Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18 Pasar, Rindu, dan Langkah Takdir
Pagi itu, langit Kekaisaran Wang tampak lebih cerah dari biasanya. Angin berembus ringan membawa aroma bunga taman dan wangi roti kukus dari dapur istana. Namun bagi Yun Sia, pagi itu terasa istimewa bukan karena matahari, melainkan karena satu hal kecil yang sejak semalam mengisi benaknya: ia ingin keluar istana. Bukan untuk hal besar, bukan untuk misi rahasia, bukan untuk tugas kerajaan ia hanya ingin berjalan di pasar, melihat orang-orang, mencium aroma masakan jalanan, dan merasa… hidup seperti manusia biasa.
Ia berdiri di depan A-yang, mengenakan pakaian sederhana yang jauh lebih polos tapi jika di teliti lagi maka akan tau jika itu sutra terbaik dari gaun-gaun istana. Rambutnya hanya dikepang seadanya, tanpa hiasan berat, tanpa madu emas, tanpa mutiara tapi terlihat sangat cantik dan anggun
“Ayang,” katanya, menatap penuh harap. “Aku mau ke pasar.”
A-yang mengernyit kecil. “Untuk apa?”
Yun Sia cemberut. “Untuk hidup.”
Kaisar Wang hampir tertawa memandang Yun Sia yang selalu punya jawaban nyeleneh tapi menggemaskan.
Ia berdiri, memicingkan mata dengan gaya otoriter pura-pura. “Pergi ke pasar berarti keluar wilayah kekaisaran. Banyak mata di luar sana. Banyak bahaya.”
“Aku mau kacang gula.” ujar Yun Sia dan itu membuat semua kehormatan kekaisaran runtuh oleh satu kalimat.
A-yang menghela napas panjang, memijat pelipisnya. “Kadang aku bertanya-tanya… ini kekaisaran atau tempat penitipan anak.”
Belum selesai dengan Yun Sia tiba tiba pintu itu terbuka dan muncullah putri Wang Jia, adik kaisar yang cantik ceria, masuk dengan semangat seperti badai sambil membawa sekantung buah manisan.
“Gege!” serunya. “Aku dengar kakak ipar Yun Sia mau ke pasar?!” tanyanya penuh ceria
Yun Sia langsung berlari ke arahnya. “Iya! Kamu ikutkan aku ya!”
Wang Jia menoleh cepat ke A-yang, memasang wajah malaikat seribu kekalahan. “Gege…”
A-yang menghela napas, kali ini lebih panjang. “Aku mau kalian dengan pengawal. Liyan ikut. Jangan ke lorong belakang. Jangan bicara dengan orang asing. Dan pulang sebelum matahari condong.” pesan sekarang kaisar yang lebih seperti pesan suami atau ayah pada istri dan anaknya
Yun Sia melonjak kecil dan memeluknya. “Ayang! Kamu baik banget!”
Tubuh A-yang menegang lalu mati rasa dan akhirnya… pasrah.
Wang Jia hanya nyengir puas.
----
Pasar Kekaisaran Wang selalu hidup. Terlalu hidup, bahkan. Penjual teriak bertumpuk dengan aroma panggangan, suara alat musik jong, teriakan anak kecil, dan suara tawar-menawar yang seperti peperangan dunia kecil.
Yun Sia berjalan seperti anak yang baru dilahirkan kembali.
Ia berhenti di setiap sudut.
“Oh ini apa?”
“Waa dia goreng apa?”
“Kenapa ikannya berteriak sebelum dimasak?”
Wang Jia tertawa tak henti. “Ayolah, kakak ipar Yun, kamu ini kayak turun dari langit!”
Liyan yang berjalan di belakang mereka sudah seperti ayah galak mengawal dua anak kecil yang hiperaktif. “Non… jangan sentuh itu… itu pedas… itu panas… itu hidup…”
Yun Sia malah tersenyum lebih lebar Ia membeli kacang gula. Wajahnya langsung berbinar saat menggigit.
“Aku mau mati di sini,” kata Yun Sia polos.
“Kenapa?” tanya Putri Wang Jia
“Karena ini terlalu manis untuk dunia.” jawab Yun Sia
Wang Jia menepuk dahinya. “Kamu terlalu drama untuk manusia normal, tahu?”
Di satu lapak, seorang penjual gelang tua memanggil Yun Sia. “Nona kecil, coba ini.”
Ia menyodorkan gelang batu pirus.
“Katanya kalau ini dipakai oleh anak yang hilang, ia akan menemukan jalannya pulang.”
