Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore, matahari yang sedari tadi menyinari dunia dengan kehangatannya secara perlahan-lahan mulai turun ke ufuk barat untuk mengistirahatkan tubuhnya, membuat langit yang sebelumnya berwarna biru muda berubah menjadi warna jingga.
Para warga kota Jakarta yang sedari tadi sangat enggan untuk beraktivitas di luar ruangan—takut dengan sinar sang Surya—perlahan-lahan mulai keluar dari gedung-gedung pencakar langit, guna menikmati keindahan serta kedamaian pada sore hari yang begitu sangat menenangkan.
Meninggalkan suasana kota Jakarta yang sedikit lebih tenang, di dalam sebuah studio musik yang memiliki berbagai macam peralatan sangat mahal, kini terlihat sosok Azka sedang asyik memainkan sebuah instrumen menggunakan piano.
Azka dengan begitu sangat lincah serta lihai menggerakkan jari-jemarinya, seolah alat musik itu adalah sahabat baiknya. Setiap nada yang keluar dari permainan tangannya terdengar begitu halus dan menyatu, menciptakan harmoni yang mampu mengisi seluruh ruangan dengan suasana tenang sekaligus menyentuh hati.
Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela besar di sisi kanan studio membuat sosok Azka terlihat semakin berkharisma—terpancar lembut di wajah tampannya yang tampak begitu sangat serius, dengan kening sedikit berkerut dan bibir yang menekan rapat setiap kali dirinya fokus pada nada sulit.
Beberapa menit berlalu, Azka menghentikan gerakan jari-jemarinya saat nada terakhir mengalun sempurna. Ia menundukkan kepala, mengembuskan napas panjang beberapa kali sambil mulai menutup mata ketika ingatan tentang sifat Aira yang benar-benar berubah kepada dirinya sejak kejadian beberapa hari lalu.
“Ibu Aira benar-benar berubah banget sejak kejadian waktu itu … kalau udah kayak gini … gimana nasibku ke depannya? Kayaknya aku benar-benar bakal susah buat lulus di kelasnya …,” gumam Azka, seraya secara perlahan-lahan menggigit bibir bawahnya cukup kencang saat tiba-tiba saja hatinya terasa begitu sangat sakit ketika mengingat setiap perilaku Aira kepadanya akhir-akhir ini, “Aku harus apa sekarang. Rasanya pengin banget minta maaf lagi, tapi kayaknya bakalan susah banget … apala—”
Gumaman Azka seketika terhenti saat dirinya tiba-tiba saja mendengar suara pintu masuk ruangan studio sedang dibuka oleh seseorang dari arah luar. Ia segera mengangkat kepala dan mengalihkan pandangan ke arah belakang untuk melihat sosok seseorang yang telah mengganggu aktivitasnya, lantas mulai mengukir senyuman samar saat melihat sosok Livia dan Rhea sedang melangkahkan kaki mendekati tempat dirinya berada sekarang.
“Ternyata lu udah ada di sini … gue sama Livia cariin dari tadi juga,” kata Rhea, menghentikan langkah kaki tepat di hadapan Azka sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Azka berbalik badan sepenuhnya, menatap wajah cantik Livia dan Rhea secara bergantian sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit berantakan. “Ngapain lu berdua nyariin gue? Kenapa nggak langsung chat atau telepon kayak biasanya?”
Livia memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit turun, lantas melangkahkan kaki mendekat dan menggerakkan tangan untuk mengacak-acak rambut Azka. “Gimana gue sama Rhea mau chat atau nelepon lu … kami berdua aja belum punya nomor telepon lu yang baru.”
“Emang iya?” tanya Azka tanpa dosa, membiarkan Livia terus-menerus mengacak-acak rambutnya yang tadi sempat dirinya rapikan sedikit.
“Iming iyi ….” Rhea menghela napas panjang, sebelum mengulurkan tangan kanan ke arah Azka. “Mana handphone lu yang baru … gue pinjam sebentar.”
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Azka segera mengambil handphone dari dalam saku jaket yang berada di atas sofa samping piano, lalu menyerahkan benda pipih itu kepada Rhea—membiarkan sang sahabat melakukan semua hal yang diinginkan di dalam sana.
Rhea menerima handphone milik Azka, kemudian mulai berfokus melakukan sesuatu di dalam sana—mengabaikan kedua sahabatnya itu memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.
Beberapa menit berlalu, Azka mengalihkan pandangan ke arah tempat Livia berada, sebelum kembali membuka suara.
“Yang lain ke mana, Liv?” tanya Azka.
Livia membalas tatapan yang sedang diberikan oleh Azka, lantas mengangkat kedua bahu pelan dan mulai menggeleng-gelengkan kepala. “Gue nggak tahu … tadi gue sama Rhea ke warkop depan kampus juga mereka nggak ada.”
Azka mengangguk-anggukkan kepala paham, lantas berbalik badan dan kembali berfokus pada piano yang berada tepat di depannya. “Temenin gue, yuk, Liv … lu nyanyi … daripada gabut nungguin Rhea main handphone gue.”
