Kiandra Pravira, baru saja kembali ke Jakarta dengan hati yang hancur setelah dikhianati mantan kekasihnya yang menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Saat berusaha bangkit dan mencari pekerjaan, takdir membawanya bertemu dengan Axton Velasco, CEO tampan dari Velasco Group. Alih-alih menjadi sekretaris seperti yang ia lamar, Kiandra justru ditawari pekerjaan sebagai babysitter untuk putra Axton, Kenric, seorang bocah enam tahun yang keras kepala, nakal, dan penuh amarah karena kehilangan Ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Kiandra terbangun dalam kegelapan yang menyelimuti ruangan. Hanya cahaya samar dari luar yang menembus tirai, membuatnya bisa melihat sedikit. Ia merasakan jarum infus menusuk tangan kirinya, cairan dekstrosa mengalir pelan ke tubuhnya. Saat mencoba bergerak, nyeri langsung menyerang dahi kiri dan pinggangnya. Ah, dia ingat sekarang. Mereka mengalami kecelakaan. Bagaimana keadaan anak asuhnya? Apakah Kenric juga terluka?
Kiandra menoleh. Di sofa, seseorang tertidur Tuan Axton? Mengapa pria itu ada di sini? Kiandra tak tega membangunkannya, terlihat tidur begitu nyenyak. Lebih baik dia ikut terlelap, besok saja menanyakan kabar mereka.
“Mengapa kau di sini, nak? Kembalilah ke kamarmu.”
Meski matanya masih terpejam, Kiandra mendengar suara berat itu.
“Suster galak itu akan datang, Daddy! Aku tidak mau dia menemukanku. Aku tinggal di sini sebentar saja. Aku baik-baik saja, jangan khawatir.”
Dada Kiandra terasa lega. Itu suara Kenric.
“Kamu keras kepala sekali, Kembali ke kamarmu sekarang!” Nada Axton meninggi, pertama kali Kiandra mendengarnya membentak.
“Aku tidak mau! Seperti yang kubilang, aku baik-baik saja, Daddy. Jangan dibesar-besarkan!”
Sepertinya ayah dan anak itu sedang bertengkar.
“Kita kembali ke kamarmu, ikut aku sekarang juga!” Nada Axton terdengar penuh tekanan.
“Lepaskan aku, Daddy!”
Kiandra mendengus kesal. Berisik sekali.
“Kalian ribut sekali? Pergilah ke tempat lain kalau mau bertengkar. Jangan ganggu orang sakit,” ucapnya pelan tapi tegas.
Keduanya langsung diam. Syukurlah.
“Kiandra?” / “Kiandra jelek!”
Dua suara itu terdengar bersamaan.
“Dari tadi aku dengar teriakan kalian. Kenric, dengarkan Daddymu. Kamu--”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kenric sudah langsung memeluknya.
“Kau merindukanku, kan?” goda Kiandra sambil tersenyum.
“Bodoh… Kiandra jelek… aku senang,” sahut Kenric dengan wajah cemberut.
Kiandra tersenyum hangat. “Aku juga merindukanmu.”
Sekilas ia melihat Axton mengalihkan pandangan.
“Aku benar-benar cemburu,” gumam pria itu pelan, jelas sekali sedang menahan stres.
Tak lama, dokter masuk memeriksa Kiandra. Beberapa pertanyaan diajukan, lalu dokter pergi. Axton kembali duduk di sofa dengan mata terpejam. Sementara Kenric enggan beranjak dari sisi tempat tidur. Kiandra memperhatikan luka-luka di tubuh bocah itu.
“Kamu punya lebih dari sepuluh luka. Tsk, tsk, tsk. Lihatlah akibat keras kepala. Bagaimana rasanya?” Kiandra mencibir manja.
Kenric hanya cemberut. Lucu sekali.
“Ini juga akan sembuh. Lagipula kamu yang lebih parah. Ada luka di dahi dan pinggangmu,” balasnya sambil menunjuk.
“Aku sudah baik sekarang. Lihat, aku kuat seperti Incredible Hulk.” Kiandra menirukan gaya otot, membuat Kenric menggeleng.
“Ya, ya. Sudah baik tapi tambah bodoh.”
“Tss! Aku tidak bodoh dan jelek! Aku ini unik dan cantik!”
Kenric sambil tertawa.
Kiandra memutar mata. “Terserah. Aku ngantuk.”
“Aku juga ngantuk. Aku tidur di sini saja.”
“Kembalilah ke kamarmu. Tidur yang benar.”
