Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Ayam jantan berteriak seolah memenangi lomba karaoke.
“KUKURUYUUUK!”
Yun Sia bangun dengan rambut berantakan seperti rumput habis diinjak sapi. Ia menguap lebar, lalu menoleh ke sudut rumah.
A-yang sedang… mengasah pedang.
Dengan wajah dingin.
Dengan aura penguasa.
Dengan cahaya matahari pagi yang bikin dia terlihat seperti pangeran perang yang tersesat.
Yun Sia mengusap mata dan berkata polos, “Pagi, Ayang.”
A-yang langsung batuk tidak jelas.“J-jangan panggil aku begitu.”
“Kenapa? Emang namamu bukan A-yang?” ujar Yun Sia dengan tatapan polos
“Itu… kalau kau mengucapkannya berbeda.” jawab A-yang
“Sudah, Ayang. Terima nasib.” ujar Yun Sia
Pipi sang kaisar dingin itu memerah sampai telinganya.
Liyan yang sedang menyapu membisik, “Tuan, wajah Anda berubah—”
“Diam.” tekan A-yang kesal
Liyan langsung kabur.
----
Setelah cuci muka sebentar, Yun Sia masuk ke dapur kecil. Ia mengikat rambutnya tinggi, menyalakan tungku, dan mulai memasak. Suaranya riang, tangannya lincah.
Cahaya api menari, wajan bergetar, aroma bawang dan daging memenuhi udara. Gerakannya cepat, akurat, penuh pengalaman.
Liyan terpaku di pintu. “Wah… Anda benar-benar koki sejati.”
“Jelaslah.” Yun Sia mengibaskan rambut (yang sebenarnya tidak berkibar).
“Kalau aku tidak pintar masak, aku sudah jadi mayat sejak umur tujuh.” jelas Yun Sia dengan ceria
Liyan menelan ludah. "Tidak semua orang bisa membicarakan kemiskinan dengan nada seceria itu…"
A-yang, yang aslinya sedang meditasi, membuka satu mata.
Ia tidak pernah melihat wanita bangsawan atau gadis desa yang memasak dengan ekspresi… bahagia seperti itu.
Setiap gerakan Yun Sia membuat dadanya menghangat.
A-yang memalingkan wajah.
“…Aroma ini…”
“Kamu suka, Ayang?” tanya Yun Sia
A-yang tersedak udara lagi.
----
Ketika hidangan selesai, di meja penuh dengan masakan, Yun sia mendapatkan beras dari pedagang beras yang lewat dan A-yang membelinya jadi Yun Sia bisa masak
Nasi goreng pedas
Sup tulang bening
Telur kecap
Teh jahe
A-yang menatap nasi gorengnya.“…Kenapa warnanya merah?”
“Itu cabai empat genggam.” jawab Yun Sia enteng
“Empat… genggam…” gumam A-yang dan Pengawal Liyan
“Biar kamu kuat.” ujar Yun Sia
“…Aku tidak butuh itu.” jawab A-yang cepat
“Tapi kamu harus makan.” paksa Yun Sia dan A-yang, karena harga diri seorang pria, akhirnya makan.
Satu sendok saja sudah membuat mata kaisar menyamar itu berair.
“Pedas… sekali…” gumamnya menahan tragedi.
“Ayang, mau aku tiupin makananmu?” tanya Yun Sia
“Tidak perlu!” ujar A-yang cepat dengan telinga memerah dan wajahnya merah seperti kepiting rebus.
Liyan dari seberang hanya mengamati sembari makan, "Kenapa aku merasa tuan tidak sedih karena pedas, tapi karena dipanggil Ayang…"
A-yang memakan semuanya tanpa membantah dan itu membuat Yun Sia senyum lebar.
“Ayang suka ya?”
“…Lumayan.” jawab A-yang, padahal dia makan tiga porsi.
---
Setelah sarapan, Yun Sia berdiri seperti jenderal. “Hari ini misi kita ada tiga!” Ia mengangkat tiga jari.
“Pertama… AYANG MANDI!” seru Yun Sia
A-yang nyaris menjatuhkan pedang. “Aku mandi setiap hari.”
“Bohong. Kamu bau dedaunan.” ujar Yun Sia
“Tidak.” jawab A-yang
“Percaya aku, Ayang. Kamu bau alam.” ujar Yun Sia lagi
Liyan menutup hidung pelan-pelan.
----
Mereka berjalan ke sungai di hutan. Airnya bersih dan jernih.
Yun Sia bertepuk tangan. “Bagus! Tempatnya nyaman!”
A-yang melirik air. “Aku berjaga.”
