NovelToon NovelToon
Antara Air Dan Api

Antara Air Dan Api

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi / Kultivasi Modern / Evolusi dan Mutasi / Cinta Beda Dunia / Pusaka Ajaib
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Syihab

novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketika Api Menjaga Retakan

Ruang portal benar-benar sunyi setelah Cai menghilang ke dalam cahaya perak. Tidak ada lagi gemuruh dimensi, tidak ada lagi jeritan energi. Yang tersisa hanyalah denyut pelan dari pusaran tipis yang masih berputar seperti napas makhluk yang tertidur.

Sena tetap berlutut di lantai.

Tangannya mengepal kuat, berkobar—melemah—berkobar lagi.

Ia tidak tahu berapa lama ia diam dalam posisi itu, tetapi para penjaga Bara Lembut tidak berani menyentuhnya. Aura Sena tidak stabil; terlalu panas bagi makhluk api sekalipun. Ada bara kemarahan bercampur kecemasan yang membuat siapa pun mundur beberapa langkah.

Sena akhirnya bangkit, perlahan.

Tubuhnya masih retak-retak dari luka sebelumnya. Namun kini, luka-luka itu bercampur dengan cahaya putih-perak tipis—jejak sentuhan Cai terakhir yang menempel pada dirinya ketika mereka saling menyentuh melalui retakan.

Sena menyentuh dadanya. Cahaya perak itu menenangkan, namun sekaligus memicu keinginannya untuk mengejar.

“Cai…”

Nama itu meninggalkan bibirnya dengan sangat hati-hati, seolah ia takut name itu akan langsung pudar jika ia mengucapkannya terlalu keras.

Penjaga Bara Lembut yang lebih tua akhirnya mendekat. “Tuan Sena, kita perlu menutup sementara akses ke portal ini. Stabilitasnya terlalu berbahaya bagi siapa pun untuk mendekat.”

Sena menoleh perlahan. Meskipun ia tidak berbicara keras, para penjaga langsung merasa dadanya tertekan oleh intensitas tatapannya.

“Tidak ada yang menutup apa pun,” jawab Sena dingin.

“Tapi—”

“Aku bilang.”

Sena berdiri tegak, energi merahnya naik beberapa tingkat.

“Tidak ada yang menutup portal ini.”

Para penjaga saling pandang, bingung namun takut untuk membantah.

Sena memalingkan wajah, tatapannya kembali ke pusaran perak yang tenang seperti permukaan air.

“Aku bisa merasakannya,” katanya pelan. “Cai masih hidup.”

---

Beberapa jam berlalu setelah kejadian di portal. Sena dipaksa kembali ke Ruang Pemulihan Bara Lembut, meskipun ia bersikeras masih bisa berdiri sendiri. Tapi dua penjaga menahan lengannya dan satu lagi memapah dari belakang, sehingga ia tidak punya pilihan selain menyerah.

Di ruangan itu, beberapa obor biru api lembut dinyalakan, mengelilingi tempat tidur obsidian panjang. Obor itu tidak panas—mereka memberikan panas lembut yang bersifat penyembuhan bagi makhluk api. Bara lembut dari setiap nyala terbentuk seperti serpihan serpihan kecil yang semakin lama menembus kulit Sena, memperbaiki jaringan yang rusak.

Namun meski tubuhnya mulai pulih, pikirannya sama sekali tidak.

Bara lembut di ruangan itu memantulkan bayangan Sena di dinding. Bayangan itu gemetar, tidak mampu stabil.

“Tidak seharusnya dia masuk sendirian,” gumam Sena. “Seharusnya aku… ikut masuk.”

Pintu ruangan terbuka tanpa mengetuk.

Seorang wanita berapikan rambut merah-oranye masuk. Ia mengenakan jubah pemimpin Bara Lembut. Matanya tajam, wajahnya dewasa, namun ada kelembutan yang sulit disembunyikan.

“Pemimpin Irawa,” ucap Sena singkat tanpa menoleh. “Aku kira kau tidak akan menemuiku.”

