Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Pelukan Yang Menyembuhkan
Hujan turun sejak sore, membasahi atap rumah kecil mereka yang kini terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena heater atau selimut, tapi karena momen-momen sederhana yang mereka alami setiap hari—yang ternyata, diam-diam jadi penawar lelah.
Arumi duduk di ujung ranjang, memandangi Arsha yang tidur pulas di dalam boks bayi. Di luar, petir sesekali menyambar langit malam, tapi di dalam rumah ini, yang terdengar hanyalah suara napas kecil dan ritme hujan yang jatuh pelan-pelan.
Damian datang dengan dua gelas cokelat panas di tangan. Ia menyerahkan satu kepada Arumi lalu duduk di sebelahnya. Tak ada kata, hanya tatap-tatapan sebentar, sebelum akhirnya Arumi menyandarkan kepalanya di bahu Damian.
“Aku baru sadar… kita udah sejauh ini,” gumam Arumi, matanya masih menatap ke arah boks bayi.
Damian mengangguk. “Iya. Padahal dulu… kita bahkan gak yakin bisa jalan bareng satu minggu tanpa perang.”
Arumi tersenyum tipis. “Dulu kita terlalu keras kepala. Sekarang, kita terlalu sayang buat nyakitin lagi.”
Damian menatap wajah istrinya, yang kini mulai terlihat lebih damai. “Karena luka bikin kita belajar. Bikin kita tahu, mana yang pantas diperjuangkan.”
Mereka diam sesaat. Cokelat panas mengepul di tangan. Hujan masih turun. Tapi hati mereka, terasa hangat.
---
Beberapa hari kemudian, Arumi mendapat undangan reuni kecil dari teman-teman SMA-nya. Ia sempat ragu untuk datang—bukan karena malas bertemu orang, tapi karena perasaannya masih campur aduk setelah jadi ibu. Tubuhnya belum sepenuhnya kembali seperti dulu, dan ia belum siap ditanya-tanya soal karier yang tertunda.
“Datang aja,” kata Damian sambil menyuapi Arsha yang mulai belajar makan MPASI. “Kamu butuh lihat dunia luar juga. Butuh ingat kalau kamu bukan cuma mama Arsha, tapi juga Arumi yang cerdas dan bisa bersinar.”
“Kalau nanti aku gugup gimana?”
Damian tertawa kecil. “Tenang, kamu pernah ngelawan aku waktu kita masih musuhan. Reuni mah remeh.”
Arumi tertawa, tapi senyumnya sedikit gugup.
Hari H pun tiba. Arumi mengenakan blouse sederhana dan jeans longgar. Rambutnya diikat setengah, dan ada sentuhan ringan makeup di wajahnya. Damian mengantar sampai tempat acara, mencium keningnya sebelum ia turun dari mobil.
“Have fun. Aku dan Arsha bakal baik-baik aja.”
Begitu masuk, Arumi disambut dengan pelukan dan teriakan kaget dari teman-temannya. “Gila, Arumiii! Kamu makin glowing loh! Beneran deh, ibu-ibu zaman sekarang kok cakep-cakep, ya?”
Arumi hanya tersenyum, walau dalam hati masih canggung. Tapi lama-kelamaan, obrolan mengalir. Mereka membicarakan masa lalu, tertawa soal guru galak yang dulu suka nyuruh push-up, sampai saling update kehidupan.
Saat satu temannya bertanya, “Kamu nggak kangen kerja kantoran, Rum?”—Arumi sempat terdiam. Tapi ia akhirnya menjawab jujur.
“Kangen, sih. Tapi sekarang aku lagi ngerjain kerjaan paling berat dan paling berharga di dunia: jadi ibu.”
Semua mengangguk setuju. Bahkan salah satu temannya yang masih single bilang, “Respect banget, Rum. Gua belum tentu bisa kayak lo.”
Arumi pulang malam itu dengan hati ringan. Di rumah, Damian menunggu dengan mata sayu, dan Arsha yang tidur pulas di pelukannya.
“Gimana tadi?” tanya Damian.
“Seru. Dan aku merasa… cukup. Aku gak sempurna, tapi aku cukup.”
Damian mencium keningnya. “Kamu lebih dari cukup.”
---
Hari-hari berlalu, dan bulan demi bulan kehamilan kedua Arumi pun berjalan. Kali ini, ia tak terlalu cemas seperti dulu. Ada Damian yang makin telaten, ada Arsha yang mulai belajar bicara, dan ada rasa syukur yang terus tumbuh.
Sore itu, Arsha bermain dengan balok warna-warni di ruang tengah, sementara Arumi duduk membaca buku tentang psikologi anak. Damian pulang kerja lebih awal, membawa dua bungkus makanan favorit mereka—sushi dan es teh manis.
“Kamu kelihatan sibuk banget,” katanya sambil duduk di sebelah Arumi.