Yun Sia terdiam.
Tangannya gemetar kecil.
Wang Jia langsung memperhatikan perubahan itu. “ kakak ipar Yun?”
Yun Sia tersenyum canggung. “Nggak… aku cuma… suka warnanya.”
Ia membeli gelang itu.
Tak ada yang tahu, tapi jantungnya berdetak lebih cepat sejak itu.
Perasaan aneh menggerogoti dadanya perasaan bahwa “pulang” adalah kata yang lebih besar dari rumah, lebih menyakitkan dari rindu, dan lebih berat dari hidup.
Namun keheningan hatinya tak berlangsung lama karena sepuluh langkah kemudian…
Wang Jia menjerit. “ITU TOPENG KUCING!!!”
Dan Yun Sia menyeretnya ke sana.
Dua gadis itu akhirnya saling mengejar sambil mengenakan topeng-topeng paling mengerikan yang pernah lahir di dunia manusia.
Liyan?
Sudah kehilangan kewarasan.
Ia berdiri di tengah pasar sambil menggumam pelan, “Yang Mulia… saya ingin cuti pensiun.”
Saat Yun Sia dan Wang Jia tertawa sampai hampir jatuh di depan kios tahu goreng, seorang pria berjubah hitam mengawasi dari kejauhan. Matanya tajam, penuh gejolak.
Ia adalah utusan Lang.
Dan di hadapannya berdiri…
Putri yang telah lama mereka cari.
Bukan dalam gaun emas.
Bukan di atas takhta.
Tapi…
Sedang tertawa dengan mulut penuh tahu.
Dunia seolah mencubit dada pria itu.
“Apa dunia bercanda…” gumamnya lirih.
...****************...
Di Kekaisaran Lang… Langit tak secerah itu.
Permaisuri Lang duduk di depan cermin, menatap mata sendiri yang kini dilingkupi tekad.
“Aku tidak bisa menunggu lagi,” katanya pada Kaisar.
Suara itu tidak gemetar dan tidak ragu. “Jika dunia telah menemukannya lebih dulu… maka aku tak akan menunggu dunia mengizinkanku menjadi ibunya lagi.”
Kaisar Lang menggenggam tangannya.“Kita pergi bersama.”
Jenderal Qiao masuk dengan langkah mantap. “Yang Mulia. Semua siap. Tempat peristirahatan telah disiapkan di dekat istana Wang. Empat pengawal khusus, tabib, dan tiga pelayan dalam perjalanan.”
Permaisuri berdiri Ia menyentuh jantungnya sendiri. “Anakku hidup.”
Kalimat itu sederhana, tapi seperti hujan setelah kemarau sepuluh tahun.
---
Sore itu, Yun Sia dan Wang Jia pulang dengan wajah merah, keringat, dan penuh plastik jajan.
A-yang berdiri di gerbang istana seperti ayah menunggu anaknya pulang sekolah.
Matanya menajam. “Kalian berdua seperti baru kabur dari pesta iblis.”
Yun Sia dengan polos menyerahkan kantong. “Ini buat kamu.”
A-yang membuka Isinya satu kue wijen yang bentuknya… Sangat gagal. “Apa ini.”
“Karya seni berjudul. Aku Rindu Kamu di Tengah Gula dan Minyak.”
A-yang terpaku.p, Ia menggigit sambil memalingkan wajah, lalu berkata lirih, “Manis.”
Padahal rasanya aneh.
Tapi hatinya hangat.
Malam itu, Yun Sia duduk di balkon lagi.
Gelang pirus di tangannya berkilau terkena cahaya bulan.
Ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia namai seperti ada arah yang memanggilnya, walau ia tak tahu ke mana.
A-yang duduk di sampingnya. “Kamu bahagia hari ini?” tanyanya.
Yun Sia tersenyum kecil. “Iya… tapi juga aneh.”
“Aneh bagaimana?” tanya Wang Tian
“Seperti bahagia itu bukan akhir… tapi awal sesuatu yang lebih besar.” jawab Yun Sia
A-yang memandang langit, takdir sedang menggulung awan dan dari balik gelap…
Langkah seorang ibu semakin dekat.
Di kejauhan, iring-iringan Kekaisaran Lang mulai bergerak.
Kereta berhias naga putih melintasi senyap.
Permaisuri menatap ke arah Wang seolah bisa menembus dinding tanah dan takdir.
“Anakku…”
Bisiknya menggema di malam.
Dan dunia…
Tak akan memberi waktu lebih lama.
Bersambung