Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Serpihan Mimpi Kelam
Hening malam menyelimuti kamar kecil Barja di sudut gudang tua, di mana aroma kayu lapuk bercampur hembusan udara musim berganti. Angin menyusup dari celah dinding dan menggoyang tirai lusuh, membuat cahaya lentera bergoyang lembut seperti bayangan ingatan.
Di dalam ruangan kecil beralas kain goni, Barja tidur di atas dipan sederhana yang dibalut selimut wol. Meski sudah kusam, namun masih bisa memberikan kehangatan.
Tubuh tuanya melingkar, namun wajahnya berkerut seperti menahan sesuatu yang lebih dari sekadar usia. Di balik kelopak matanya yang terpejam, malam itu, mimpi lama kembali menjemputnya.
Malam itu—bertahun-tahun lalu—langit begitu jernih. Bintang-bintang berhamburan seperti taburan doa. Lentera kristal menggantung di tenda-tenda mewah yang didirikan di tengah hutan. Perkemahan kerajaan dipenuhi tawa, nyanyian, dan aroma jamur panggang serta sup pinus yang dimasak oleh juru masak istana. Kain sutra berkibar lembut di setiap sisi tenda, memantulkan cahaya suci dari tubuh para elf berdarah mulia.
Barja, saat itu hanya pelayan penggembala kuda. Ia sedang mengumpulkan rumput segar di sisi bukit untuk memberi makan kuda-kuda kerajaan. Setelah terkumpul rumput yang cukup, ia membawa gulungan rumput itu di punggungnya. Ia melintasi jalan setapak yang dilapisi kelopak bunga kering, rute yang ia pilih untuk kembali ke tempat perkemahan.
Namun... Udara tiba-tiba berubah.
Angin berhenti. Suara jangkrik lenyap. Awan kelam menggulung dari balik hutan, mengaburkan bintang dan menelan cahaya bulan. Pepohonan mendesah, dari kejauhan terdengar suara... Gemuruh.
Bukan guntur.
Bukan ombak.
Tapi langkah. Ratusan langkah. Berat. Basah. Menyeret.
Barja menoleh. Di antara pepohonan yang menghitam, muncul sosok-sosok besar, membungkuk, berlumpur. Kulit mereka hitam legam, mengelupas seperti kulit pohon mati. Wajah mereka seperti persilangan antara babi, manusia, dan iblis. Mata merah menyala dalam kabut.
Orc.
Makhluk yang tidak seharusnya ada di Acalopsia. Makhluk hasil kutukan, lahir dari keserakahan kaum elf yang bersekutu dengan iblis. Makhluk yang sangat mengerikan itu tiba-tiba ada banyak di sana.
Mereka datang... Berlari berbondong-bondong.
Barja menjatuhkan rumput di punggungnya dan berlari ke arah perkemahan. Tubuhnya tiba-tiba membatu menyaksikan apa yang terjadi di sana. Terlambat. Sudah terlambat.
Tenda kerajaan yang megah telah roboh. Panji kerajaan — lambang rusa bersayap — robek dan terbakar. Kuda-kuda panik, berlarian liar. Para elf pengawal tersungkur, darah mereka menyatu dengan tanah. Suara nyanyian digantikan jeritan anak-anak dan tangis para wanita.
Di tengah kekacauan, tampak Raja R’hu berdiri sembari mengangkat pedangnya. Tubuhnya dipenuhi darah. Raja R’hu tetap berjuang melindungi sang Ratu Tallavia yang ketakutan di belakangnya.
Barja hendak berlari ke sana. Akan tetapi, area perkemahan sudah dipenuhi oleh ratusan orc yang membabi buta. Jumlahnya tak sebanding dengan kaum elf yang saat itu ada di sana. Tak ada yang mengira perkemahan keluarga kerajaan akan berubah menjadi tragedy berdarah.
Dari balik semak, seseorang muncul—pengasuh istana, tubuhnya berlumur darah, matanya nyaris tak terbuka. Dalam pelukannya, ia menggendong Revalant kecil yang sedang menangis.
“Barja...” Bisiknya, suaranya seperti daun kering. “Selamatkan pangeran. Dia satu-satunya yang selamat... Semua telah terbunuh... Bawa dia pergi sejauh mungkin.”
Barja menyambar anak itu dengan tangan yang gemetar. Tubuh kecil itu terasa dingin. Tak sempat berkata-kata, pengasuh itu rebah... Seketika tubuhnya sirna menjadi serpihan cahaya.
Barja kembali mengarahkan tatapannya pada area pertempuran. Satu per satu elf yang mati... Berubah menjadi serpihan cahaya lembut yang naik ke langit. Sementara, orc yang mati mencair menjadi lumpur hitam berbau busuk.
