Lana Croft, seorang mahasiswi biasa, tiba-tiba terbangun sebagai tokoh antagonis kaya raya dalam novel zombie apokaliptik yang baru dibacanya. Tak hanya mewarisi kekayaan dan wajah "Campus Goddess" yang mencolok, ia juga mewarisi takdir kematian mengerikan: dilempar ke gerombolan zombie oleh pemeran utama pria.
Karena itu dia membuat rencana menjauhi tokoh dalam novel. Namun, takdir mempermainkannya. Saat kabut virus menyelimuti dunia, Lana justru terjebak satu atap dengan pemeran utama pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
"Ugh... Lana, kepalaku rasanya seperti dihantam godam." Riley mengerang, mencoba bangkit. Seluruh tubuhnya terasa lemas, namun anehnya, ada sensasi asing, seperti aliran sungai kecil di bawah kulitnya.
"Riley! Syukurlah kau bangun! Kau demam sangat tinggi dan sudah tidur selama satu hari penuh dan dua malam." Lana bergegas menghampiri.
"Dua malam? Pantas saja aku merasa seperti mayat hidup." Riley memijat pelipisnya.
Mata Lana penuh harap, suaranya tercekat. "Kau... Apa ada yang terasa berbeda? Maksudku, di tubuhmu?" Ia penasaran, akankah Riley, sang tokoh pendukung, juga mendapatkan 'anugerah' itu.
Riley memejamkan mata, fokus pada energi aneh itu. "Ya, ada... Rasanya seperti aku punya baterai cadangan yang terus berdenyut. Aneh, tapi tidak menyakitkan."
Mendengar konfirmasi itu, senyum Lana merekah, berseri-seri. "Coba kau fokuskan perasaan itu ke tanganmu. Coba keluarkan!"
Riley mengernyit, merasa konyol, tapi tetap mencoba. Ia mengerahkan semua konsentrasinya, membayangkan aliran itu bergerak menuju telapak tangan. Perlahan, setetes demi setetes air mulai merembes keluar dari celah jemarinya, membentuk aliran tipis yang jatuh ke lantai.
Riley menatap tangannya, matanya membulat sempurna. "A-apa ini?"
Lana melompat kegirangan, mengguncang bahu Riley. "Kau mendapatkannya! Itu kemampuan air, Riley! Kau dapat kekuatan super!"
"Kekuatan super?" Riley tercekat, lalu seketika tawa puasnya meledak. Ia berkacak pinggang, membusungkan dada. "Astaga! Jadi aku ini semacam pahlawan super sekarang? Aku akan berjalan ke mana-mana dengan gagah!"
"Aku harus pamer ke Kak Kael! Biar dia tahu siapa yang paling keren!" Dengan semangat berapi-api, Riley menarik Lana menuruni tangga.
Di ruang tamu, suasana tegang menyelimuti Kael dan Lucas, yang sedang membahas peta digital di sofa.
"Kak! Lihat ini! Aku punya superpower!" Riley berteriak bangga, menunjuk pada tetesan air yang menari-nari di ujung jarinya.
Kael mendongak, alisnya terangkat tipis. "Oh, itu... Kau maksudnya seperti ini?"
Kael mengangkat tangan kirinya tanpa ekspresi berlebihan. CRACKLE! Sebuah bola energi listrik berwarna ungu pekat menyala di telapak tangannya, mengeluarkan suara desisan tajam yang membuat udara berbau ozon. Tak berhenti di sana, ia mengalihkan fokusnya, dan pisau buah di atas meja kaca melayang perlahan, berputar-putar dalam gravitasi pribadinya.
Di sampingnya, Lucas hanya menghela napas. Ia menanggapi dengan mengangkat tangan kanannya, di mana kobaran api jingga yang stabil muncul, jauh lebih besar dari percikan air Riley, namun tampak biasa saja di hadapan tontonan listrik dan telekinesis Kael.
Riley: "..."
Riley merasakan seluruh aura "pahlawan super"nya seketika runtuh. Di antara dua pria itu, dia terasa seperti pelawak sirkus.
Lana, di sisi lain, menatap Kael dengan mata berbinar, penuh kekaguman yang tak tertahankan. Kemampuan ganda Kael—listrik dan telekinesis yang sangat langka—jelas mengukuhkannya sebagai male lead sejati.
Kael menangkap tatapan kagum itu. Sebuah senyum nakal tersungging di bibirnya. Saat Lucas dan Riley kembali berdebat tentang cara kerja kekuatan mereka, Kael mendekat, membungkuk hingga bibirnya sejajar dengan telinga Lana.
"Tak usah cemberut begitu. Apapun yang kumiliki, itu milikmu juga," bisik Kael, suaranya rendah dan serak. Ia sengaja menghela napas hangat, membiarkannya menyentuh kulit leher Lana. "Termasuk diriku ini. Bukankah begitu?"
Sensasi geli dan hangat itu menjalar, membuat pipi Lana langsung merona, dari ujung telinga hingga leher.
"J-jangan bicara omong kosong!" Lana melirik tajam, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. Tapi sorot mata Kael yang penuh godaan itu justru membuat jantungnya berdebar kencang.
Kael pura-pura terluka, mempermainkan ekspresi. "Astaga. Jadi Lana mau melarikan diri setelah 'kita' tidur bersama? Tidak bertanggung jawab sekali, ya?"