Livia diam sejenak, mengalihkan pandangan ke arah Rhea yang masih berfokus pada handphone milik Azka, sebelum akhirnya menganggukkan kepala pelan dan mulai mendudukkan tubuh di samping kanan tempat sahabat cowoknya itu.
“Mau nyanyi lagu apa? Jangan yang galau-galau … nanti lu keingat sama semua masalah yang udah-udah lagi,” tanya Livia, sembari menaruh sling bag berwarna hitam miliknya di atas pangkuan.
Azka mengangkat alis kanannya saat mendengar perkataan Livia, sementara jari-jemarinya dengan begitu sangat santai mula menekan beberapa tuts piano, menghasilkan nada-nada lembut yang mengalun pelan di dalam ruangan studio.
“Tenang aja,” ucap Azka dengan nada datar, tetapi terdengar begitu sangat tenang dan dalam, “Gue lagi nggak kepikiran apa-apa, kok, Liv … Gue cuma pengin main aja sambil dengerin lu nyanyi.”
Nada-nada yang Azka mainkan terdengar seperti potongan intro dari sebuah lagu yang sangat familiar di telinga Livia, membuat cewek cantik berkacamata itu sempat sedikit mengerutkan kening, berusaha mengenali melodi yang sedang dimainkan oleh sang sahabat.
“Eh, ini kayaknya lagu—”
“Heaven,” potong Azka tanpa mengalihkan pandangan ke arah Livia sedikit pun, masih terus berfokus pada piano di depannya, “Gue lagi suka sama vibe-nya … lembut, tapi dalam.”
Livia mengangguk pelan, sembari mulai mengukir senyuman tipis di bibir mungilnya. “Oke, kalau gitu gue ikut. Tapi, jangan salahin gue kalau nanti lu malah makin mellow, ya.”
Azka mengukir senyuman samar saat mendengar hal itu, seraya secara perlahan-lahan menatap Livia sekilas, sebelum kembali berfokus ke arah piano. “Selama lu yang nyanyi, Liv … gue rasa nggak bakal mellow, sih.”
Kalimat itu membuat Livia spontan terdiam sepersekian detik. Ia bisa merasakan nada tulus di balik suara Azka yang begitu sangat tenang itu—tidak bernada menggoda, tetapi juga tidak sepenuhnya datar seperti sebelum-sebelumnya.
Sebuah kalimat yang keluar begitu saja, tetapi cukup untuk membuat suasana di antara mereka berdua sedikit lebih hangat.
Livia sedikit menundukkan kepala, menyembunyikan senyumannya yang semakin bertambah lebar sebelum pada akhirnya mulai bernyanyi mengikuti alunan piano dari Azka. Suaranya lembut, stabil, dan terasa penuh akan emosi—mengisi setiap ruang kosong di antara nada-nada piano yang sedang dimainkan oleh sahabat baiknya itu.
Rhea yang sejak tadi masih sibuk dengan handphone milik Azka secara perlahan-lahan menurunkan benda pipih itu dan mulai memperhatikan kedua sahabatnya yang kini sedang larut dalam irama musik. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, lantas mengukir senyuman manis penuh kebahagiaan sebelum pada akhirnya bergumam pelan.
“Kalian berdua memang cocok banget kalau udah kayak gini … bikin suasana jadi adem.”
Azka melirik sekilas ke arah Rhea tanpa menghentikan permainan pianonya lalu kembali menatap tuts dengan ekspresi begitu sangat tenang. “Jangan ganggu dulu, The. Gue lagi nemuin feel-nya.”
Mendengar hal itu, Rhea hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala pelan, lantas kembali menikmati permainan piano serta nyanyian dari kedua sahabat baiknya itu.
Nada piano kembali mendominasi suasana ruangan—lembut, tenang, dan berirama selaras dengan suara Livia. Ketiganya seakan kembali ke momen-momen lama mereka saat latihan band dulu, ketika semua terasa ringan tanpa beban.
Beberapa menit berlalu, setelah lagu itu berakhir, Livia perlahan-lahan menoleh ke arah Azka dan mulai membuka suara.
“Keren banget, Az. Lu makin halus aja mainnya … nggak kayak waktu pertama kali,” puji Livia, sembari memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit turun.
Azka tersenyum kecil tanpa membalas tatapan Livia. “Cuma ngikutin feeling aja.”
“Feeling, huh?” Rhea berdiri sambil mengembalikan handphone Azka ke tangan pemiliknya. “Feeling-nya ke siapa dulu, nih?”
Azka hanya mengangkat bahu santai, menyimpan handphone ke saku jaket sambil berjalan menuju jendela besar di sisi ruangan. Sinar matahari sore menerpa wajahnya, menonjolkan ketenangan sekaligus misteri dalam ekspresinya.
“Kalau feeling-nya ke musik,” ucap Azka pelan, tetapi terdengar sangat jelas, “Itu artinya gue lagi tenang.”
Livia dan Rhea saling pandang, lalu tersenyum bersamaan. Karena mereka tahu—setiap kali Azka tengah bicara dengan nada setenang ini, artinya dia sedang berada dalam mode cool but deep miliknya yang begitu khas untuk mereka.