para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Gelap. Itulah yang terakhir diingat Queen sebelum semuanya menjadi hampa. Saat kesadaran kembali, ia terbaring di hamparan rumput tinggi yang nyaris menyembunyikannya. Rasa pusing menghantam kepalanya, setiap detak jantung bergema di telinganya. Dengan susah payah, Queen bangkit, pandangannya masih kabur, hanya hamparan luas padang rumput dan sebuah candi tua, megah namun terbengkalai, yang samar-samar terlihat di kejauhan.
Matahari—atau mungkin itu hanya ilusi?—menyinari padang rumput dengan cahaya redup bak senja yang tertahan. Kabut tipis menari-nari, membentuk tirai yang mengaburkan dunia. Aneh. Bukankah mereka memasuki gapura itu larut malam? Sekarang, cahaya aneh yang menipu ini seolah membuyarkan batas antara siang dan malam.
Satu per satu, teman-temannya tersentak dari pingsan, tersebar di hamparan rumput luas itu. Dengan langkah gontai dan hati berdebar, Queen menghampiri Arin yang tergeletak tak jauh darinya.
"Lu baik-baik aja, Rin?"
Arin terhuyung bangkit, menepis rumput yang menempel di bajunya. "Gue baik! Yang lain mana?"
Satu per satu, mereka berdiri, pandangan mereka masih linglung, tangan memegangi kepala yang masih terasa berdenyut. Keheranan dan ketidakpercayaan terpancar dari wajah mereka.
"Anjir... kita di mana? Kenapa masih terang?! Tadi perasaan kan malem, sumpah ini gila!" Valo panik.
Baskoro menatap sekeliling, matanya tajam mengamati lingkungan sekitar. "Kayaknya kita masuk ke dunia mereka, Guys. Kita harus hati-hati dan saling menjaga,"
Arjuna, dengan kasar menarik kerah baju Baskoro. "Jangan ngawur, Bas! Mana mungkin ini dunia lain? Mungkin kita cuma tersesat!"
"Sadar lu! Tadi masih malem, tapi lihat ini, semuanya terang benderang! Bahkan gapura yang kita lewati udah nggak ada!" Baskoro membalas dengan nada tinggi, menunjuk ke sekeliling dengan penuh keyakinan.
Arin mendesah, ketakutan mulai menguasai dirinya. "Terus kita harus gimana ini?"
Baskoro menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang. "Entahlah. Kita cari Wati dulu. Nanti kita pikirkan cara keluar dari sini."
"Tapi bagaimana kita bisa menemukan Wati di tempat seperti ini ha... "
"Gue juga gak tau! gue juga bingung Rin. "
Di kejauhan, di antara reruntuhan candi yang megah, sesosok tubuh mungil terlihat. "Itu Wati!" seru Queen, jarinya menunjuk ke arah bangunan tua tersebut.
Namun, sebelum mereka sempat mendekat, Wati berlari, menghilang di balik dinding candi yang lapuk, kemudian menyusup ke dalam hutan lebat yang menyelimuti candi tersebut.
"Ayo, kita kejar Wati!" ajakan Queen terdengar lantang.
Mereka berlari, tunggang langgang, mencoba mengikuti jejak Wati yang semakin menjauh. Napas memburu, kaki terasa berat, namun semangat untuk menemukan Wati mendorong mereka terus berlari.
Hingga akhirnya, Queen berhenti, yang lain pun terpaksa ikut berhenti, nafas tersengal-sengal.
"Buset, cepet amat larinya!" Fajri terengah-engah, tangannya memegangi lutut yang terasa nyeri, pandangannya kosong menatap teman-temannya.
Kekecewaan dan frustasi memenuhi wajah Arin. "Terus gimana ini?! Kita udah kehilangan Wati lagi! Ngapain sih dia lari-larian?! Bikin susah aja!" gerutunya, ia berkacak pinggang, mencoba mengatur nafas yang masih tersengal-sengal.
"Lu bisa gak sih gak ngomel terus?! Kita lagi nyari temen kita ini!" Arjuna menghardik Arin, suaranya terdengar tajam. "Dari tadi cuma nyalahin orang mulu!"
Arin membalas dengan sengit, "Ya ini juga gara-gara kalian yang ngotot milih Wati! Gue kan udah gak setuju dari awal! Kalian cuma seneng karena dia cantik kan?!Liat sekarang kita entah berasa di mana. "
Daffa, geram melihat pertengkaran mereka, mencoba melerai. "Udah-udah! Kenapa saling nyalahin?! Kita lagi di tempat yang gak tau di mana, bukannya cari solusi malah saling nyalahin!"
"Kita lagi cari teman kita, bisa gak gak usah pada ribut mulu. " Daffa yang biasa tenang sampai di buat muak oleh tingkah Arin.
Tiba-tiba, Baskoro menunjuk ke arah tanah. "Guys, lihat..." Ia menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka: jejak bunga melati yang terhampar di tanah.
"Bagaimana kalau kita ikutin bunga itu? Siapa tau ini petunjuk ke Wati," usul Baskoro.
"Iya, gue inget. Wati suka nanam bunga melati di kosannya," Timpal Queen .