"Aku tidak! Kapan kita tidur—hush! Jangan mengarang!" Lana panik, melirik sekeliling. Ia bersyukur tidak ada yang memperhatikan drama mereka.
"Oh? Berarti kau tidak keberatan jika kita tidur bersama, tapi kau keberatan dituduh lari dari tanggung jawab?" Kael menaikkan satu alis, tersenyum penuh arti.
"K-kau... Dasar mesum!" Wajah Lana sudah merah padam seperti tomat. Kalimat Kael yang ambigu itu membuatnya nyaris kehilangan akal.
Melihat Lana hampir sembunyi di balik tirai karena malu, Kael tertawa kecil. Ia mengusap puncak kepala Lana yang lembut dengan kasih sayang. "Sudah, sudah. Jangan terlalu serius. Masih ada waktu."
Tak lama kemudian, Kael dan Lucas mengenakan jaket tebal mereka dan bersiap keluar untuk menilai situasi di kota, meninggalkan Lana dan Riley di rumah dengan peringatan keras untuk tidak bergerak.
"Lana, yang di luar itu... zombie, kan? Ini benar-benar kiamat?" Riley bergumam, nada suaranya kini lebih serius.
Lana hanya memberinya tatapan prihatin. Akhirnya Riley menyadari kengerian situasi ini.
Mereka berdua memasak bubur dan mengukus roti—sarapan yang sederhana. Lana menggunakan persediaan dari dapur, menahan diri untuk tidak mengungkapkan rahasia ruang dimensi-nya terlalu dini.
Setelah sarapan kilat, Kael mengumumkan keputusannya. "Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya. Kita akan pergi ke pangkalan militer. Itu adalah tempat teraman yang kita miliki."
Kael menatap kedua gadis itu dengan tatapan tegas yang tidak menerima bantahan. "Dengarkan baik-baik. Selama kami tidak di sini, jangan pernah keluar rumah. Kunci semua akses dan JANGAN PERNAH BUKA pintu untuk siapa pun."
Di aula rapat utama pangkalan militer, suasana sangat dingin. Jenderal (Kakek Kael) duduk di kursi paling depan, pandangannya tajam mengintimidasi semua perwira di bawahnya.
"Saya butuh laporan yang jelas. Apa yang sedang terjadi di luar sana?"
Seorang perwira senior menjawab dengan suara bergetar, "Jenderal, orang-orang di luar menjadi brutal! Mereka menggigit siapa pun yang mereka temui, bertindak seperti binatang buas!"
"Unit tempur kami yang terluka pun seketika berubah menjadi sama!"
"Apa yang merasuki mereka?"
"Bagaimana kita bisa melawan hal yang tidak kita mengerti?"
...
"CUKUP! Tenang!" Jenderal itu menggebrak meja. "Prioritas kita adalah rencana. Bukan kepanikan!"
Tepat pada saat itu, pintu terbuka, dan Kael masuk. Semua mata tertuju padanya, dipenuhi harapan. Ia duduk dengan tenang di samping kakeknya.
"Makhluk di luar adalah mayat hidup. Kulit mereka pucat keabuan, mata keruh, dan mereka sangat agresif. Yang digigit akan berubah dengan sangat cepat," Kael memulai, suaranya tenang dan otoritatif. "Kami menemukan bahwa peluru di dada tidak berguna. Hanya kerusakan total pada kepala yang dapat menghentikan mereka."
Ia berhenti sejenak, membiarkan fakta mengerikan itu meresap. "Saya menduga ini adalah virus yang disebarkan oleh kabut tebal tempo hari."
"Kemungkinan besar, ini adalah permulaan kiamat yang sesungguhnya."
"Oleh karena itu, ini rencana tindakan segera: Pertama, bersihkan ancaman di area strategis. Kedua, kumpulkan persediaan dan selamatkan warga sipil. Ketiga, segera bangun Pangkalan Aman, menjadikan area ini sebagai pusat pertahanan, diperluas hingga radius sepuluh kilometer."
Kael kemudian mengangkat tangan, dan kilatan listrik ungu menyambar. Kehebohan langsung menyebar di antara para perwira.
"Ini adalah kemampuan super. Ini bukan kasus unik; banyak orang yang kini membangkitkan kekuatan tak terduga," jelas Kael.
Ia menatap lurus ke mata kakeknya. "Kita harus segera mengumpulkan dan melatih semua orang yang memiliki kemampuan super. Mereka akan menjadi kekuatan utama kita di masa depan."
Jenderal itu mengangguk, puas dengan kecepatan dan ketajaman berpikir cucunya. Ia adalah aset yang tak ternilai. Satu-satunya kekurangan bocah ini adalah dia tidak juga memberinya cicit untuk diajak bermain.
Jenderal itu melirik cucunya dengan pandangan penuh celaan.
Kael, yang tiba-tiba merasa dingin di punggungnya: "..."
Setelah rapat, Kael mengumpulkan tim kepercayaannya. Dengan peta vila-vila di tangan, ia memberikan perintah untuk mulai membersihkan area permukiman sekitar.
Mereka bekerja sepanjang hari, membereskan ancaman vila demi vila. Beruntung, kawasan itu tidak terlalu padat penduduk. Mayat-mayat dikumpulkan secara metodis, dibakar menjadi abu, sebelum kegelapan malam tiba, membawa ancaman baru.
mendengar konpirmasi
jadi
mandengar ucapan itu