Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Kedatangan Maheswara
Fadlan sumringah melihat wajah Hana muncul dari pintu masuk ruang guru. Empat hari tanpa melihat senyuman Hana membuat Fadlan merasa sunyi.
"Assalamualaikum Ustadzah," sapa Fadlan
"Waalaikumsalam," balas Hana, seperti biasa dengan senyuman.
Zahra berdehem.
"Assalamualaikum, Zahra," sapa Hana
"Waalaikumsalam," Zahra menjawab tanpa menoleh.
"Aulia belum datang?," tanya Hana pada Zahra.
"Dia izin dari kemarin. Kemungkinan hari ini juga tidak masuk," Fadlan cepat-cepat menjawab karena Zahra sama sekali tidak menjawab padahal Hana bertanya padanya.
"Oohh," Hana tersenyum.
Sok cantik. Sok alim. Sok sempurna. (Zahra).
**
Hana memperhatikan siswa yang memakai tongkat. Keningnya mengerut. Hana mendekati siswa itu.
"Khatan? Apa kabar?,"
Khatan mengangkatnya wajahnya menatap Hana..Suatu ketakutan muncul di matanya. Khatan segera membuang wajahnya dan berusaha berdiri. Tangan Hana menahan pundaknya.
"Kenapa ingin pergi? Kamu tidak mau ngobrol dengan ibu?," Hana tersenyum.
Khatan bergidik.
"Saya ke toilet dulu, Ustadzah," Khatan memaksa untuk berdiri dan dengan tertatih berjalan menjauh.
Laki-laki yang hanya memanfaatkan wanita untuk kesenangannya harus dihukum. (Hana).
Hana tersenyum melihat Khatan menjauh. Bukan. Bukan senyum biasa yang disukai orang-orang di sekolah itu. Tapi senyum dingin dalam tatapan yang tajam.
**
"Kamu ke mana, Mahes? Elmo bilang kamu ke kota sebelah ada urusan. Urusan apa?," suara Nyonya Salimar terdengar dari panggilan telepon.
"Bisnis baru, Ma," Maheswara mengarahkan setir mobilnya untuk menepi. Tak lupa menyalakan lampu sein.
"Bisnis baru? Tapi kenapa bawa mobil sendiri? Kenapa tidak pakai supir?,"
"Mama kan tahu sudah 8 tahun ini aku tidak pakai supir,"
"Yah setidaknya ajak Elmo. Masa kamu nyetir jauh sendiri,"
"Aman, Ma. Ini juga sudah mau tiba. Mungkin sebelum Ashar sudah tiba,"
Nyonya Salimar tidak banyak berkata-kata lagi. Dia hanya mengkhawatirkan anaknya. Dia takut peristiwa lain yang dapat merusak anaknya akan terjadi lagi.
Sedangkan Maheswara sudah bulat dengan tekadnya harus menemukan Hana. Sekilas Maheswara teringat pesan Elmo,
"Kalau memang benar dia gadis 8 tahun lalu itu, Tuan jangan dulu bilang yang sebenarnya. Ambil hatinya dulu, Tuan. Lalu katakan yang sebenarnya kalau Tuan adalah pria misterius pada malam itu,"
Maheswara seperti memikirkan sesuatu, mematikan lampu sein dan melajukan mobilnya lagi.
**
"Tidak apa-apa, Ustadz. Saya suka jalan kaki pulang kost," tolak Hana dengan lembut.
"Baiklah. Tapi sabtu lusa saya ingin mengajak Ustadzah jalan-jalan. Apa bisa?," Fadlan tidak menyerah.
"Insyaallah, jika tidak ada halangan, saya bisa,"
Hati Fadlan melonjak.
"Sudah mau pergi?," tanya Zahra yang sedari tadi mendongkol di samping motor Fadlan.
"Saya duluan ya, Ustadz, Zahra,"
"Hati-hati di jalan, Ustadzah," ujar Fadlan.
Wajah Zahra serasa mau jatuh melihat dua orang ini.
Dia terpaksa pura-pura ikhlas menerima Fadlan hanya menganggapnya sebagai adik. Padahal jauh di lubuk hatinya, tidak ada kata rela kalau Fadlan harus dimiliki wanita lain.
Hana yang sangat menyadari ketidaksukaan Zahra memilih cepat-cepat beranjak dari parkiran sekolah. Dengan langkah cepat dia ke luar sekolah, berjalan menuju kost-kostan nya.
"Assalamualaikum, Pak Yom," sapa Hana.
