Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Riki terbangun di kamarnya. Cahaya matahari mulai menerobos dari celah gorden. Di sampingnya, Lusi masih tertidur pulas, wajahnya tertutup setengah oleh selimut.
“Huh... dulu Anjani selalu membanggakanku,” gumam Riki pelan. “Tapi sekarang? Lusi masih saja tidur. Semalam aku lihat dia main ponsel sampai dini hari. Tidur pas subuh.”
Riki bangkit dari ranjang, berjalan malas menuju kamar mandi. Saat membuka kran, air dingin menyambutnya.
“Tidak ada air hangat,” gumamnya lagi.
Sambil berdiri di bawah shower, pikirannya melayang.
“Kenapa dulu aku malah menyia-nyiakan Anjani? Tapi ini demi karierku... wajar aku pilih Lusi. Anak pejabat, koneksi banyak, karier pasti lebih mudah. Beda sama aku dan Anjani, dari kalangan menengah ke bawah.”
Lama ia terpaku di kamar mandi. Hampir setengah jam hanya berdiri, melamun.
Keluar dari kamar mandi, ia mengeringkan rambut dengan handuk. Matanya melirik kasur.
“Masih tidur. Kopi juga nggak ada,” gumamnya kesal.
Padahal dulu pas keluar kamar mandi ada kopi dan goreng pisang tapi sekarang semua itu hilang, hilang bersama Anjani.
Ia menghampiri Lusi, lalu menepuk pelan pundaknya.
“Si... Lusi... bangun. Shalat subuh, Lus.”
“Hmm...” Lusi hanya menggumam, tak bergerak.
“Lusi, bangun. Kamu nggak shalat subuh?”
“Apaan sih... emang aku nenek-nenek? Nanti aja, kalau udah tua baru shalat subuh,” ucap Lusi sambil menarik selimut menutupi wajahnya.
Riki terbelalak mendengar hal itu, apa mungkin begini kebiasaan anak pejabat seperti ini.
“Lusi... bangun dong. Bikinin aku kopi, kek. Kamu itu sekarang istriku. Harusnya nurut sama aku.”
“Brisik ah. Aku mau tidur. Aku bukan pembantu kamu. Bikin sendiri kopi sana... atau suruh ibumu aja,” balas Lusi tajam tanpa membuka mata.
Riki terdiam. Rahangnya mengeras. Ia berdiri di sisi ranjang, memandangi istrinya yang masih tenggelam dalam selimut tebal.
Tidak ada rasa hormat. Tidak ada kepedulian. Hanya ego dan kemalasan.
Dan untuk sesaat... ia kembali melihat bayangan Anjani—perempuan yang selalu bangun sebelum subuh, membuatkan kopi panas, dan menyambutnya dengan senyum.
Riki keluar kamar. Di dapur, ibunya, Mirna, sedang berjibaku dengan cucian piring. Keringat mengalir di pelipisnya, sesekali diusap dengan tangan basah.
“Dulu waktu ada Anjani, Ibu hampir nggak pernah nyentuh dapur, cuci baju, atau bersih-bersih,” gumam Riki dalam hati. “Kapan aku bisa bahagiain Ibu kalau begini terus.”
Riki mendekat.
“Bu, si Nina sama Nani ke mana? Kok nggak bantuin?”
Mirna terus menggosok piring. “Semalam mereka pergi. Katanya ada tugas kuliah, ngerjainnya di rumah temannya.”
“Lah, acaranya kan selesai jam sepuluh malam. Ibu izinin mereka keluar jam segitu?”
“Sudahlah, Ki... mungkin tugasnya mendadak,” jawab Mirna pelan.
Riki mengerutkan dahi. “Aku tahu pasti Ibu dimarahin Bapak kan, karena larang mereka keluar?”
Mirna terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Sudahlah, Ki. Ibu buatin kopi dulu ya.”
“Ibu... Lusi tuh tidur terus. Nggak bantu apa-apa. Subuh aja nggak bangun.”
“Jangan samakan Lusi sama Anjani,” potong Mirna. “Lusi itu anak pejabat. Mana mungkin dia ngerjain kerjaan rumah.”
“Justru itu, Bu. Malah makin enak hidupnya.”
Mirna menatap Riki sebentar. “Nanti kalau kamu tinggal di Surabaya, kamu harus siapin ART. Perlakukan Lusi dengan baik. Supaya kamu dapat rekomendasi dari keluarganya.”
Riki terdiam. Perutnya perih menahan kesal.
“Dalam bisnis, koneksi itu penting, Ki,” lanjut Mirna. “Ibu tahu kamu nggak suka, tapi ini cara naik kelas. Kamu tahan aja dulu.”
Riki menunduk. Pikirannya campur aduk. Di satu sisi ingin menuruti ibunya. Di sisi lain, bayangan Anjani terus menghantui.
.....
“Ki, kamu nggak kerja hari ini?” tanya Mirna sambil menyodorkan secangkir kopi ke Riki yang duduk di meja makan.
“Hari ini sidang pertamaku sama Anjani, Bu. Sore mungkin aku langsung ke Surabaya,” jawab Riki sambil menyeruput kopi panas itu.
“Oh... hari ini, ya? Mending nggak usah datang aja, Ki. Biar cepat selesai. Kamu juga udah punya istri sekarang,” kata Mirna mencoba menyarankan.
“Gak bisa, Bu. Aku harus datang,” sahut suara berat dari belakang.
Adi, ayah Riki, muncul dari kamar dengan sarung dan baju koko kusut. Ia menyerahkan ponselnya ke Mirna dan Riki.