“Aku tidak mau! Takut suster galak itu datang lagi bawa suntikan. Aku benci, sakit sekali!”
Kiandra tertawa kecil. “Ngaku saja kamu takut jarum suntik, Tuan Muda.” Ia mencolek pinggang Kenric.
“Diam, Kiandra jelek! Aku mau tidur di sini!” rengek Kenric.
Kiandra mengelus rambut bocah itu. Tak butuh waktu lama, Kenric sudah terlelap. Benar-benar cepat.
Matanya lalu beralih pada Axton. Sejak tadi pria itu duduk dengan posisi sama. Tidak pegal? Wajahnya terlihat menahan sesuatu. Menjaga jarak, mungkin? Kiandra mendengar desahan halus.
“Jangan pandang aku begitu, Kiandra.”
Ternyata dia tidak tidur.
“Aku tidak menatapmu.” Kiandra menyeringai, lalu menggenggam tangan Kenric dan menciumnya, sengaja untuk menggoda. “Kasihan sekali Kenric, anak malang.”
“Sungguh, Kiandra? Di depanku?” Nada Axton terdengar jengkel.
“Aku khawatir karena dia terluka. Masa kamu tidak khawatir pada anakmu sendiri? Astaga, Axton, tidak masuk akal!”
Tatapan pria itu berubah tajam. “Aku sangat khawatir pada kalian berdua! Berhenti menggodaku. Aku benar-benar cemburu.”
Kiandra tertawa kecil. “Astaga, kamu cemburu sama anakmu sendiri. Ya sudah, aku berhenti. Mendekatlah ke sini.”
“Tetap saja, aku akan di sini. Istirahatlah.”
“Axton. Velasco.” Kiandra mengucapkannya dengan nada menekan.
Pria itu akhirnya berdiri, lalu berjalan mendekat. “Apa maumu?” Wajahnya jelas kesal, matanya menghindar.
“Lebih dekat.” Begitu cukup dekat, Kiandra menariknya dan memeluknya erat. “Aku tahu kamu stres. Terima kasih sudah merawat kami.”
Axton menghela napas berat. “Aku tidak bisa menahan diri. Bolehkah aku menciummu?”
Kiandra hanya mengangguk.
Bibir pria itu menyentuhnya lembut, membuat hati Kiandra bergetar. Entah benar atau salah, yang ia tahu, ia menyukai pria ini. Tidak, lebih dari itu. Ia takut, tapi ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Sepertinya ia sudah jatuh cinta.
“Aku senang kamu baik-baik saja. Lain kali hati-hati,” bisik Axton.
Kiandra tersenyum. “Axton… maukah kita mulai berpacaran?”
“A-apaa?” matanya membesar, jelas terkejut.
Kiandra tergelak. “Jangan minta aku mengulanginya.”
“Kamu benar-benar menerimaku? Benarkah?”
Kiandra hanya mengangkat bahu, pura-pura cuek.
“Kiandra! Jawab aku. Apakah kita berpacaran?” desaknya.
“Berpacaran nanti saja, setelah keluar dari rumah sakit. Aku ingin segera keluar dari sini,” jawab Kiandra santai.
“Jangan bercanda. Aku serius. Kamu benar-benar mau? Kamu menyukaiku? Aku ingin jawaban serius.”
Kiandra menahan tawa. “Ya ampun, kepala batu sekali. Iya! Kita coba saja. Kalau tidak cocok, ya putus.”
“Tapi… kamu menyukaiku?” Lagi-lagi ia mengulang pertanyaan yang sama.
Kiandra menghela napas sambil tersenyum. “Jawabannya sudah kamu tahu, Axton.”
“Aku ingin dengar langsung darimu. Apakah kamu menyukaiku?”
Kiandra menatapnya. “Tidak, Axton.”
Cahaya di mata pria itu meredup. “Lalu?”
“Aku mencintaimu.”
Mata Axton membesar, tampak terkejut. “Benarkah?”
“Apakah aku terlihat berbohong? Kalau begitu aku tarik kata-kata--” Belum sempat ia selesai, mulutnya ditutup Axton dengan ciuman. Pria itu memeluknya erat.
“Aku juga mencintaimu, Kiandra.”
Kiandra membalas pelukannya.
Sepertinya keputusannya sudah tepat. Dia ingin membuat kenangan baru bersama Axton. Pria itu adalah cahaya di tengah gelap dunianya. Untuk pertama kalinya, Kiandra tidak ingin menyangkal perasaannya lagi. Ia hanya berharap, Axton benar-benar akan menjadi cinta terakhirnya.