Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Satu Foto Terakhir
*📝* Diary Mentari – Bab 20
“Ada mimpi yang harus dilupakan, bukan karena kita tak mampu menggapainya, tapi karena dunia tak memberi ruang untuk kita bertahan sambil terbang.”
Tahun 2006.
Di sudut halaman sekolah yang sudah mulai lengang, angin meniupkan aroma kenangan yang sebentar lagi harus kulepaskan. Suasana sekolah sedang disibukkan oleh kegiatan sosialisasi dari berbagai kampus. Spanduk universitas terbentang di dinding aula, brosur-brosur berserakan di lantai, dan suara semangat dari teman-temanku terdengar di setiap sudut lorong. Mereka bicara tentang rencana kuliah, kota yang akan dituju, dan masa depan yang mulai mereka lukis dengan penuh warna.
Sedangkan aku? Duduk sendiri di depan mading, menatap kosong papan berisi pengumuman dan foto-foto kegiatan yang dulu pernah kulalui dengan semangat. Mading itu seperti saksi bisu dari mimpi-mimpi kecilku. Aku pernah menulis beberapa artikel di sana. Pernah berdiri di depan kelas sebagai pemimpin tim jurnalistik sekolah. Pernah merasa bahwa dunia tulis-menulis adalah jalanku.
Dan memang, aku mendapatkan beasiswa dari pelatihan jurnalistik tingkat kabupaten. Nilai raportku juga tak buruk. Tapi, hidup tidak selalu berpihak pada yang berjuang.
“Iya, kamu pintar. Tapi kuliah butuh ongkos juga, Tan,” kata ibu waktu itu.
Ayah hanya diam. Aku tahu, di dalam diamnya ada rasa bersalah. Tapi aku juga tahu, dia tak punya pilihan.
Dari jauh, aku melihat Adit berjalan mendekat. Ia memegang beberapa brosur kampus sambil mengipas-ngipaskan ke wajahnya. Pakaian putih-abu-abunya sudah tak lagi secerah dulu. Tapi matanya masih bersinar seperti biasa—penuh antusiasme, penuh semangat hidup.
“Tan, lanjut di mana nanti?” tanyanya sambil duduk di sampingku, menatap mading yang sudah mulai usang warnanya.
Aku menoleh sedikit dan tersenyum tipis. “Nggak ngelanjutin aku, Dit.”
Hening sesaat.
Angin seperti ikut menahan napas. Adit menatapku, kali ini dengan ekspresi yang tak bisa kuartikan sepenuhnya. Antara kecewa, kaget, dan tak percaya.
“Kamu dapat beasiswa kan? Bukannya kamu pengen jadi wartawan?”
Aku mengangguk pelan. “Pengen. Tapi nggak semua keinginan bisa diwujudkan, Dit. Aku harus bantu orang tua. Di rumah aku bukan cuma anak, aku juga jadi tulang punggung.”
Adit terdiam. Lalu menghela napas panjang. “Kamu selalu begitu ya… Kuat sendiri. Nyimpan semuanya sendiri.”
Aku hanya tersenyum, lagi-lagi tanpa menjawab. Sebab jika kubuka mulutku sekarang, mungkin air mata akan ikut keluar. Dan aku tak mau menangis di depannya. Tidak hari ini. Tidak di hari terakhirku sebagai siswi SMA.
⸻
Setelah sosialisasi selesai, kami menuju ruang guru untuk penandatanganan ijazah. Rasanya campur aduk. Ada lega karena akhirnya lulus, tapi juga sedih karena harus berpisah dengan tempat yang selama tiga tahun menjadi rumah kedua.
Aku menyempatkan diri untuk menyewa kamera kodak di toko foto dekat sekolah. Filmnya hanya 24 jepretan, jadi harus kupilih dengan hati-hati. Aku memang suka foto, walaupun sering diejek karena kulitku yang gelap atau wajahku yang biasa saja. Tapi entah kenapa, saat difoto, senyumku terasa berbeda. Aku bisa terlihat bahagia, meski di dalam hati sedang keruh.
“Ikut satu dong!”
Suara itu datang dari sebelahku.
Tiba-tiba Adit sudah berdiri di sampingku, tersenyum lebar sambil menatap ke arah kamera. Aku sedikit terkejut, tapi juga senang. Klik! Momen itu terekam.
Foto itu mungkin akan jadi satu-satunya yang aku punya bersamanya.
Setelah selesai berfoto, kami duduk di bangku panjang dekat taman kecil sekolah.
“Tan… kabarin aku ya nanti kamu di mana,” katanya lembut.
Aku hanya mengangguk.
“Aku akan cari kamu, ke mana pun kamu pergi. Tunggu aku, ya.”
Kata-katanya seperti angin sore yang membelai pelan. Hangat tapi meninggalkan getar di hati. Aku ingin percaya pada kalimat itu. Tapi realita sudah terlalu sering mengajarkanku untuk tidak berharap lebih. Maka aku hanya tersenyum, melambai pelan, lalu melangkah naik ke dalam angkot.
Dari balik kaca buram angkot itu, aku melihat Adit masih berdiri di tempatnya. Menatapku, seolah-olah ingin menahan waktu. Tapi aku tahu, waktu tak bisa ditahan. Ia hanya bisa dijalani. Dengan atau tanpa perpisahan.
⸻
Malam itu, aku membuka diary-ku.
📖
“Hari ini aku lulus. Tapi juga kalah.
Aku menang dalam nilai, tapi kalah dalam kesempatan.
Aku menang dalam mimpi, tapi kalah dalam kenyataan.
Tuhan, jika benar aku harus menunda mimpi ini, tolong… jangan cabut semangatku untuk terus hidup.”
Aku tidak tahu esok akan seperti apa. Tapi satu hal yang pasti, dunia di luar sana sudah mulai berjalan. Dan aku harus mencari jalanku sendiri, bahkan jika itu artinya tidak melangkah ke kampus seperti yang lain.
Mungkin takdirku bukan di kampus. Mungkin jalanku adalah jalan yang lebih panjang dan berliku. Tapi selama aku bisa menulis, selama aku bisa bermimpi dalam diam—aku masih punya harapan.
Dan mungkin, suatu hari nanti… aku akan menulis kisah ini. Menjadikannya buku. Menyisipkan kenangan tentang Adit, tentang mimpi yang tertunda, dan tentang gadis bernama Mentari yang berani berdiri di bawah langit yang tak selalu cerah.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.