“Nih, baca sendiri,” ucap Adi.
Di layar, terpampang artikel dari portal berita nasional. Judulnya: Anjani, Petani Muda Inspiratif: Dari Desa ke Forum Nasional. Foto Anjani tampak sedang berbicara di depan mahasiswa dan pejabat kementerian.
Riki menghela napas panjang. Sorot matanya kosong.
“Alah, Pak... biasa aja itu. Yang bikin keputusan tetap pejabat. Kayak bapaknya Lusi,” komentar Mirna, walau hatinya terasa nyesek. Ia yang paling keras mendesak Anjani pergi dulu.
“Bu, kita harus realistis. Riki punya hak atas harta Anjani. Sawah, kebun, kontrakan, bahkan hak paten pupuk. Itu semua nggak main-main,” kata Adi mantap.
“Dari mana Bapak tahu?” tanya Mirna curiga.
“Baca aja berita itu sampai habis. Ada semua rinciannya,” jawab Adi singkat.
Mirna melotot ke layar. “Gila... Selama ini kita dibohongi Anjani. Iya, Ki... kamu harus dapat bagian. Jangan mau rugi!”
“Kalau dia nggak mau gimana?” tanya Riki pelan.
“Jangan setuju cerai. Tahan aja. Seret prosesnya. Biar dia yang lelah duluan,” ujar Adi.
Tiba-tiba Lusi muncul dari kamar dengan gaun tidur tipis. Dalaman transparan. Adi yang melihatnya langsung menelan ludah.
“Bu, buatin aku kopi, dong,” ucap Lusi malas, matanya masih belekan.
“Lusi! Jangan nyuruh-nyuruh Ibu!” bentak Riki.
“Riki! Jangan bentak istri kamu!” Lusi membalas galak.
“Tapi Bu, lihat sendiri...”
“Sudah, Ibu bikinkan,” potong Mirna buru-buru.
Riki berdiri dan keluar dari meja makan, wajahnya tegang.
Kini tinggal Adi dan Lusi di ruang makan. Mereka duduk bersebelahan.
Kaki Adi diam-diam menyentuh paha Lusi. Lusi tidak menghindar, malah tersenyum dan mendekat.
“Gimana malam pertamanya?” bisik Adi, bibirnya nyaris menyentuh telinga Lusi.
“Payah. Aku belum apa-apa, dia udah tumbang,” balas Lusi malas.
“Ehmm...” suara deheman dari arah pintu.
Adi dan Lusi terkejut. Riki berdiri di sana dengan tatapan tajam.
“Sedang apa kalian?” tanya Riki curiga.
“Ini, Pak... eh, maksudku... tadi Bapak tanya kenapa HP-nya banyak iklan. Aku bantu hapusinnya,” jawab Lusi cepat, senyum tipis menutup kepanikan.
"Ini kopinya, Lusi," ucap Mirna sambil meletakkan cangkir di meja. Perhatian pun langsung tertuju padanya.
"Terima kasih, Bu," jawab Lusi dengan santai.
"Mas, antar aku ke salon, dong. Aku harus perawatan dulu sebelum ke Surabaya. Harus tampil cantik," ucap Lusi manja kepada Riki.
"Tidak bisa. Aku harus menghadiri sidang perceraianku dengan Anjani," jawab Riki datar. Ia masih menyimpan rasa curiga terhadap kedekatan ayahnya dan Lusi.
"Ngapain kamu hadir? Anjani juga udah mati," celetuk Lusi tiba-tiba.
Semua terdiam. Lusi refleks menutup mulutnya.
"Apa? Mati?!" seru Mirna dan Riki bersamaan.
"Darimana kamu tahu, Lusi?" tanya Riki dengan mata membelalak. Suaranya mulai bergetar.
"Tidak mungkin... ini, lihat sendiri beritanya," kata Adi sambil menyodorkan ponselnya.
"Iya, itu ada berita kematian Anjani," sahut Lusi, mencoba membenarkan ucapannya.
"Bukan! Bukan berita kematian, tapi berita prestasi!" sanggah Adi sambil menunjuk layar.
Lusi mengambil ponsel itu dan membaca. Di sana terpampang Anjani sedang memberi ceramah dalam acara nasional.
"Itu berita dua minggu lalu," ucap Lusi, mulai gelisah.
"Lalu darimana kamu tahu Anjani meninggal?" tanya Riki, kali ini dengan mata berkaca-kaca.
"Aku... aku dengar dari temannya ayahku. Katanya kematiannya sengaja disembunyikan karena bisa mengganggu proyek nasional," jawab Lusi gugup, membuat alasan sekenanya.
"Tidak... tidak mungkin," ucap Riki pelan. Air mata mulai menetes di pipinya.
Mirna menatap Lusi tajam. “Kalau Anjani benar meninggal, pasti pengadilan akan mengirim pemberitahuan. Sebaiknya kamu tetap datang ke persidangan, Ki. Di sana kamu bisa tahu kebenarannya.”
Lusi tampak goyah. Ia mulai ragu dengan omongannya sendiri.
"Ya udah... kita datang aja ke pengadilan," ucap Lusi akhirnya.
Riki menatap Lusi dalam diam, hatinya berkecamuk antara kesedihan dan kecurigaan. Sesuatu terasa sangat tidak beres.
dulu gampang an deket dng raka, sekarang dng diko.
entah lah jadi malas, gmpang di kompori. padahal pinter, jenius tp gmpang bnget nemplok sana sini, mudah di kompori.
karakter nya kurang mencerminkan wanita mahal mlh kayak janda murahan