“Kamu tidak mandi?” tanya Yun Sia
“Aku mandi sendiri.” jawab A-yang
“Ya iyalah kamu mandi sendiri, Ayang. Tapi jangan lari, tau kamuikir aku mau mandiin kamu?” tanya Yun Sia
A-yang hampir terpleset oleh kata “Ayang” lagi.
---
Yun Sia pergi ke balik batu besar untuk mandi. A-yang langsung memalingkan wajah seperti biksu suci.
Tapi begitu Yun Sia menginjak lumut—
“WAAAA!!!”
CEBLOOOG!
A-yang Panik
A-yang langsung melompat ke sungai tanpa berpikir.
Pria itu, yang biasanya dingin seperti batu es, tiba-tiba berubah menjadi manusia paling panik di dunia.
“Yun Sia!” seru A-yang, Ia meraih tangan gadis itu dan menariknya ke permukaan.
Yun Sia batuk-batuk. “Aduh… airnya asin…”
“Itu sungai, bukan laut.” A-yang menahan panik.
“Airnya masuk hidungku! Ayang, tolong tiupin!” seru Yun Sia
A-yang: “…” Pipinya memerah seketika.
“Tidak perlu.” kata A-yang pelan.
“Tapi kamu khawatir ya?” tanya Yun Sia
A-yang menatap tajam, tapi suaranya lembut. “Kalau kau celaka… aku tidak bisa diam.”
Yun Sia terpaku.
Untuk pertama kalinya ia melihat A-yang tanpa dingin, tanpa ketus… sangat manusia.
Liyan yang mengintip dari jauh berbisik, “Ahhh romantis sekali… aku pingsan…”
-----
Setelah mereka kembali kering, Yun Sia menepuk tangan.
“Ayang! Ajarin aku bela diri!”
A-yang berdiri tegak. “Baik.”
“Ayang, pipimu merah…” ujar Yun Sia
“Karena matahari.” jawab A-yang cepat
“Padahal mendung.” ujar Yun Sia pelan sembari memandang langit
“…Diam.” seru A-yang
A-yang memperbaiki posisi tangan Yun Sia, setiap kali menyentuh, ia kaku.
Yun Sia tidak sadar apa-apa. “Begini?”
“Luruskan tanganmu.” ujar A-yang
“Ayang, jangan deket-deket, nanti aku meleleh.” seru Yun Sia
“Aku tidak melakukan apa pun.” jawab A-yang
“Ayang, aku deg-degan.” ujar Yun Sia
“Aku juga.” bisiknya terlalu pelan.
“Apa?” tanya Yun Sia
“Tidak! Kubilang fokus!” jawab A-yang cepat
Latihan berlangsung kacau, tapi manis.
Hingga akhirnya Yun Sia melakukan tendangan… dan jatuh.
A-yang segera menangkapnya, tubuh mereka sangat dekat. “Yun Sia… hati-hati.”
Yun Sia menatapnya. “Ayang… kamu wangi…”
“KAU BARU SAJA BILANG AKU BAU!” ujar A-yang sembari menekan kata katanya
“Itu tadi. Sekarang beda.” jawab Yun Sia
A-yang menyerah.
---
Saat matahari terbenam, mereka duduk di depan rumah kecil.
Yun Sia memakan umbi rebus hasil buruan A-yang.
A-yang hanya menatapnya makan dengan puas.
“Kenapa lihat aku begitu?” tanya Yun Sia.
“…Karena aku ingin memastikan kau tidak hilang.” ujar A-yang
“Hah? Kenapa aku hilang?” tanya Yun Sia
A-yang menatapnya serius. “Suatu hari… mungkin ada yang ingin mengambilmu.”
“Lah, kenapa? Aku kan orang biasa.” ujar Yun Sia heran
A-yang terdiam.
“Tapi tenang saja.” Yun Sia menepuk bahunya.
“Aku punya Ayang. Kamu jago berantem.” ujar Yun Sia sembari tersenyum
A-yang menunduk sedikit, senyum kecil muncul. “Sampai kapan pun… aku ada untukmu.”
Yun Sia mengedip.“Ayang… kamu nembak aku ya?”
A-yang tersentak, "Nembak apa?"
"Kamu bilang suka padaku?" ujar Yun Sia
“BUKAN! Aku hanya—” jawab A-yang gugup
“Ayang sudah jatuh cinta ya?” tanya Yun Sia
“Tidak.” jawab A-yang
“Sedikit?” tanya Yun Sia
“…Diam.” seru A-yang malu
“Sedikit ajaaa?” tanya Yun Sia
“DIAM.” seru A-yang
Yun Sia terkekeh puas.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, A-yang tidak dingin sama sekali.
Bersambung