Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 — Ketika Jian Membuka Mata
Jian merasakan dingin. Dingin yang lembut, yang berbeda dengan dinginnya malam-malam yang ia habiskan di alam liar. Ia merasakan kain basah yang menempel di dahinya dan aroma tanah liat basah yang bercampur dengan bau daun obat yang pahit.
Ia mencoba membuka mata, tetapi kelopak matanya terasa berat seperti batu. Ia masih berada di ambang kesadaran dan kegelapan demam. Dalam kondisi setengah sadar itu, ia merasakan sesuatu yang hangat dan sangat familier di sisi tubuhnya. Itu adalah lengan ramping yang memeluknya erat, dan napas lembut yang menyapu punggungnya.
Mei Lan.
Ingatan akan malam-malam sebelumnya menyergapnya—keintiman yang putus asa di gudang padi, pelarian yang kacau, dan demam yang membakar yang membuatnya kehilangan kendali. Dia ingat mengigau tentang rekan-rekannya yang gugur, tentang beban pengkhianatan yang ia pikul sendiri. Rasa malu menusuknya. Dia telah menjadi beban, bahkan dalam igauannya.
Ia akhirnya berhasil membuka matanya.
Cahaya lembut sore hari menyaring melalui celah-celah batu dan jerami gubuk, menciptakan jalur debu yang menari-nari. Ia berada di gubuk kecil, bersih, dan rapi. Di sebelahnya, Mei Lan tertidur, meringkuk erat di lengannya. Ia masih mengenakan pakaian luar, tetapi ia tidur dengan posisi yang memberikan kehangatan padanya, tubuhnya sebagai bantal dan selimut.
Mei Lan sangat lelah. Lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya, dan wajahnya tampak pucat karena kurang tidur. Jian menyadari, Mei Lan pasti tidak tidur selama dua hari terakhir, merawatnya, membersihkan luka-lukanya, dan menjauhkannya dari kematian.
Jian merasakan kekuatan di lengannya kembali. Demamnya telah surut. Ia bergerak sedikit. Gerakan kecil itu sudah cukup untuk membangunkan Mei Lan.
Mei Lan segera membuka matanya, matanya yang lelah melebar karena tak percaya. Ia menatap Jian. Ia tidak bergerak selama satu detik penuh, hanya menatapnya, seolah-olah ia adalah bayangan yang mungkin menghilang.
“Jian?” bisik Mei Lan, suaranya parau karena emosi.
“Ya,” jawab Jian. Suaranya serak dan lemah, tetapi itu adalah suara Jian yang sadar, bukan Jenderal yang mengigau.
Mei Lan segera bangkit. Air mata menggenang di matanya, tetapi itu adalah air mata kelegaan yang murni. Ia tidak menangis dengan keras; ia hanya tersenyum, senyum paling indah yang pernah dilihat Jian.
“Kau… kau sadar,” kata Mei Lan, tangannya gemetar saat menyentuh dahi Jian. Suhu Jian normal. “Syukurlah. Demammu sangat tinggi. Aku takut…” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Jian mengerti.
Mei Lan mengambil mangkuk kecil berisi sup herbal yang ia simpan di sudut. “Kau harus minum ini. Ini akan mengembalikan kekuatanmu. Tapi pertama-tama, istirahatlah. Jangan bergerak.”
Jian menatapnya. Ia tidak memandang sup atau gubuk. Ia memandang Mei Lan. Ia memandang luka di bibirnya, luka yang terjadi saat ia mencoba menyelamatkannya di sungai, luka yang kini menjadi goresan samar, bukti fisik dari keputusan yang ia buat.
“Mei Lan,” kata Jian, suaranya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. “Gudang padi… api itu. Mereka pasti tahu kau yang melakukannya. Prajurit Istana… mereka pasti mencarimu sekarang. Kau telah kehilangan segalanya. Keluargamu, kehormatanmu, rumahmu… semua karena aku.”
Rasa bersalah itu begitu nyata hingga membuat luka-lukanya terasa seperti membakar lagi. Ia memalingkan wajahnya. “Aku seharusnya pergi sendiri. Aku seharusnya tidak menyeretmu ke dalam ini. Aku adalah penyakit, Mei Lan. Aku membawa kematian ke mana pun aku pergi. Aku seharusnya membiarkanmu menikahi Ling Fan, setidaknya kau akan aman, hidupmu akan terhormat…”
Mei Lan meletakkan mangkuk itu ke samping. Ia bergerak lebih dekat ke Jian. Ia menyentuh wajah Jian, menangkupnya dengan kedua tangan, memaksanya untuk menatap matanya.
