Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 21 Kebenaran yang Menyakitkan Tapi Membebaskan
Pagi itu udara terasa dingin, bukan karena hujan, tapi karena kegugupan yang menyeruak dalam dada Aira. Ia duduk di bangku ruang tunggu kantor pendamping hukum komunitas perempuan, dengan map cokelat berisi bukti-bukti di pangkuannya.
Di hadapannya, seorang pendamping hukum perempuan tersenyum lembut.
“Apakah kamu siap?” tanyanya pelan.
Aira menatap mata sang pendamping, lalu mengangguk. Tangannya gemetar, tapi tekad di matanya tak goyah.
“Saya siap melaporkan kekerasan yang saya alami,” ucap Aira dengan suara bergetar.
Satu kalimat itu, meski pendek, telah melalui ribuan malam penuh ketakutan, ragu, dan air mata.
Hari itu, Aira bukan lagi korban. Ia adalah saksi hidup atas keberaniannya sendiri.
Laporan resmi dilayangkan.
Nama Gibran tercatat sebagai terlapor kekerasan emosional, fisik, dan manipulasi dalam relasi personal. Dalam keterangannya, Aira menyerahkan rekaman suara, foto, dan kronologi yang rinci.
Namun yang datang setelahnya bukan sekadar keadilan.
Yang datang adalah badai.
Beberapa hari setelah laporan masuk, Aira mulai menerima ancaman.
Nomor tak dikenal kembali mengirim pesan:
“Kamu pikir kamu menang? Hati-hati. Nama baik itu mudah sekali dihancurkan.”
Lalu pesan lain masuk dari akun Instagram palsu:
“Siapa sih kamu? Dasar cewek cari perhatian. Jangan rusak hidup orang kalau nggak bisa ngurus hidup sendiri.”
Komentar itu datang dari mana-mana. Di tulisan-tulisan Aira. Di email. Bahkan di grup tempat ia pernah aktif.
Beberapa orang bahkan mulai membela Gibran, tanpa tahu cerita yang sebenarnya.
“Masa sih Gibran kayak gitu? Orangnya kan baik banget.”
“Aira aja kali yang terlalu drama.”
Aira membaca semuanya dalam diam.
Bahu yang mulai tegak kini mulai turun lagi. Tapi ia ingat satu hal: ia tidak sendiri.
Di malam yang paling gelap, Aira duduk di sudut ruangannya dan emeluk lututnya.
“Aku capek. Kenapa semua orang malah nyalahin aku? Kenapa suara yang baru kubangun malah dipatahkan lagi?”
“Tapi aku yakin mungkin semua harus begini dulu dalam hatinya, karena kebenaran memang menyakitkan. Tapi aku tetap berani memilihnya.”
“Aku takut semua ini percuma.”
“Enggak!!! Karena aku bukan cuma berjuang buat dirikubsendiri. Tapi buat semua perempuan yang masih diam karena takut.”
Air mata Aira jatuh. Tapi kali ini, bukan karena lelah—tapi karena tahu ia tidak akan menyerah.
Minggu berikutnya, panggilan dari pihak berwenang datang.
Aira dijadwalkan untuk memberikan keterangan langsung. Ia ditemani kuasa hukum dari komunitasnya. Saat duduk di depan petugas, Aira sempat gemetar. Tapi ia ingat semua proses yang ia jalani. Ia sudah siap.
Ia menjawab setiap pertanyaan.
Ia mengulang kronologi.
Ia menjelaskan bagaimana rasa takut mengunci mulutnya selama bertahun-tahun.
“Kenapa baru melapor sekarang?” tanya salah satu petugas.
Aira menatapnya tajam.
“Karena selama ini saya tidak punya ruang aman. Tapi sekarang saya tahu, diam saya hanya memperpanjang kekerasan. Dan saya memilih berhenti diam.”
Petugas itu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
Beberapa hari kemudian, kabar tentang laporan itu mulai tersebar lebih luas.
Beberapa media mulai menulis:
“Perempuan Muda Melaporkan Kekerasan dalam Hubungan: Berani Bersuara Setelah Bertahun-Tahun Diam.”
Sebagian masyarakat mulai bersimpati. Beberapa akun aktivis dan organisasi perempuan mengangkat kisahnya. Bahkan ada yang menyebut:
“Aira bukan hanya penyintas, tapi simbol kekuatan diam yang akhirnya memilih bersuara.”
Aira menangis malam itu. Tapi kali ini, sambil memeluk dirinya sendiri.
“Ini bukan akhir. Tapi aku tahu, aku sedang menuju kebebasanku.”
Di akhir bab ini, Aira menuliskan lagi di jurnalnya:
“Dulu aku takut kebenaran akan membuatku sendirian. Tapi ternyata, kebenaran membawaku pada mereka yang sejalan. Yang percaya bahwa luka harus disuarakan. Biar dunia tahu: aku pernah dilukai, tapi aku tidak kalah.”