"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Melepas Rindu
"Buset dah ni anak! Bener sih, Va... dia tampan dan kaya, tapi lo mau sama cowok najis yang sok caper depan semua orang, ngerasa paling pinter padahal isi otaknya kosong?" ucap Mutiara dengan tegas.
"Ya, gimana ya... jaman sekarang tipikal begitu malah laku, Mut. Nggak penting isi otaknya, tapi isi dompet dan looking good." jawab Zeeva.
"Udah lo gak usah peduliin itu anak, Mut. Emang udah geser aja otaknya. Gue mah, kalo tuh cowok ngga ada isinya, susah diajak cerita. Apalagi kalau debat. Pasti banyak marahnya, bukan adu argumen. Udah lah go-blok, gampang panas pula!" Allyna malah ikutan emosi.
Mereka bercerita hingga larut malam, tak sadar sampai akhirnya ketiganya tertidur pulas.
Ini adalah minggu kedua bimbel antara Mutiara dan Reyesh. Persiapan menghadapi UTS, tersisa dua minggu lagi. Mutiara sangat antusias saat hadir kuliah dan mencatat segala hal penting, untuk didiskusikan bersama Reyesh.
Kali ini, materi perkuliahan nampaknya membuat Mutiara lumayan mengernyitkan dahi. Ia bersegera menuju perpustakaan usai kuliah. Reyesh sudah menunggu di tempat biasa.
Mutiara duduk dan membuka catatan kuliahnya pagi itu. Wajahnya penuh kebingungan, ia menatap buku tebal di hadapannya dengan kening berkerut, sementara Reyesh duduk santai di hadapannya.
Mutiara akhirnya meminta Reyesh untuk mengajarinya bagian tertentu yang dirasa sulit.
Reyesh dengan kesabaran dan tangan dinginnya, mengajarkan Mutiara. Si jenius itu mengulang kembali penjelasannya.
Kali ini dengan bahasa yang lebih sederhana. Namun, bukannya memahami, Mutiara justru semakin bingung. Perasaan frustasi mulai menguasai dan merajai dirinya, membuatnya semakin tidak fokus dalam memahami materi kali ini.
"Sumpah, Rey! Penjelasanmu memang ringan dan sederhana, tapi maaf banget, aku masih nggak ngerti juga!" ungkap Mutiara diiringi kekesalan.
"Kenapa sih materi kali ini, kok susah banget?!" keluh Mutiara, menutup bukunya dengan kasar.
Reyesh menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang dan mengendalikan keadaan.
Sebagai mentor, ia harus tenang menghadapi muridnya yang mulai kehilangan kesabaran.
"Oke, kita ulang lagi pelan-pelan. Kamu coba pahami dari dasarnya dulu, Mut." katanya dengan suara lembut.
Namun, Mutiara malah semakin jengkel, karena merasa diperlakukan seperti anak kecil.
"Aku ini bukan anak TK lagi kok, Rey! Aku udah bayar kamu mahal, jadi kamu harus ngajarin aku sampai aku ngerti!" suaranya mulai meninggi, membuat beberapa mahasiswa di sekitar mereka menoleh.
Reyesh sedikit kaget. Baru kali ini Mutiara berperilaku berbeda dari sebelumnya.
Si jenius itu menatapnya dengan mata yang mulai lelah. Bukan pertama kalinya ia menghadapi mahasiswa manja yang sulit menerima pelajaran.
Reyesh mencoba sekali lagi, kali ini dengan contoh yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Berharap Mutiara dapat paham dan mengerti konsepnya.
"Oke, aku minta maaf atas penjelasanku sebelumnya. Sekarang, coba kita ibaratkan ini seperti kotak. Kalau kamu misalkan kotak itu berisi sekian unit, artinya...." Mutiara langsung mengangkat tangannya dengan wajah sebal.
"Stop! Aku masih belum paham. Awalnya aku sangat benci matematika dan kalkulus, Rey! Walaupun semakin hari, lumayan menyukainya. Kenapa sih, harus ada mata kuliah seperti itu?" rengek Mutiara. Ia sebal, level kesulitan matkul yang sedang dipelajari, semakin lama meningkat kesulitannya.
Kemudian Mutiara menatap Reyesh dengan tatapan penuh tuntutan.
"Karena ini bagian dari kurikulum, dan kamu butuh ini buat lulus! Sorry, ralat. Lulus aja nggak cukup, kamu harus melebihi ambang batas supaya dapat nilai mutu A. Paham?" ucap Reyesh yang mulai terpancing emosi, tapi tetap dengan wajah datar.
