Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tontonan Gratis
Keributan antara Haryati dan Fathia semakin memanas. Haryati, yang sudah tidak bisa menahan amarahnya karena fitnah Fathia, melayangkan tangan ingin menampar keponakan pendengkinya itu. Namun, Fathia dengan sigap menghindar.
"Dasar perempuan tua tidak tahu diri!" teriak Fathia, membalas dengan mendorong Haryati.
"Kamu yang iblis! Kamu yang menghancurkan hidup anakku!" balas Haryati tak kalah sengit, mencoba menjambak rambut Fathia.
Keduanya terlibat baku hantam di depan rumah kontrakan Naura. Teriakan histeris keluar dari mulut Haryati, sementara Fathia tertawa sinis dan mencoba membalas serangan. Mereka saling dorong, jambak, dan bahkan sesekali pukulan kecil mendarat di tubuh masing-masing.
Suasana menjadi heboh bukan main. Para ibu-ibu tetangga yang tadinya hanya berbisik-bisik, kini keluar dari rumah mereka. Bukan untuk melerai, melainkan untuk menonton "drama" di depan mata mereka. Beberapa dari mereka bahkan sibuk merekam kejadian itu dengan ponsel, tertawa dan bergunjing riuh rendah.
"Lihat itu! Nenek-nenek berkelahi seperti anak kecil!" seru salah seorang ibu sambil tertawa geli, ponselnya terus merekam.
"Pasti karena masalah keluarga mereka yang diusir itu!" timpal yang lain, ikut menikmati tontonan gratis.
Pak Harjo, pemilik kontrakan, yang melihat keributan itu, segera berlari menghampiri mereka. Ia mencoba melerai Haryati dan Fathia, namun keduanya terlalu kalap dalam amarah.
"Sudah! Sudah! Jangan ribut di sini!" teriak Pak Harjo, mencoba memisahkan keduanya. Namun, usahanya sia-sia.
"Jangan ikut campur, Pak Tua! Ini urusan kami!" bentak Fathia, tangannya masih berusaha menjambak Haryati.
"Minggir, Pak! Perempuan iblis ini harus diberi pelajaran!" Haryati tak kalah berteriak, matanya memerah menahan dendam.
Baku hantam itu terus berlanjut. Suasana semakin kacau dengan teriakan histeris Haryati, gelak tawa Fathia, dan bisikan-bisikan riuh dari para penonton dadakan. Tidak ada yang benar-benar berniat melerai, mereka lebih menikmati tontonan tersebut. Video-video pertengkaran itu mulai menyebar dari ponsel ke ponsel, menambah malu Naura dan keluarganya.
Naura yang mendengar keributan itu dari dalam rumah, segera keluar dan terkejut melihat ibunya terlibat perkelahian. Ia segera berlari menghampiri, mencoba memisahkan Haryati dan Fathia.
"Ibu! Fathia! Hentikan ini!" teriak Naura, suaranya bergetar karena panik dan malu.
Namun, Haryati dan Fathia sudah terlanjur dikuasai amarah. Pertengkaran itu terus berlanjut, semakin menunjukkan betapa dalam kebencian Fathia dan betapa putus asanya Haryati dalam membela putrinya. Di tengah kerumunan yang tak peduli, Naura hanya bisa merasa hancur melihat keluarganya kembali menjadi tontonan dan bahan gunjingan.
****
Naura, dengan panik, berlari menghampiri ibunya dan Fathia yang sedang baku hantam. Marcella dalam pelukan Naura menangis keras, menambah riuhnya suasana. "Ibu! Fathia! Hentikan ini!" teriak Naura, mencoba memisahkan keduanya.
Pak Harjo, sang pemilik kontrakan, yang sedari tadi berusaha melerai namun tak berhasil, kini ikut membantu Naura. "Sudah, Ibu-ibu! Cukup! Jangan buat keributan di sini!" seru Pak Harjo, wajahnya memerah menahan amarah.
Dengan susah payah, Naura dan Pak Harjo berhasil menarik Haryati dan Fathia menjauh satu sama lain. Keduanya masih saling melotot dan melontarkan sumpah serapah.
Namun, saat Haryati dan Fathia berhasil dipisahkan, para ibu-ibu yang asyik merekam justru melayangkan protes. "Yah, Pak Harjo! Kenapa dipisah sih? Kan belum selesai!" teriak salah seorang ibu, nada kecewa jelas terdengar.
"Iya nih, Pak! Seru banget padahal!" timpal yang lain, seolah sedang menonton pertunjukan.
Pak Harjo yang sedari tadi menahan emosi akhirnya meledak. Ia menatap tajam ke arah para ibu-ibu itu. "Kalian semua! Kenapa kalian bukannya melerai malah sibuk merekam?! Pergi! Jangan ada yang merekam lagi! Ini bukan tontonan!" bentaknya keras.
