Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Dona sesaat melirik ke arah Misda, yang sedang dipaksa Roy meminum miras meski sudah berkali-kali menolak dengan getir. Namun Roy tak peduli, terus menyerang tanpa ampun, hingga Misda terjerat dalam cengkeramannya tanpa daya. Di sisi lain, Dona masih asyik berjoget dengan Alex, pelukan hangat yang menempel erat di tubuhnya seakan membelenggu perasaan, tapi baginya itu semua hanyalah alat demi satu tujuan: uang.
Sementara itu, Misda terperangkap di bawah desakan Roy yang semakin liar. Tangan pria itu bergerak tanpa batas, membuka satu per satu kancing kemeja Misda, mengungkap belahan dadanya yang makin menggoda sekaligus menyesakkan.
Sentuhan kasar Roy merambat ke balik rok pendek, menyusup ke dalam area pribadi yang seharusnya suci dan terlindungi. Suara lenguhan panjang Misda pecah, antara geli dan tercekik rasa jijik yang membuncah, menyatu dalam kesakitan yang tak terlukiskan.
Di tengah keramaian dan tawa di sekelilingnya, Misda seolah terperangkap dalam neraka sunyi. Dona dan Alex tak menyadari jebakan yang mengancam nyawanya, atau mungkin sengaja menutup mata, tersandera oleh perputaran dunia yang hanya bicara tentang keuntungan dan pengkhianatan.
Malam itu bukan lagi tentang kegembiraan, tapi tentang kehilangan diri dalam kekejaman yang membungkus setiap desahan dan gerakan tanpa suara.
Suara musik berdentum kencang menembus gegap ruangan karaoke yang penuh asap dan gelora. Alex ikut terbawa suasana, menari tanpa rasa malu di samping Dona yang semakin tenggelam dalam hawa panas malam itu. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Misda, yang larut dalam pelukan Roy, seolah tak ingin melepas keintiman yang tersulam rapuh.
Namun tiba-tiba, tubuh Roy terlempar jauh dari Misda dengan kasar, seolah sebuah badai mengejutkan tengah mengguncang malam itu. Dona terkejut, jantungnya berdegup lebih keras dari irama lagu yang membahana. Alex pun langsung maju, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Bos, ada apa?!" suaranya penuh urgensi saat menolong Roy berdiri, berharap ada jawaban yang menjernihkan suasana.
Roy hanya tersenyum tipis, menutupi rasa sakit dan kegelisahan yang coba dia sembunyikan,
“Tidak apa-apa… Mungkin aku kebanyakan minum malam ini.”
Namun senyum itu terasa seperti topeng tipis di tengah kerusuhan hati yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
"Bagaimana kalau aku antar pulang, Bos?" suara Alex mengandung beban tanggung jawab yang serius.
Roy, yang wajahnya merah padam akibat kebanyakan minum, hanya mengangguk lemah, seolah tak mampu berkata-kata lagi.
Sebelum meninggalkan ruangan karaoke yang penuh bau alkohol itu, kedua pria kaya itu melemparkan dua gepok uang merah ke arah Dona dan Misda. Uang yang jatuh begitu saja itu terasa bagai cambuk keras di hati mereka.
Misda, yang sudah tak berdaya oleh teler, tergeletak lemah di sofa panjang, pakaiannya berantakan, rambutnya kusut tak karuan. Dona bergegas menghampiri, mencoba membangunkannya dengan sentuhan lembut penuh kecemasan.
Begitu pintu menutup di belakang Roy dan Alex, langkah berat Wono masuk membawa angin dingin malam. Dengan penuh perhatian, ia mengangkat tubuh Misda yang nyaris tak bernyawa itu.
“Aku bawa pulang Misda ke kost, ya. Dona, kamu bisa pulang sendiri, atau butuh diantar Joni?” suaranya berat, tapi penuh kepedulian. Dona menggigit bibir, kepalanya berputar hebat.
"Sepertinya aku butuh bantuan Joni. Kepala ini seperti dihantam badai. Dua tamu gila itu... mereka tak henti mencekoki kami minuman sampai hampir mati," katanya dengan suara parau penuh kelelahan.