Namun, Arin tetap bersikeras menolak. "Gak! Kalian gila ya?! Ini udah mulai gelap, dan kita mau masuk jauh ke dalam hutan?! Gimana kalo kita malah nyasar?!"
Queen menatap Arin dengan tekad bulat, "Tapi ini petunjuk, Rin! Gue harus nemuin Wati! Gue gak akan pulang kalo Wati belum ketemu!"
Arin, dengan kesal, menepis tangan Queen. "Ah, terserah lah!"
"Ayo, kita jalan," ajak Baskoro.
Queen dan Baskoro berjalan beriringan, diikuti oleh yang lain. Langkah mereka perlahan, mata mereka terus mengamati sekeliling—hanya pepohonan rindang dan semak belukar yang tumbuh lebat. Meski begitu, sebuah jalan setapak yang samar, seakan membimbing mereka, tampak di hadapan mereka.
"Gimana kalo kita malah nyasar, Guys?" Valo, wajahnya pucat pasi, memeluk lengan Daffa erat-erat.
Daffa menepuk bahu Valo, mencoba memberikan ketenangan. "Ya, kita berdoa aja, semoga kita gak nyasar." Suaranya lembut, berusaha menenangkan Valo.
Kegelapan mulai menyelimuti hutan. Baskoro menghentikan langkahnya. "Fahri, sentermu mana? Ini mulai gelap, jalannya gak keliatan," pintanya.
"Nih," Fahri menyerahkan senter kepada Baskoro. Sinar senter menerangi jalan setapak di depan mereka, menyingkap sedikit rahasia hutan yang gelap.
Di belakang, Arin berjalan acuh tak acuh, langkahnya berat, wajahnya muram. Kekecewaan dan kemarahan masih memenuhi hatinya, ia merasa tak ada yang mendengarkannya lagi.
"Tang... ting... tung..." Suara gamelan mengalun samar, mendayu-dayu dari kejauhan, menerobos kesunyian hutan yang mencekam.
Valo langsung menempel ke tubuh Daffa, tubuhnya gemetar. "Sial! Suara apa itu? Gamelan di tengah hutan? Jangan-jangan pesta para genderuwo!" Matanya terpejam rapat, ketakutan tergambar jelas.
Arjuna mendengus, "Jangan lebay, Valo! Omonganmu selalu berlebihan."
Tapi, bulu kuduk mereka semua meremang. Rasa ngeri menusuk tulang. Sorot mata mencari sumber suara misterius itu. Baskoro mengarahkan sinar senter, hati berdebar-debar.
Langkahnya perlahan, hati-hati. Kepanikan terukir jelas di wajah mereka. Queen mencengkeram lengan Baskoro erat, kuku-kukunya setengah membenam.
"Kita harus pergi untuk melihatnya," kata Baskoro,
Fahri terhenti, wajahnya pucat pasi. "Gila! Kalau itu beneran setan...?"
Queen menatap bunga melatinya yang mengarah ke sumber suara. "Tapi, kalau itu petunjuk? Lihat, bunga melatinya menunjuk ke sana!"
"Tapi kita nggak tahu apa yang ada di sana, Queen! Lu nggak takut?"
"Aku lebih takut kalau kita gagal menemukan Wati." Ia melangkah maju, tanpa ragu.
Ketakutan menggigit, tapi tekad untuk menemukan Wati mengalahkan rasa takut itu. Mereka mengikuti Baskoro dan Queen.
Makin dekat, makin jelas. Sinar senter menerpa lingkaran cahaya obor, mengelilingi gamelan dan aneka alat musik lainnya. Hening. Hanya alunan gamelan yang tetap mengalun, misterius.
Fahri berlari kecil, menghampiri gamelan. "Sialan! Ada suaranya, tapi nggak ada yang main!" Ia mengacak rambut frustasi, keringat dingin membasahi dahinya.
Lagu masih mengalun, menyihir, namun tak terlihat seorang pun. Hanya kelir, kain besar terbentang di belakang lampu.
Bayangan samar terlihat di balik kelir—sesosok penari ronggeng, bergerak lemah gemulai mengikuti irama gamelan yang mistis.
Napas mereka tercekat. Pucat pasi. Penasaran dan ngeri bercampur aduk. Fahri memberanikan diri mengintip, hati berdebar-debar. Di belakang kelir... kosong. Hanya kegelapan. Namun bayangan penari itu tetap terlihat, menari di udara, seperti hantu.
Lalu, angin berteriak. Guntur menggelegar, memecah kesunyian. Tawa mengerikan, menusuk telinga, seperti cakar yang mengoyak jiwa. Udara berdesir dingin.
"Lari!!!"
Jeritan Baskoro memecah keheningan , suaranya penuh kepanikan. Dari balik kelir, muncul beberapa penari ronggeng.
Bukan penari biasa.Wajah mereka hancur, Mata melotot, darah mengalir dari sudut-sudutnya. Kukunya panjang dan tajam, rambut mereka kusut, berantakan. Senyum mereka menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajam dan kuning.
Bayangan mereka berkelebat cepat, seperti asap, siap mencabik-cabik siapa saja yang menghalangi. Aroma anyir darah bercampur tanah basah memenuhi udara.
.
.
BERSAMBUNG...