Raja R’hu roboh dengan pedang masih tergenggam. Tubuhnya langsung kaku terbaring di tanah dan tetap memancarkan cahaya. Luka dan darah di tubuhnya menghilang, seperti tubuh yang masih hidup namun tertidur. Orc tak bisa lagi melukai tubuh beku itu meski menghujamkan senjatanya berkali-kali.
“Nevaria...” Bisik Barja dalam hati. “Mereka belum disemayamkan...”
Teriakan membuyarkan pikirannya. Seekor orc melihatnya. Mengerang, lalu mengejarnya.
Barja berlari, menggendong Revalant kecil dengan sekuat tenaga. Dahan-dahan mencakar wajahnya. Napas tercekat. Suara makhluk itu semakin mendekat, membuatnya ketakutan. Tak ada lagi yang bisa ia pikirkan. Ia harus menyelamatkan anak itu bagaimanapun caranya.
Ia terus lari.
Lari.
Lari—
Cahaya menyilaukan tiba-tiba menutup pandangannya—dan semua lenyap.
Barja terbangun dengan napas terengah. Tubuhnya dibasahi keringat, meski udara malam begitu dingin. Matanya menatap langit-langit ruangan. Sunyi. Hanya cahaya lentera yang bergoyang dan suara angin di luar jendela.
Ia memejamkan mata, mencoba menghapus sisa mimpi, tapi ingatan itu tetap membara seperti luka lama yang baru dikopek. Ia duduk perlahan. Di luar, angin masih berembus. Namun kali ini, suara langkah benar-benar nyata.
Pintu kamar terbuka perlahan.
“Paman.”
Suara yang tidak asing baginya, suara yang sudah lama ia dengar hingga hafal. Barja menoleh. Sion berdiri di ambang pintu, mengenakan pakaian biasa dan membawa tas kecil.
“Ada yang ingin aku katakan.”
Barja duduk perlahan. Tubuhnya masih bergetar megingat mimpi yang baru saja ia dapatkan.
“Apa?”
Sion menunduk sejenak, lalu menatap lurus. “Aku... Ingin pulang ke perkampungan sebentar. Ke tempat dulu aku tinggal bersama Paman. Sekalian... Berpetualang sedikit memanfaatkan waktu libur.”
Sejak awal mereka pindah ke perkebunan, Sion belum pernah kembali lagi ke tempat itu.
Mata Barja menajam. “Sendirian?”
Terasa aneh tiba-tiba Sion mengajukan permintaan semacam itu. Tak ada yang Istimewa di desa mereka menurutnya. Jauh lebih baik mereka tinggal di perkebunan dibandingkan di sana.
“Ya. Aku akan kembali sebelum musim tanam anggur berikutnya.”
Barja menatap wajah pemuda itu lama. Ada hal-hal dalam permintaan itu yang tidak terucap. Ia tahu tatapan itu—tatapan seorang yang menyimpan niat lain di balik kata-kata ringan.
“Kenapa kau ingin pergi?”
Sion tersenyum samar. “Aku merindukan tempat itu.”
Barja menghela napas berat. Ia ingin berkata tidak. Ia ingin menahan pemuda itu di tempat yang aman, jauh dari istana, dari perang, dari darah, dan dari takdir. Tapi ia juga tahu... Tidak ada pagar yang cukup tinggi untuk menahan burung yang mulai mengepakkan sayapnya. Revalant... Bukan domba yang bisa digiring selamanya.
“Berapa lama?” Tanya Barja akhirnya, suaranya berat seperti batu.
“Sekitar tiga bulan.”
Hening.
Selama ini Barja tak pernah melepaskan pengawasannya pada Sion. Ia takut anak itu melakukan hal yang bisa membahayakan hidupnya. Di luar sana, pasti ada pihak yang tidak menyukai keberadaan putra Raja R’hu. Mereka pasti tahu jika Revalant kemungkinan masih hidup. Mengingat jasad semua elf keturunan kerajaan tak akan sirna sebelum bersemayam di Nevaria.
“Aku rasa itu terlalu lama,” ucap Barja.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku akan menjaga diriku seperti yang selalu kau katakan.” Sion berusaha meyakinkan Barja agar mau percaya padanya.
Barja mengangguk. “Pergilah! Tapi berjanjilah, Sion... Kau akan kembali.”
“Aku berjanji,” Kata Sion mantap.
Barja berdiri dan memeluknya. Cukup lama. Hening. Hanya detak jantung dan desah napas yang berbicara.