Wono segera memanggil Joni, yang juga menjaga keamanan di tempat itu, agar segera mengantar Dona. Suasana malam itu tak lagi riuh oleh gelak tawa, melainkan oleh kegetiran dan keputusasaan yang menempel erat di dalam dada mereka.
"Oh iya, ini tips dari pria itu. Kasihkan pada Misda nanti," ujar Dona dengan suara serak, berusaha mengingat meski pengaruh minuman masih membayang.
Di sudut ruangan, Wono mengangguk pelan, matanya penuh perhatian. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tubuh Misda yang lunglai ke pelukannya, membawanya pulang dengan gaya bridal yang tulus namun tegas. Malam ini, keberuntungan berpihak pada Wono; mobil lamanya menanti di depan, siap menampung beban tubuh Misda yang sudah tak berdaya, tanpa harus repot menanggung sendiri beban malam yang semakin berat.
Perjalanan mengantarkan Misda ke kost berubah jadi mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi Wono. Di kursi belakang mobilnya, sosok sinden cantik dalam balutan kebaya putih itu terus mengikuti, seolah menempel, tak terpisahkan.
Mata Wono tak pernah lepas dari kaca spion tengah; di sana, pandangan tajam sang sinden menembus jiwanya, membekukan darahnya setiap kali bersilangan. Meski hatinya bergemuruh ketakutan, Wono berusaha memaksa diri tetap tenang, terus menginjak gas. Tubuh Misda terlelap lemah, mungkin karena minuman tadi, tanpa sadar dia sedang diikat oleh kehadiran yang bahkan dunia nyata tak bisa menolongnya.
“Ini apa sebenarnya? Kenapa sinden itu terus menguntit Misda? Makhluk gaib yang merantai hidupnya tanpa ampun,” gumam Wono dalam hati, napasnya kian berat, sementara bayangan itu tak pernah jauh dari pandangannya. Terjebak antara nyata dan misteri, dia tahu satu hal pasti: bahaya sudah mengintai lebih dekat dari yang pernah dia bayangkan.
Sampai di depan pintu kost Misda, Wono melempar pandang tajam, mencari sosok bayangan wanita itu yang seperti hantu lenyap ditelan malam. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup keras saat ia membungkuk, mengangkat tubuh Misda yang lemah tak berdaya ke pelukannya.
Kunci kamar yang selama ini ia simpan dengan hati-hati di bawah pot bunga di depan rumah diambilnya perlahan, tangan gemetar menahan cemas. Perlahan, tanpa menimbulkan suara, pintu itu dibuka. Di dalam keheningan kamar, Wono menatap wajah Misda yang pucat, lalu dengan suara serak dan mata berkaca-kaca ia bergumam,
“Misda, meski kau dalam keadaan begini, kau tetap cantik... seperti bintang yang bersinar redup dalam gelap malam.”
Tubuh Misda dilebihkan ke atas tempat tidur, seolah ia ingin melindunginya dari dunia yang terus bergerak tanpa ampun.
Di ambang langkahnya yang hendak pergi, Wono terhenti oleh tangan Misda yang tiba-tiba mencengkeram lehernya dengan kepaksaaan.
"Jangan pergi," suara Misda serak, bergetar antara putus asa dan harapan yang tak ingin padam.
"Wono, tolong, jangan seperti ini... Aku tidak dalam keadaan sadar," ujar pria itu, mencoba merenggangkan pelukan yang semakin mengurungnya.
Namun Misda tak menghiraukan, matanya menyala penuh gelora, menolak melepaskan satu inci pun dari kehadiran Wono di sisinya.
Dalam sekejap, tubuh mereka terbaring bersama di ranjang, dan kehangatan yang muncul seperti bara api yang tak bisa ditiup padam.
Kedamaian itu menusuk relung hati Wono, membangkitkan kerinduan dan keinginan yang selama ini terpendam seolah Misda adalah satu-satunya pelabuhan bagi jiwanya yang lelah.
Di antara bisikan nafas dan detak jantung yang berpacu, Wono tahu meskipun badai emosinya mengamuk, ada sesuatu yang tak bisa ia tolak: cinta yang membara di antara mereka.