Pemimpin Irawa berhenti beberapa langkah darinya. “Bagaimana aku bisa diam ketika salah satu prajuritku hampir mati—dan setelahnya mencoba menantang retakan dimensi dengan tubuh setengah hancur?”

Sena tersenyum tipis tanpa humor. “Setengah hancur bukan apa-apa.”

“Jika makhluk lain mengatakan itu, mungkin aku percaya. Tapi kau—kau selalu menilai dirimu terlalu tinggi.”

Irawa menghela napas. “Sena, kau bukan tak terkalahkan.”

Sena menutup mata. “Aku tahu.”

Irawa memperhatikan luka-luka di tubuhnya, retakan merah di kulitnya yang berpendar setiap kali ia bernapas.

“Tapi aku tidak pernah melihatmu seperti ini,” katanya hati-hati. “Seolah… sebuah bagian dari dirimu hilang.”

Sena menoleh, tatapannya dingin. “Memang hilang.”

Irawa mendekat, duduk di tepi tempat tidur. “Sena. Ceritakan apa yang terjadi.”

“Tidak.”

“Kau harus bicara, kalau tidak bara emosimu akan menghancurkan tubuhmu sendiri.”

Sena terdiam sejenak.

Lalu ia menunduk, meremas seprai obsidian.

“Dia masuk ke retakan,” katanya pelan. “Dan aku tidak bisa mengikutinya.”

“Maksudmu… Cai?”

Sena menatapnya tajam. “Jangan sebut namanya sembarangan.”

Irawa tertegun.

“… Kau sangat peduli padanya.”

Sena memalingkan wajah. “Dia bukan makhluk air biasa. Dan dia…”

Suara Sena melemah.

“… Dia menyelamatkanku.”

Irawa menunggu dengan sabar.

“Jika dia tidak melindungi aku saat melawan Pemimpin Api Merah… aku tidak akan kembali.”

Irawa mengamati wajah Sena. Ada luka yang bukan fisik. Luka yang dalam.

“Kau tidak pernah seperti ini pada siapa pun sebelumnya,” katanya lembut.

Sena menghela napas. Api di tangan kirinya berkobar kecil. “Dia berbeda.”

Irawa duduk lebih dekat.

“Aku tahu apa itu,” katanya lirih. “Kau memiliki ikatan dengannya.”

“Kami berasal dari elemen yang saling membunuh,” balas Sena hambar.

“Itu tidak menghapus kenyathaannya.”

Sena terdiam.

Irawa berdiri dan menyentuh bahu Sena. Sentuhan itu memberi kenyamanan dingin untuk makhluk api—ketenangan pemimpin kepada prajuritnya.

“Retakan itu membahayakan dua dunia,” kata Irawa. “Dan aku tahu Cai bukan hanya makhluk air. Aku bisa merasakan sesuatu ketika kau menyebut namanya.”

Sena mengangkat wajah. “Apa maksudmu?”

“Energinya… Ia membawa sesuatu yang tidak ada di kedua dunia. Aura biru-perak itu… bukan dari kita. Bukan juga dari Air Biru. Ia membawa warisan yang lebih tua.”

Irawa menatapnya serius.

“Dan retakan itu memanggilnya. Berarti ia memiliki hubungan dengan asal mula perpecahan.”

Sena mengepalkan tangan. “Semakin banyak alasan aku tidak bisa membiarkannya sendirian.”

“Kau tidak bisa masuk ke retakan. Tubuhmu akan hancur sebelum kau mencapai pusatnya.”

“Kalau begitu ajari aku!” seru Sena, suara marahnya membuat obor di ruangan berkedip.

Irawa terdiam.

“Ada teknik Bara Tua,” katanya akhirnya. “Teknik untuk menjaga inti api dengan stabil meski berada dalam kekuatan gelombang berlawanan. Ini dilarang karena bisa—”

“Aku mau belajar.”

Irawa menghela napas panjang. “Teknik itu bisa membunuhmu.”

Sena menatapnya tanpa ragu. “Aku tidak peduli.”

Irawa menahan tatapan itu lama sebelum akhirnya menyerah.

“… Baik.”