Si jenius itu kelihatannya tenang, tapi mulai nampak kehilangan kesabaran.
"Ya terus? Kalo aku nggak ngerti-ngerti, gimana hayo? Kamu mau tanggung jawab, jika nanti nilai mutu yang kudapat dibawah A? Hah? Aku bayar kamu mahal lho, Rey!" tuntut Mutiara.
Minggu sebelumnya, kegiatan bimbel mereka penuh antusias dan canda tawa. Sangat rileks dan santai, sehingga materi pun lebih mudah diserap Mutiara secara optimal.
Tapi, pembukaan minggu ini, begitu tegang intensitas diantara keduanya. Reyesh yang dingin dan datar pun, mulai tersulut emosi.
Reyesh kembali menghela napas panjang, berulang-ulang. mencoba ritual relaksasi diri untuk tidak terpancing emosi.
Mutiara menggigit bibirnya, merasa semakin terpojok dengan ketidakmampuan. Gadis itu mengutuk diri sendiri, mengapa semasa SMA tidak serius belajar dan fokus. Alhasil, dimasa kuliah sekarang keteteran.
Mutiara memang terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, mulai dari fasilitas atau barang yang diidam-idamkan banyak orang, termasuk nilai bagus.
Tapi untuk mata kuliah kalkulus kali ini, otaknya seolah menolak bekerja sama. Reyesh menatap jam tangannya, menyadari bahwa waktu bimbingan mereka masih satu jam lagi. Dua jam lenyap dengan cepat dan kabur begitu saja, tanpa pemahaman di kepala Mutiara. Reyesh merasa bersalah. Padahal, ia sudah mengerahkan segala cara dan upaya.
Namun, disisi lain, si jenius dingin itu tidak yakin bisa menghadapi emosi Mutiara lebih lama lagi.
"Aku butuh istirahat sebentar," kata Reyesh secara tiba-tiba, lalu berdiri dari kursinya.
"Mau ke mana?" tanya Mutiara cepat, merasa tidak terima atas tindakan semaunya si Reyesh.
"Aku pergi keluar dulu. Butuh sedikit udara segar untuk menenangkan diri," jawab Reyesh sambil mengemasi bukunya.
Mutiara terperanjat.
Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Diacuhkan dengan begitu dingin oleh seseorang. Terlebih oleh mentornya sendiri yang punya tanggung jawab mengajarinya hingga paham.
Mutiara masih tidak terima kondisi ini. Ia masih terikat bayang-bayang karakter dan kepribadian di masa lalu, merasa seolah dirinya sangat penting. Biasanya, orang-orang selalu bersikap manis kepadanya, bahkan ketika ia bersikap cuek dan menyebalkan.
Namun Reyesh, laki-laki dingin itu completely sangat berbeda, jauh dari ekspektasinya selama ini. Sangat unik dan punya kepribadian yang tidak dimiliki kebanyakan lelaki lain diluaran sana.
Walaupun kesal, rasa kesal Mutiara karena tidak ingin jauh dari si jenius dingin ini.
Bagi Mutiara, Reyesh adalah tipikal lelaki berpendirian teguh. Si jenius itu tidak takut untuk meninggalkannya, bahkan di saat ia masih sangat membutuhkan bimbingan.
"Hei! Balik sini...! Aku sudah bayar kamu, lho! Kita masih ada satu jam lagi!" protesnya sambil berteriak. Tindakan cerobohnya ini langsung mendapat respon wajah kesal dari para pengunjung perpustakaan, karena mengganggu kenyamanan.
Sementara Reyesh, hanya melambaikan tangan dengan singkat dan sekejap, sebelum akhirnya berjalan menjauh. Lalu, tiba-tiba Reyesh berhenti. Membuat Mutiara merasa aneh dan kebingungan.
Dalam momentum hening itu, Reyesh belum mau membalikkan badan. Ia ingin lebih lama beberapa detik, membuat Mutiara semakin sadar dan mengaku bersalah.
Akhirnya, Reyesh memutar badan. Berjalan lambat menuju arah Mutiara dengan tatapan tajam. Matanya hanya lurus, memandang wajah Mutiara.
Jantung Mutiara berdetak lebiu kencang. Adegan ini pasti seperti di drama-drama tv atau film, dimana sosok lelaki akan mendatanginya, lalu marah dan membentak-bentak dirinya. Sudah pasti itu, pikir Mutiara seadanya.
Bersambung.......