang baru dan ambisius. Gunung itu berguncang hebat.
Araya, dengan kecepatan Higanbana Effect yang tak pernah kelelahan, melancarkan rentetan tebasan katana yang dilapisi darah yang mematikan. Lucius membalas dengan gelombang bayangan dan serangan chi gelap yang besar.
"Kau tidak secepat yang kau kira, Jenius!" teriak Lucius, memblokir serangan Araya.
"Aku hanya perlu lebih cepat darimu, Badut," balas Araya, suaranya tenang. Araya menusuk Lucius, meninggalkan luka menganga yang langsung disembuhkan oleh energi Amon yang ia serap.
Mereka berdua bertarung melintasi puncak gunung. Energi yang dilepaskan begitu dahsyat, menciptakan kawah-kawah baru di salju. Dalam satu bentrokan kekuatan yang masif, di mana Lucius melepaskan kekuatan bayangan dan Araya membalas dengan ledakan darah yang dimanipulasi, mereka berdua terlempar ke gunung Shirayuki, ratusan kilometer jauhnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di sisi lain, di Akademi, Liini dan Shiera baru saja menyelesaikan pengamanan jenazah Akihisa dan Miku ketika alarm bahaya baru berbunyi.
Bayangan Lucius yang juga mulai menguat—sisa-sisa energi gelap yang ditinggalkan Lucius di Akademi kini bangkit, diperkuat oleh energi Amon yang dilepaskan saat diserap. Bayangan itu mengambil bentuk wraith yang lebih besar dan lebih cepat.
"Mereka mengejar kita, Liini-san!" teriak Shiera, pedangnya beradu dengan wraith yang mencoba menghalangi jalan mereka keluar.
"Sial! Kita sudah kehabisan energi!" balas Liini, mengambil posisi bertahan, katana cadangan Araya yang kini menjadi senjatanya bergetar di tangannya. Liini dan Shiera dikejar oleh bayangan Lucius yang mulai menguat.
Mereka mundur ke lorong yang sempit, tempat Indra dan Evelia telah meninggalkan mereka.
"Kita harus bertahan sampai mereka aman!" kata Shiera.
"Tentu saja!" Liini menyeka keringat dan air mata. "Kita adalah murid Araya-sensei! Kita tidak akan membiarkan bayangan bodoh ini menyentuh kita!"
.
.
.
.
Di koridor sempit Akademi, Liini dan Shiera bertarung dengan sengit melawan bayangan-bayangan wraith Lucius. Ruangan itu penuh dengan bayangan yang menyerang dari setiap sudut.
Shiera, meskipun kelelahan, menggunakan katananya yang dilapisi energi kristal barunya, memotong wraith menjadi serpihan. Namun, Liini mengandalkan teknik berpedang Araya—teknik Bayangan yang cepat, efisien, dan mematikan—yang tanpa elemen karena usianya masih 15 tahun. Liini, meskipun Guardian yang lebih muda, menunjukkan ketenangan luar biasa, membelokkan dan menyerang balik dengan gerakan yang hampir identik dengan Araya.
"Kau meniru yang mati, Gadis Kecil!" suara wraith itu bergema, suara Lucius yang terdistorsi. Lucius Wraith menyerang mereka sambil memancing emosi mereka.
"Kau tahu, gurumu yang mati itu... dia mati dengan senyum di wajahnya. Bodoh! Dan Istrinya... dia mati memeluk mayat. Sungguh dramatis!" ejek wraith Lucius.
Shiera berteriak marah. "Diam, Iblis!"
"Jangan dengarkan dia, Shiera-san! Fokus!" seru Liini, menangkis serangan wraith yang mencoba menyentuh pipinya. Liini menarik napas dalam, mengabaikan penghinaan itu.
"Ini adalah teknik Bayangan! Bukan tiruan!" balas Liini, gerakannya cepat dan presisi.
Wraith itu tertawa. "Bayangan yang lemah! Sama seperti Nuita yang terbunuh dengan mudah! Sama seperti Nina yang mati bersama anaknya!"
Shiera, kehilangan kendali, melancarkan tebasan kristal yang kuat tetapi terbuka. Wraith Lucius melesat maju, siap menusuk Shiera.