Para ibu-ibu itu terkejut dengan amarah Pak Harjo. Meskipun enggan, mereka perlahan membubarkan diri, menggerutu dan berbisik-bisik. Video yang sudah mereka rekam akan menjadi bahan gunjingan baru.
Haryati, yang masih dipenuhi amarah, menatap Fathia dengan mata menyala. "Dasar wanita ular! Kamu tidak akan pernah bisa tenang!"
Fathia membalas dengan seringai sinis. "Tenang saja, Tante. Aku akan selalu ada untuk membuat hidup kalian menderita!"
Mendengar itu, Haryati kembali kalap. Ia berhasil melepaskan diri dari pegangan Naura dan kembali menyerang Fathia. "Kurang ajar kamu!"
Naura panik bukan main. "Ibu! Jangan, Bu!" Ia berusaha menahan Haryati lagi. Pak Harjo yang baru saja merasa lega kini ikut panik. Ia tidak menyangka pertengkaran itu akan berlanjut.
"Ya ampun! Ada apa lagi ini?!" seru Pak Harjo, mencoba melerai kembali.
Suara keributan yang kembali heboh membuat para ibu-ibu yang tadi sudah pergi, kembali muncul. Mereka melangkah mendekat lagi, siap melanjutkan "tontonan" mereka. Tawa sinis Fathia, teriakan Haryati, dan kepanikan Naura serta Pak Harjo menciptakan suasana yang benar-benar kacau. Lingkungan yang seharusnya damai kini menjadi saksi bisu kebencian yang tak berkesudahan. Naura merasa putus asa, tak tahu bagaimana lagi cara menghentikan semua kekacauan yang terus-menerus menimpa keluarganya.
****
Hendro meronta dan berteriak tak terima saat perawat dengan sigap membimbingnya masuk ke area rawat inap rumah sakit jiwa. Matanya melotot, penuh kemarahan dan ketidakpercayaan.
"Lepaskan aku! Aku tidak gila! Kalian semua yang gila!" teriak Hendro, mencoba melawan setiap perawat yang mendekat. Tenaganya memang kuat, namun jumlah perawat lebih banyak dan mereka terlatih untuk situasi seperti ini.
"Tenang, Pak Hendro. Kami hanya ingin membantu Anda," ujar salah seorang perawat dengan nada menenangkan, namun Hendro tidak mendengarkan. Ia terus berusaha melarikan diri, berlari ke arah pintu keluar, namun dengan cekatan ia berhasil dicegah.
"Tidak! Aku tidak akan tinggal di sini! Aku harus menemui Debby! Dia menungguku!" teriak Hendro putus asa. Perlawanannya sia-sia. Dengan bantuan obat penenang yang diberikan, perlahan tubuh Hendro melemah dan ia akhirnya bisa dibawa ke kamar rawat inap.
Reksa hanya bisa melihat semua itu dari balik kaca pembatas, hatinya hancur berkeping-keping. Putranya, satu-satunya anak laki-lakinya, kini terkurung di tempat seperti ini. Setelah kepergian Nirmala yang begitu mendadak, kini ia harus menerima kenyataan pahit ini.
Tak lama kemudian, dokter ahli kejiwaan menghampiri Reksa. Dengan wajah serius, ia menjelaskan hasil diagnosis Hendro.
"Pak Reksa, putra Anda, Hendro, didiagnosis menderita gangguan mental yang cukup serius. Ada indikasi skizofrenia dengan paranoid delusi dan juga gangguan kepribadian narsistik yang sudah parah," jelas dokter itu. "Obsesinya pada Debby, serta keyakinan bahwa orang lain ingin menyakitinya, adalah bagian dari delusi yang ia alami. Ini menjelaskan mengapa ia bisa melakukan tindakan-tindakan ekstrem seperti penculikan dan perusakan."
Mendengar penjelasan dokter, dunia Reksa seolah runtuh. Skizofrenia. Gangguan kepribadian narsistik. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya. Jadi, ini bukan hanya karena Hendro jahat atau keras kepala, tetapi karena ia memang sakit.
"Apa... apa dia bisa sembuh total, Dok?" tanya Reksa lirih, suaranya tercekat oleh kesedihan.
Dokter menghela napas. "Dengan penanganan intensif, pengobatan teratur, dan terapi yang berkelanjutan, kondisinya bisa dikelola dengan baik, Pak. Gejala-gejalanya bisa mereda, dan ia bisa belajar untuk berfungsi secara normal. Namun, ini adalah perjalanan yang panjang dan membutuhkan komitmen kuat dari pihak keluarga."
Reksa hanya bisa mengangguk, air mata membasahi pipinya tanpa henti. Setelah Nirmala pergi dengan penderitaan karena ulah Hendro, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa putranya sendiri adalah orang sakit. Beban yang ia pikul terasa begitu berat. Ia merasa sendirian dalam menghadapi badai ini.