NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 30

Terowongan kedua lebih sempit dari yang pertama.

Tanahnya lembap, udara lebih dingin, dan suara api dari kabin di atas mereka terdengar seperti gemuruh neraka yang semakin dekat.

Nathan berjalan cepat sambil menghitung napas.

“Terus maju… dua puluh meter lagi…”

katanya, suaranya jauh lebih tegang daripada sebelumnya.

Raina memegang senter kecil, menerangi jalan tepat di kaki mereka.

Hana berpegangan pada lengan James, tubuhnya masih gemetar akibat kilas balik tadi.

James tidak melepaskan genggamannya walau sedetik.

“Hana, tetap dekat dengan aku.

Sebentar lagi kita keluar,” bisiknya.

Hana mengangguk pelan, meski wajahnya masih pucat.

Terowongan itu membelok ke kanan—

dan di ujungnya terlihat cahaya kecil.

Nathan mendekat, membuka pintu besi rendah di ujung terowongan.

Begitu pintu itu terbuka…

udara malam yang dingin langsung masuk.

Dan tepat di depan mereka—

di tengah kabut tipis, di balik pepohonan yang tumbuh rapat—

terparkir sebuah mobil berwarna abu tua.

Tidak ada lampu menyala.

Tidak ada orang di dalam.

Seolah mobil itu ditinggalkan untuk mereka.

Raina menelan ludah.

“Nathan… itu milikmu?”

Nathan menggeleng, wajahnya mengeras.

“Bukan.”

James maju sedikit, memeriksa dari jauh.

“Plat nomornya… ditutup lumpur.”

Hana memegang lengan James lebih erat.

“James… siapa yang tahu kita ke sini…?”

Nathan menuruni tangga terowongan keluar dan berjalan pelan mendekati mobil itu.

Ia menempelkan punggung tangan ke kap mobil.

“Hangat.”

Ia menatap James.

“Baru saja tiba.”

James setengah melangkah maju…

tapi di detik itu…

klik

Suara kecil dari dalam mobil terdengar.

Seperti suara kunci otomatis membuka.

Lampu dalam mobil menyala…

menyala pelan…

tanpa ada yang menyentuhnya.

Hana langsung bersembunyi di belakang James.

“J-James… ada orang…?”

Tapi tak ada yang keluar.

Nathan memutar tubuh menghadap mereka.

“Kita tidak bisa diam di sini.

Api kabin akan menarik penjaga ke arah ini.”

Ia menunjuk mobil itu.

“Entah siapa yang menaruh mobil ini…

tapi itu satu-satunya cara untuk pergi.”

James menatap Nathan, lalu Hana.

“Aku masuk dulu.

Kalau ada apa-apa… kalian lari.”

Hana memeluk lengan James kuat-kuat.

“Jangan masuk sendiri…”

James menempelkan telapak tangannya ke pipi Hana sebentar.

“Aku tidak tinggalkan kau.

Tapi aku harus memastikan aman.”

Hana mengangguk… meski tubuhnya gemetar.

James membuka pintu mobil perlahan—

dan menemukan…

sebuah amplop di kursi pengemudi.

Ia mengambilnya.

Di luar, Nathan menegangkan tubuhnya, siap kalau ada serangan.

James membuka amplopnya.

Isinya hanya selembar catatan kecil:

“PERGI SEBELUM DIA SAMPAI.

AKU DI PIHAK KALIAN.”

Tidak ada nama.

Tidak ada tanda.

Hanya huruf tegas… dan satu tanda kecil seperti goresan tinta: A.

James memucat.

Hana menatapnya, takut.

“James… apa itu…?”

James mengepalkan kertas itu.

“Kita pergi.

Siapa pun dia… dia tahu kita akan ke sini.”

Kemudian lirih, hampir tidak terdengar:

“Dan… dia masih hidup.”

Nathan mengangguk cepat.

“Masuk semua. Waktu kita habis.”

 

Di atas tanah…

kabin yang sudah habis terbakar rangkanya mengepulkan asap hitam.

Soni berjalan masuk ke antara sisa-sisa kayu yang hangus.

Para penjaga menyingkirkan papan-papan terbakar.

“Tuan… tidak ada mayat.

Tidak ada tanda mereka terjebak.”

Soni menatap lantai kabin yang hangus dengan mata tajam.

“Jadi mereka benar-benar kabur lewat bawah…”

Ia menunduk dan memungut sesuatu dari lantai.

Sebuah pita rambut kecil berwarna krem.

Pita itu gosong sedikit di ujungnya.

Soni memegangnya erat.

“Hana…”

bisiknya, suaranya berubah gelap,

“…ini pun masih kau tinggalkan untukku?”

Ia memasukkan pita itu ke saku jasnya

dan berdiri perlahan.

Kemudian ia berjalan keluar reruntuhan sambil berkata pada kepala keamanan:

“Tutup seluruh hutan.

Jangan biarkan satu kendaraan pun lewat.”