“Dengarkan aku, Rho Jian,” kata Mei Lan. Suaranya kini tidak lagi lembut, melainkan tegas, tenang, dan kuat. Suara yang berasal dari seorang wanita yang telah membuat pilihan terberat dalam hidupnya dan tidak pernah menyesalinya.
“Aku tidak kehilangan kehormatan. Aku menemukannya. Kehormatan palsu itu adalah menikah dengan pria yang tidak kucintai, menjalani kehidupan yang hanya didasarkan pada uang dan kepatuhan. Itu adalah kehormatan yang mati. Aku memilihmu, dan itu adalah kehidupan yang kucintai, itu adalah kehormatan sejatiku.”
Mei Lan mengangguk, sorot matanya tajam. “Aku telah mendengar igauanmu, Jian. Kau mengigau tentang teman-temanmu, tentang rasa bersalahmu karena selamat. Kau menyalahkan dirimu sendiri atas setiap tragedi. Berhenti. Berhenti menjadi Jenderal yang harus bertanggung jawab atas setiap nyawa di Kekaisaran.”
“Kau bukan yang menyeretku. Aku memilih ini. Bukan kamu yang menyeretku.”
Mei Lan mengulangi kata-kata itu dengan penekanan yang kuat, seolah-olah setiap kata adalah palu yang menghancurkan tembok pertahanan terakhir Jian.
“Aku membakar gudang padi karena aku ingin melakukannya. Aku ingin kekacauan. Aku ingin mereka tahu aku tidak takut. Aku memilih untuk lari ke hutan bersamamu, bukan karena aku takut pada Istana, tetapi karena aku takut pada hidup tanpa dirimu.”
Mei Lan mengambil mangkuk sup. “Kau harus istirahat. Luka-lukamu masih dalam. Tapi aku tidak akan membiarkanmu merusak dirimu sendiri dengan rasa bersalah yang tidak perlu. Kami menenun benang sutra untuk hidup, Jian. Benang takdirmu teranyam dengan benangku sekarang. Jika kau pergi, takdirku akan putus. Jika kau menyerah, kita berdua akan mati.”
Deklarasi Mei Lan—yang begitu kuat, begitu jelas—menghancurkan sisa-sisa rasa bersalah Jian. Ia selalu memandang Mei Lan sebagai gadis lugu yang harus dilindungi, beban yang harus ia tanggung demi kehormatan. Ia kini menyadari, Mei Lan adalah sekutu terkuatnya, seorang pejuang dengan caranya sendiri. Dia tidak hanya membawa beban, dia membawa tujuan.
Jian menatapnya, matanya dipenuhi kejutan, penghargaan, dan cinta yang memabukkan. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya ia merasa bebas dari beban tanggung jawab yang tak ada habisnya.
“Mei Lan,” bisik Jian, nama itu terdengar seperti sebuah doa. “Kau… kau lebih kuat dari yang kubayangkan.”
“Saya hanya mencintai Anda,” jawab Mei Lan sederhana, menyuapkan sup herbal itu ke bibirnya.
Jian menerima suapan itu, dan sup yang pahit itu terasa manis. Saat ia meminumnya, ia menyadari kebenaran yang baru: dia tidak bisa hidup tanpanya.
Ia telah berjuang untuk bertahan hidup agar bisa menyampaikan gulungan rahasia itu. Kini, dia berjuang untuk bertahan hidup agar bisa tinggal bersama Mei Lan. Tujuan barunya jauh lebih mendesak dan pribadi.
Ia menarik Mei Lan lebih dekat ke sisinya, meskipun tubuhnya masih terasa sakit. “Baiklah,” bisik Jian, suaranya semakin kuat. “Aku tidak akan pergi. Aku akan sembuh. Tapi kau harus berjanji, mulai sekarang, kita tidak pernah membuat keputusan tanpa satu sama lain. Kita adalah satu kesatuan.”
Mei Lan tersenyum, menyandarkan kepalanya di dada Jian. “Kita adalah satu kesatuan.”
Matahari terbenam di balik gubuk batu kecil, dan gubuk itu, meskipun dikelilingi oleh bahaya dan perburuan, terasa seperti benteng yang tak terkalahkan. Mereka telah melampaui rasa bersalah dan ketakutan. Mereka adalah dua jiwa yang terikat oleh luka, cinta, dan janji untuk melawan takdir. Jian memejamkan mata, membiarkan dirinya jatuh ke dalam tidur penyembuhan. Di sampingnya, ia merasakan kehangatan yang menjanjikan masa depan.