Ia berbalik sedikit, wajahnya lebih serius dari sebelumnya.

“Kau akan mulai kini.”

---

Mereka memindahkan Sena ke ruang pelatihan dalam gua bawah tanah Bara Lembut—ruangan kuno dengan lingkaran api biru yang berputar perlahan seperti jam besar.

“Dengar baik-baik,” kata Irawa. “Teknik Bara Tua bukan teknik serangan atau perlindungan. Ia adalah teknik stabilisasi jiwa.”

“Jiwa?” Sena mengernyit.

“Retakan dimensi menyerang jiwa dulu, baru tubuh. Jika jiwamu tidak stabil, kau akan hancur bahkan sebelum cahaya retakan menyentuh kulitmu. Teknik ini memungkinkanmu menjaga bentuk energi sendiri.”

“Jadi jika aku menguasainya… aku bisa mendekat ke retakan?”

Irawa mengangguk. “Ya. Tapi hanya mendekat. Masuk ke dalam masih mustahil.”

Sena menghela napas frustasi. “Aku tidak perlu masuk. Aku hanya perlu… memastikan dia bisa kembali.”

Irawa menatapnya cukup lama hingga akhirnya ia berkata, “Baik. Berdiri di tengah lingkaran.”

Sena melangkah ke tengah. Lingkaran api biru langsung meningkat panasnya, menyelimuti tubuhnya dengan gelombang energi seperti air panas mengalir di balik kulit.

Irawa mengangkat tangannya. “Tutup mata.”

Sena menutup mata.

“Tarik napas.”

Ia menarik napas dalam-dalam.

“Bayangkan inti api di dalam dirimu sebagai bola panas. Pegang bentuknya. Rasakan ritmenya.”

Sena memfokuskan diri. Ia merasakan inti apinya di dada—biasanya liar dan bergerak seperti badai. Namun ketika ia mencoba memegangnya, ia teringat sesuatu.

Cahaya biru.

Sentuhan air.

Senyum Cai.

Sena membuka mata dan api di tubuhnya meledak sedikit. Lingkaran di sekelilingnya berguncang.

Irawa mengerutkan kening. “Apa itu?”

Sena menunduk. “Tidak apa-apa.”

“Jangan bohong, Sena.”

Sena menghela napas. “Aku tidak bisa… menenangkan diri.”

“Karena Cai?”

Sena meremas tangan. “…Ya.”

Irawa meletakkan tangan di bahunya. “Gunakan itu.”

Sena tertegun. “Apa?”

“Gunakan perasaanmu itu. Api tidak stabil jika kau menekan emosinya. Biarkan ia menyala karena alasanmu. Bukan meskipun alasanmu.”

Sena terdiam.

Lalu ia menutup mata lagi.

Ia membayangkan Cai di retakan itu, sendirian, bertarung, menahan energi liar agar dua dunia tidak runtuh.

Ia membayangkan senyum lembut makhluk air itu, suara tenangnya, rasa hangat yang aneh setiap kali Cai menyentuhnya.

Bukan api yang panas.

Bukan air yang dingin.

Tapi sesuatu di antaranya.

“Cai…” bisiknya.

Inti api di dadanya perlahan berubah bentuk.

Bukan lagi badai.

Lebih stabil. Lebih kuat.

Lebih… hidup.

Bara biru dari lingkaran naik ke udara, menari seperti huruf kuno. Dinding gua bergetar. Irawa menatap Sena dengan mata terbelalak.

“Dia… menyatu dengan tekniknya,” gumam Irawa.

Cahaya emas-merah menyelimuti tubuh Sena, dan untuk pertama kalinya sejak Cai masuk retakan—

Sena merasa ia bisa mencapainya.

---

Ketika ia membuka mata, seluruh ruangan menghangat.

Sena menarik napas panjang.

“Pemimpin,” katanya tegas. “Aku siap.”

Irawa tersenyum kecil—campuran bangga dan takut. “Kalau begitu… kita kembali ke portal.”

Sena berdiri.

Ia menatap arah portal jauh di luar gua itu.

“Cai.”

Suaranya mantap.

“Aku datang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!