Ia memasuki mobil hitamnya sendiri, menutup pintu dengan lembut.

Matanya tidak menunjukkan kemarahan.

Justru…

kecanduan.

“Kau ingin bermain kabur…

baiklah.”

Jari Soni mengelus pintu mobil.

“Aku akan buktikan pada kau… dan pada James…

bahwa tidak ada yang bisa lari dariku.”

Mobilnya melaju.

Ke arah kabin kedua.

Ke arah jalur terowongan.

Ke arah tempat Nathan akan keluar.

Ke arah mereka.

Dalam mobil misterius itu, Nathan mengambil kemudi.

“Sabuk pengaman.

Dan siap dengan kemungkinan terburuk.”

Raina menyalakan GPS offline.

Hana duduk di samping James, tubuhnya masih gemetar sisa panik.

James membuka amplop itu lagi…

menatap huruf A yang tergores kecil.

Nathan melirik lewat kaca spion.

“Apa itu, James?”

James menunduk, napasnya berat.

“Ada seseorang…

yang tahu semua gerakan kita.”

Hana menatapnya dengan mata membesar.

“James… kau pikir dia… pria itu?”

James menatapnya, lembut tapi tegang.

“Itu adalah kemungkinan paling besar.”

Hana menutup mulutnya.

Raina bergidik.

“Kalau benar… berarti dia hidup… dan dia… mengikuti kita?”

Nathan memegang setir lebih erat.

“Siapa pun dia… selama dia kirim mobil ini… dia tidak ingin kalian mati.”

James memandang jalan gelap di depan.

“Tidak.

Dia ingin sesuatu dari kita.

Sesuatu yang besar.”

Hana menatap James.

“Apa rencanamu…?”

James mengusap kepala Hana perlahan, menghilangkan keringat dinginnya.

“Kita berhenti melarikan diri,” katanya.

Raina dan Nathan menoleh bersamaan.

“Apa?” Nathan bahkan membentak kecil.

James melanjutkan:

“Kita lawan Soni.”

Nathan menghela napas keras.

“Itu bunuh diri. Kau tau dia punya apa.”

James menggeleng.

“Soni kehilangan satu hal penting.”

“Apa?”

James menatap pita kecil Hana yang ia temukan di kabin tadi.

Tersadar bahwa Soni tidak membakar kabin untuk membunuh mereka saja.

Ia ingin kembali memiliki.

“Kendali,” kata James.

Hana memandang James, rasa takut berubah jadi keyakinan.

“James… kau yakin…?”

James menatapnya dalam-dalam.

“Hana… aku tidak akan biarkan dia memengaruhi hidupmu lagi.”

Ia menggenggam tangan Hana erat-erat.

“Aku akan tamatkan ini.”

Nathan terdiam lama… lalu akhirnya mengangguk.

“Baik.

Kalau begitu… kita mulai perang.”

Di belakang mereka…

di antara pepohonan gelap…

lampu mobil Soni mulai terlihat.

Semakin dekat.

Semakin cepat.

Dan babak berikutnya dari perang ini baru saja dimulai.

Suara mesin mobil Nathan meraung saat ia menginjak gas lebih dalam.

Mobil abu-abu tua itu melesat menyusuri jalan tanah yang licin, memercikkan lumpur ke segala arah.

Di belakang mereka…

lampu mobil hitam milik Soni makin mendekat.

Garis cahaya putih memotong kegelapan seperti mata pemangsa.

Hana duduk rapat di sisi James, tangannya mencengkeram lengan James seolah itu satu-satunya jangkar hidup.

“James… dia semakin dekat…”

bisik Hana, nyaris tak terdengar.

James memegang tangan Hana, menenangkannya.

“Aku di sini.

Fokus padaku.

Jangan lihat ke belakang.”

Tapi Raina menoleh lewat jendela belakang—dan wajahnya langsung memucat.

“Ya Tuhan… itu Soni!”

suara Raina pecah.

“Dia sendirian! Dia sendiri yang mengemudi!”

Nathan tidak menoleh.

Ia mengendalikan mobil dengan kedua tangan kuat, napasnya teratur namun tegang.

“Kalau dia sendiri yang kejar

itu lebih buruk dari semua penjaga sekaligus.”

Mobil Soni semakin dekat.

Lampunya menerangi sebagian kabin mobil mereka.

Hana menunduk, air mata jatuh tanpa suara.

Tubuhnya menggigil lagi, kilas balik dan trauma menumpuk menjadi beban berat.

James langsung memeluk kepalanya ke dada.

“Hana… aku ada… kau aman bersamaku.”

Tapi suara mesin mobil Soni menggeram semakin keras.

VRROOOOAAAAMMMM—!!

Nathan memaki pelan.

“Pegang sesuatu! Kita masuk jalan berbatu!”

Mobil melewati deretan batu besar.

Mobil terguncang hebat.

Raina menjerit kecil saat ia hampir terlempar dari kursinya.