"Shiera-san, lihat di belakangmu!" teriak Liini.
Liini, dengan katana cadangan Araya, melompat maju, memblokir serangan wraith itu dari belakang Shiera.
"Pengorbanan kami tidak akan sia-sia!" geram Liini. "Kami adalah yang akan mengakhiri warisan iblismu!"
.
.
.
.
Pertarungan Liini dan Shiera melawan Wraith Lucius semakin memburuk. Meskipun bertarung dengan teknik sempurna, energi mereka menipis.
Liini masih muda, namun ia tahu, ia siap untuk mati. Setelah menyaksikan pengorbanan begitu banyak orang, ia sudah menerima nasibnya. Ia bertarung dengan keberanian yang melampaui usianya, menganggap setiap tebasan adalah tebasan terakhirnya.
"Aku akan memberimu pelajaran dari Bayangan, Iblis!" teriak Liini, membelokkan serangan wraith itu dengan katananya, lalu melompat ke belakang untuk menghindari cengkeraman bayangan yang mencoba menjeratnya.
Shiera yang membantu Liini mulai merasa hal yang janggal. Setiap kali ia menyerang wraith itu dengan kristal, bayangan itu terasa lebih padat, hampir seperti wujud fisik.
"Liini-san, ada yang aneh!" seru Shiera. "Bayangan ini terasa lebih kuat dari yang seharusnya! Rasanya seperti... seperti dia mencuri sesuatu!"
"Dia mencuri waktu kita, Shiera-san! Fokus!" balas Liini, matanya terpaku pada pergerakan wraith itu.
Mereka bertarung sangat sengit, suara pedang beradu dengan energi gelap memenuhi koridor yang hancur.
Di sisi lain, di dalam ruang bawah tanah yang diselubungi sihir purba, Indra dan Evelia membaringkan jenazah Akihisa, Miku disebelah Kizana, Nina di suatu ruangan bawah tanah yang adalah lokasi Crystal of Life. Kristal besar itu bersinar redup, memancarkan aura kehidupan yang sayangnya, tidak bisa menjangkau mereka yang telah tiada.
Evelia menoleh ke suaminya. Air mata sudah kering di wajahnya, digantikan oleh ekspresi tekad yang keras.
"Sudah cukup," kata Evelia, menyentuh pipi Indra. "Kita harus kembali. Shiera dan Liini tidak akan bertahan."
"Aku tahu," jawab Indra, mengambil pedangnya. Ia menatap jenazah sahabat dan adiknya untuk terakhir kalinya. "Kita akan kembali. Dan kita akan membuat pengorbanan mereka semua berarti."
Mereka bergegas kembali untuk membantu Liini dan Shiera, berlari melalui lorong-lorong rahasia menuju aula utama, tempat suara pertempuran kembali memanas.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pertarungan di Akademi mencapai puncaknya. Liini dan Shiera sudah hampir kehabisan tenaga.
Dalam sebuah bentrokan energi, Shiera terpental sangat jauh hingga ke istana kerajaan yang sudah menjadi reruntuhan, menembus dinding dan menghilang dari pandangan.
"Shiera-san!" teriak Liini, membuat Liini lengah sesaat karena khawatir.
Tepat pada momen itu, Lucius Wraith melesat. Dan saat itu Liini tertusuk di bagian perut oleh cakar bayangan yang tiba-tiba memanjang. Liini terbatuk, darah menyembur dari mulutnya. Ia ambruk ke lantai, katananya terlepas.
Namun tidak sampai sana, Wraith Lucius mendekat, menyeringai kejam. Lucius Wraith membuat bayangannya menjadi senapan mirip Heavy Sniper Liini. Bayangan itu memadat, mengambil bentuk yang sangat familiar dan menyakitkan.
DOORR! DOORR!
Wraith Lucius lalu menembakkannya ke badan, mulut, sangat brutal. Proyektil bayangan menghantam Liini berkali-kali, menghancurkan tubuhnya yang sudah sekarat.
Hal itu disaksikan oleh Indra dan Evelia yang baru tiba. Mereka membeku di ambang pintu, melihat pemandangan kebrutalan terakhir Lucius. Wajah Indra berubah menjadi amarah murni.