"Waalaikumsalam, Ustadzah," jawab Pak Yom yang baru selesai sholat Ashar, "Ustadzah, di ruang tamu ada yang cariin,"
"Cari saya?,"
"Iya. Katanya mau ketemu Hana Salsabila Hasyim. Itu nama panjang Ustadzah, kan?,"
"Iya, itu saya. Laki-laki atau perempuan, Pak Yom?,"
"Laki-laki, Ustadzah. Ganteng pisan," Monggo ditemuin sana, Ustadzah,"
Hana mengangguk dengan wajah kebingungan. Hana bergegas menuju ruang tamu yang ada di bangunan utama yang terpisah dari kamar-kamar kost. Hana tidak tahu siapa yang datang karena di kota ini tidak ada satupun kerabat yang dia kenal.
Hana terhenti di depan pintu masuk. Dia terperanjat melihat tamu yang datang.
"Maheswara?,"
Maheswara yang dari tadi mondar-mandir segera menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.
"Hana.. Assalamualaikum," sapa Maheswara berjalan ke arah Hana.
Suara Hana tersekat. Dia bingung apa yang diinginkan pria asing di depannya ini. Dan dari mana dia tahu tempat kost Hana.
Pria asing ini pasti berniat jahat. (Hana).
Wajah Hana menjadi panik tapi dia berusaha mengendalikan dirinya.
"Hana, aku tidak ada niat jahat sama sekali. Aku hanya ingin berteman karena sebagai pejuang mental, aku dikucilkan dari lingkungan keluarga dan teman-teman ku. Aku tidak punya teman hingga bertemu denganmu," Maheswara memasang wajah sedih.
Hati Hana terketuk.
"Duduklah Mahes," ujar Hana.
Hana duduk di sofa panjang. Maheswara bergegas duduk tepat di sampingnya.
"Maaf, Mahes bisa duduk di situ," Hana menunjuk sofa tunggu di seberang.
"Oh ya, maaf Hana," Maheswara salah tingkah. Entah kenapa, dia sangat ingin berdekatan dengan Hana. Tubuh Hana seperti ada magnet.
"Terus terang, kita belum saling kenal secara dekat tapi kenapa Mahes sampai ke kota ini untuk mencariku," tutur Hana dengan lembut. Maheswara memperhatikan gerakan bibir merah alami Hana ketika Hana berkata-kata. Matanya menikmati setiap gerakan itu.
"Aku ke sini bukan hanya sekadar ingin bertemu Hana. Aku ke sini karena ada kerjaan yang harus aku urus. Dan aku ingat, Hana naik kereta ke kota sini,"
Hana mengernyitkan kening.
"Kota ini cukup besar tapi Mahes bisa menemukan saya. Ini.. Suatu kebetulan yang sangat kebetulan," Hana tersenyum kaku.
"Aku membaca nama sekolah di pin tas mu. Aku mencari sekolah mu dan pihak sekolah memberitahu kalau kamu tinggal di sini,"
Huftt. Untung Elmo sudah menyiapkan alibi . Gadis ini mungkin mantan polisi yang biasa menginterogasi pelaku kejahatan. (Maheswara).
"Kenapa harus saya, Mahes. Banyak orang yang bisa Mahes jadikan teman. Apalagi kita berbeda eh...,"
"Aku tahu, kita berbeda. Aku laki-laki, Hana perempuan, tapi selagi kita berdua masih dalam batas kesopanan aku rasa tidak apa-apa kan kita berteman,"
Hana terdiam menatap wajah Maheswara. Maheswara sedikit tersipu di tatap selekat itu oleh wanita. Apalagi tatapan Hana yang lebih dulu memikat Maheswara saat melihat foto Hana.
"Aku hanya ingin bertemu dan mengobrol seperti ini dengan Hana. Tidak lebih. Aku merasa sesama pejuang mental kita berdua pasti saling memahami. Aku akan selalu duduk di sini dan Hana di situ. Itu saja," Maheswara melanjutkan agar Hana berhenti menatapnya seperti itu.
Hana tersenyum,
"Saya tidak keberatan berteman dengan Mahes. kebetulan juga saya di kota ini belum banyak teman. Ada teman-teman guru itupun tidak dekat,"
Maheswara ingin melompat kegirangan mendengar itu.
Maheswara tersenyum,
"Terima kasih Hana mau berteman dengan ku," Maheswara mengatur napasnya, "Hmm, besok boleh saya datang lagi setelah urusan kerja saya selesai?,"
"Tentu saja," Hana tersenyum lembut. Hati Maheswara meleleh.
"Ehmm, baiklah. Saya pamit dulu, besok saya ke sini lagi," Maheswara beranjak dari tempat duduknya.
Hana berdiri,
"Insyaallah ketemu besok," Hana menangkupkan tangannya di dada.
psikologi mix religi💪