James memegang Hana erat agar tidak terantuk.

Nathan memutar setir tajam ke kiri—

mobil hampir terguling.

“Na— Nathan!” Raina panik.

“Tahan! Kita harus buat dia kehilangan kendali!”

Tapi mobil Soni tidak melambat sedikit pun.

Ia mengikuti tikungan itu dengan mulus, seolah jalan itu sudah ia kenal puluhan tahun.

James melihat itu dan bergumam keras:

“Dia tahu semua jalur hutan ini…

bahkan jalur rahasia…”

Nathan menghela napas cepat.

“Itu karena hutan ini MILIK keluarga Arther.

Soni membangun jalan-jalan ini puluhan tahun lalu.”

Hana menutup matanya.

“Dia… tidak akan berhenti…”

James menoleh padanya dan menyentuh bibinya lembut.

“Hana. Aku tidak biarkan dia menyentuhmu.

Tidak. Akan.”

Nathan menginjak rem sedikit—lalu menekan gas sekencang mungkin.

Mobil melesat, menambah jarak beberapa detik.

“Kalau kita bisa sampai ke jalan aspal kota kecil,” kata Nathan, “kita punya kesempatan.”

“Berapa jauh?” tanya James.

“Dua kilometer.”

Tapi sebelum ada yang bisa bernapas lega…

BIP— BIP—

Alarm kecil di dashboard mobil menyala.

Raina menunduk melihat layarnya.

“Apa itu?! Apa itu?!” jeritnya.

Nathan memerah wajahnya….

“GPS mobil ini aktif!!”

James menegang.

“GPS…?”

Nathan menggertakkan gigi.

“Mobil ini… yang ditinggalkan untuk kita…

ada pelacaknya!”

Hana memucat.

“Jadi… dia bisa lihat… semua rute kita…?”

“Bukan dia.”

Nathan menoleh ke James.

“Orang yang memberi kita mobil.”

Itu berarti—

pria “A”.

James meremas catatan kecil itu di tangannya.

“Dia memaksa kita masuk mobil ini…

karena ingin memantau kita.”

Nathan mengangguk keras.

“Tapi GPS-nya tidak hanya memantau.

Dia juga mengirim signal ke pihak lain.”

“Siapa?”

tanya Raina.

Nathan memandang kaca spion dan wajahnya langsung membeku.

“…Soni.

Itu sebabnya dia langsung menemukan kita.”

Hana menutup mulutnya, menangis perlahan.

“James… kita… kita dijebak…”

James merangkul bahu Hana.

“Tenang. Kita keluar dari jebakan ini.”

Mobil Soni semakin mendekat.

Terlalu cepat.

James melihat wajah Soni di balik lampu mobilnya:

• dingin

• kosong

• fokus

• tidak seperti orang biasa mengejar seseorang…

…melainkan seperti pemilik menginginkan kembali sesuatu yang dicuri.

James mengertakkan gigi.

“Aku tidak biarkan kau mengambilnya, Soni…

Kali ini… tidak lagi.”

Tiba-tiba, Nathan menarik rem mendadak.

Mobil hampir menabrak seseorang yang berdiri di tengah jalan tanah.

Raina menjerit.

Hana memeluk James dengan panik.

Nathan berteriak:

“APA–?! SIAPA ITU?!”

Nathan memutar sedikit setir untuk menghindari tabrakan.

Sosok itu tidak bergerak.

Tidak melompat.

Tidak panik.

Ia berdiri diam seperti bayangan hitam—

mantel panjang

dan kalung tipis yang memantulkan cahaya

dengan huruf A kecil.

James langsung membeku.

“Tidak…

bukan sekarang…!”

Hana menatap sosok itu.

Napasnya hilang.

“Itu… itu dia…

itu pria malam itu…”

Nathan menekan gas lagi

tapi sosok itu menghilang ke dalam kabut dengan cepat.

Seperti bukan manusia biasa.

Raina menitik air mata.

“Apakah… apakah dia bantu kita…

atau jebak kita?!”

Tidak ada yang bisa menjawab.

Lampu mobil Soni semakin terang.

Nathan menggertakkan gigi.

“Kita tidak punya pilihan—

kita harus ke kota!

Pegangan!!”

Mobil melesat keluar dari jalan tanah…

menuju aspal gelap.

Soni keluar tepat satu detik setelahnya.

Mobil Soni bergeser sedikit—

lalu menancap gas…

mengikuti mereka masuk ke jalan kota kecil.

James memegang Hana erat.

“Hana… kita akhiri pengejaran ini malam ini.”

Hana mengangguk—

meski wajahnya penuh ketakutan.

Mobil mereka melaju kencang di jalan kecil menuju lampu-lampu kota.

Dan di belakang mereka…

Soni menyusul

tanpa berkedip

tanpa ragu

seperti bayangan gelap yang selalu berhasil menemukan mereka…

Tak peduli seberapa jauh mereka mencoba lari.

26-11-2025

By: Elara21

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!