“Aku lagi baca soal tantrum,” jawab Arumi sambil menutup bukunya. “Biar nanti nggak panik kalau Arsha masuk fase itu.”
Damian tersenyum. “Kamu belajar terus, ya.”
Arumi mengangguk. “Kalau aku berhenti belajar, berarti aku berhenti peduli.”
“Dan itu gak akan pernah terjadi.”
---
Malam itu, setelah Arsha tidur dan rumah jadi sepi, Arumi duduk di depan cermin, menyisir rambut pelan-pelan. Damian berdiri di belakangnya, memandangi refleksi wajah perempuan yang kini jadi poros dunianya.
“Boleh aku potongin rambut kamu?” tanyanya pelan.
Arumi menoleh, kaget. “Serius?”
Damian mengangguk. “Biar kamu merasa baru. Fresh. Tapi kalau kamu gak nyaman, gak apa-apa.”
Arumi tertawa. “Gak apa-apa. Tapi nanti jangan salahin aku kalau hasilnya miring.”
Dengan tangan hati-hati, Damian memotong ujung rambut Arumi. Potongan demi potongan jatuh ke lantai, tapi ada rasa ringan yang mengalir bersamanya.
Saat selesai, Damian menatap hasilnya dan berkata, “Cantik. Tapi bukan karena potongannya. Karena kamu.”
---
Suatu malam, saat bulan menggantung penuh di langit, Arsha demam. Arumi dan Damian panik, tapi mereka mencoba tetap tenang. Setelah beberapa jam yang penuh kecemasan, akhirnya demam Arsha mulai turun.
Mereka duduk di lantai kamar, bergantian memegang tangan Arsha yang hangat.
Damian menatap Arumi. “Aku gak nyangka bisa ngerasain takut sedalam ini. Rasanya kayak dunia berhenti muter.”
Arumi mengangguk, matanya sembab. “Tapi kita nggak lari.”
“Karena ini keluarga. Dan keluarga itu tempat pulang. Tempat kita lelah, tapi juga disembuhkan.”
Malam itu mereka tidur di lantai, beralaskan karpet dan selimut tipis. Tapi di situ, mereka merasa paling kaya. Paling utuh.
---
Beberapa minggu kemudian, Arumi mengajak Damian menemaninya ke pantai. Mereka duduk beralaskan tikar, Arsha bermain pasir, dan angin laut meniup lembut rambut Arumi.
“Aku pengen kita sering kayak gini,” katanya sambil menatap laut lepas.
“Aku juga. Kita butuh ruang buat bernapas, buat kembali ke inti semuanya.”
“Inti yang mana?”
“Yang ini…” Damian menggenggam tangan Arumi. “Kita.”
---
Menjelang kelahiran anak kedua, suasana rumah mulai terasa lebih ‘siaga’. Damian bahkan membuat checklist di kulkas, berisi daftar keperluan dan nomor darurat. Arumi tertawa tiap kali melihat itu, tapi dalam hati ia merasa aman.
Saat kontraksi mulai terasa, Damian sudah siap. Malam itu, mereka berangkat ke rumah sakit sambil memutar lagu favorit mereka yang dulu sering diputar saat kencan pertama.
Di ruang bersalin, Arumi menggenggam tangan Damian erat. “Aku takut.”
“Aku juga,” jawab Damian jujur. “Tapi aku percaya kamu kuat. Seperti dulu waktu kamu bertahan setelah semua luka.”
Beberapa jam kemudian, tangisan bayi kembali memenuhi udara. Seorang bayi perempuan mungil lahir, sehat dan kuat.
Damian menangis. Arumi menangis. Tapi kali ini bukan karena takut—karena cinta.
---
Beberapa hari setelahnya, keluarga kecil itu kembali ke rumah. Arsha kini jadi kakak, dan meski kadang cemburu, ia belajar berbagi. Damian makin sabar, dan Arumi… ia menemukan versi dirinya yang lebih lembut, lebih dewasa.
Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Damian dan Arumi duduk di balkon lagi. Angin malam membelai pipi mereka, dan lampu kota berkelap-kelip di kejauhan.
“Kita udah jadi empat orang sekarang,” gumam Arumi.
Damian mengangguk. “Empat hati. Empat cinta. Satu rumah.”
Arumi menatap Damian lama. “Mas… terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk nggak nyerah.”
Damian mengusap pipi Arumi lembut. “Karena cinta yang tumbuh dari luka… justru yang paling kuat.”
Mereka saling tersenyum, saling memeluk. Dan di bawah langit malam yang saksi diam segala perjalanan mereka, mereka tahu—apa pun yang terjadi esok hari, selama mereka masih bersama… mereka akan baik-baik saja.
Karena cinta mereka bukan hanya cerita.
Tapi rumah.
...****************...