"Bajingan!" raung Indra. Ia segera mengaktifkan mode terkuatnya. Indra langsung melesat ke arah Wraith Lucius menggunakan berserk Mode Auranya. Energi Royal merah murni meledak dari tubuhnya.
Wraith Lucius terkejut dengan serangan tiba-tiba itu dan terpental jauh.
Sementara itu, Evelia memeluk Liini yang sudah tak berbentuk. Ia segera menyalurkan energi Namitha-nya.
"Liini! Jangan tinggalkan kami! Aku mohon!" isak Evelia.
Liini hanya bisa mengeluarkan suara gemetar. Ia mencoba tersenyum kepada Kakak Indra dan Evelia.
Evelia terus menyalurkan energi Kitsune penyembuhannya, tetapi sama seperti Nina dan Kizana, gagal lagi karena adanya penolakan—sihir gelap Lucius telah menolak semua upaya penyembuhan.
Liini, dengan napas terakhirnya, mencoba meraih tangan Evelia. "K-Kakak Evelia... Jangan khawatir... Sensei... pasti akan menang..."
Lalu, Liini pun diam. Kehidupan Guardian termuda itu telah berakhir.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Momen pahit dan memilukan itu kembali terulang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Royal Liini Jisuya telah meninggal, korban terakhir dari serangan Wraith Lucius.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Evelia memeluk tubuh Liini dengan isak tangis. Ia mengangkat tubuh Liini yang mungil itu dengan lembut, wajahnya yang cantik kini dihiasi oleh air mata. Ia berdiri dan membawa Liini ke tempat Crystal of Life, tempat di mana Nina, Kizana, Akihisa, dan Miku beristirahat. Ia harus memastikan Liini setidaknya bersama dengan keluarga dan gurunya.
Sementara itu, Indra berusaha membantai Wraith Lucius dengan kemarahan yang membabi buta. Ia adalah Raja yang kehilangan segalanya, dan Wraith itu adalah satu-satunya sasaran yang bisa ia hancurkan.
"Kau akan membayarnya! Kau akan membayar untuk Kakak-ku! Untuk Adik-ku! Untuk semua temanku!" raung Indra, meluncurkan berbagai serangan magic dan fisik yang dahsyat. Aura berserk-nya mengoyak udara, setiap missile magic yang ia lepaskan meledak dengan kekuatan yang luar biasa.
Wraith Lucius, meskipun kuat, tidak bisa menahan intensitas dan keputusasaan dari serangan Raja yang marah itu. Bayangan itu menjerit kesakitan, terdorong mundur hingga ke dinding.
Akhirnya Lucius Wraith lenyap sepenuhnya, hancur menjadi debu gelap, tidak meninggalkan jejak. Aula Akademi kini senyap, hanya dipenuhi kehancuran dan duka.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Indra ambruk ke lantai, nafasnya terengah-engah. Energi berserk-nya mereda, meninggalkannya lemas. Ia menundukkan kepala, membiarkan katananya jatuh dari tangannya.
Evelia memeluk Indra yang sudah lemas karena terlalu banyak kejadian ia saksikan. Ia kembali dari ruang Crystal of Life dan langsung memeluk suaminya.
"Aku... aku tidak bisa lagi, Evelia," bisik Indra, suaranya pecah. "Aku kehilangan... semuanya... Mereka semua pergi..."
Evelia memeluknya erat-erat, menyalurkan kehangatan dari Kitsunenya.
"Aku tahu, Sayang," bisik Evelia, menahan tangisnya sendiri demi suaminya. "Tapi kita masih punya satu sama lain. Dan kita punya Araya-sensei. Dia sedang bertarung untuk kita. Untuk mereka."
"Kita harus membalas mereka, Evelia..."
"Kita akan membalas mereka, Suamiku," tegas Evelia, mencium pipi Indra. "Tapi kita tidak akan mati sia-sia. Kita harus bertahan. Kita harus menjadi saksi kemenangan Bayangan."
Mereka berdua bangkit, berjalan tertatih-tatih menuju ruang Crystal of Life, tempat perlindungan terakhir dan pemakaman darurat keluarga dan teman mereka.