Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Luka.
"Bugh! Bugh! Bugh!"
Suara hantaman dan tubuh yang saling berbenturan terdengar jelas di telinga Calista. Nafasnya tercekat saat mengikuti langkah Alvaro hingga ke belakang sekolah. Dari balik rerumputan tinggi, ia mengintip —matanya membelalak melihat Xavier dan Alvaro tengah dikeroyok beberapa orang tak dikenal.
"Aku harus bantu mereka... tapi, aku nggak mungkin terjun langsung ke sana." gumamnya panik, jemarinya meremas rok seragamnya. Hatinya berdegup kencang, penuh kecemasan.
Sesaat ia terdiam, mencoba berpikir keras. Lalu, perlahan senyumnya mengembang—sebuah ide muncul di kepalanya. Ia akhirnya menemukan cara untuk menolong mereka tanpa harus ikut masuk ke perkelahian itu.
••
Suara dentuman keras terdengar di belakang sekolah, tempat yang sepi dari pandangan guru maupun murid lain. Xavier berdiri berhadapan dengan beberapa preman yang sengaja menantang mereka. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras, siap menghadapi siapa pun yang berani meremehkannya.
Alvaro, yang baru datang, kini berdiri di sisinya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, lebih mirip tantangan dari pada keramahan.
Tinju pertama melayang, membuat suasana kian memanas. Pertarungan pecah. Xavier dengan pukulan terarah mematahkan serangan lawan, sementara Alvaro bergerak lincah, menangkis dan membalas cepat. Debu beterbangan, teriakan kesakitan terdengar, tapi keduanya tetap berdiri tegak, punggung saling menjaga.
Meskipun jumlah lawan lebih banyak, aura keduanya cukup membuat lawan gentar. Bagi mereka, ini bukan sekedar perkelahian, melainkan pesan—bahwa tak ada yang boleh menyentuh mereka begitu saja.
Tiba-tiba suara sirene polisi meraung keras, memecah suasana. Seketika semua orang panik dan berhamburan, berlari mencari tempat aman untuk bersembunyi.
••
"Xavier..."
Langkah Xavier terhenti. Ia langsung menoleh, mengenali suara itu. Matanya membesar saat melihat Calista keluar dari balik rerumputan.
"Calista..." gumamnya, buru-buru menghampiri. "Ngapain lo di sini? Ayo pergi sekarang." Ia meraih tangan Calista, bersiap menariknya.
Namun Calista menahan. Ia cepat-cepat memperlihatkan ponselnya yang tengah mengeluarkan sirene polisi.
Xavier tertegun, genggamannya terlepas. Ia terduduk di atas rumput, menatap Calista dengan wajah polos.
"Vier, ayo kabur! Polisi datang!" Alvaro berlari menghampiri mereka, napas terengah. Tapi langkahnya terhenti ketika telinganya menangkap suara itu. Alisnya berkerut, lalu matanya melirik ponsel Calista yang masih berbunyi. "Tunggu dulu... kok sirenenya dari sini?" Ia tercengang. "Jadi... semua ini ulah lo, bocil?"
Calista mengangguk penuh bangga. "Iya. Ide brilian Calista dong. Kalian pikir deh? mana bisa mobil polisi masuk ke sini?" ucapnya dengan tatapan sinis.
Alvaro terdiam, merasa bodoh sendiri. Sementara hanya Xavier menatapnya lekat. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya dengan nada serius.
"Nolongin kamu lah," jawab Calista mantap.
Xavier menyipitkan mata. "Tahu dari mana?"
"Alvaro."
Tatapan Xavier langsung menusuk ke arah Alvaro.
Alvaro membelalak. "Eh, sumpah Vier, gue nggak ngajak bocil ini!"
"Emang kamu nggak ngajak," sela Calista cepat. "Tapi aku yang ngikutin kamu."
Keduanya hanya bisa mendesah pasrah.
"Xavier sini. Kamu perlu diobatin." Calista mencoba garang, tapi ekspresinya malah terlihat lucu. Ia membantu Xavier bangkit perlahan.
"Calista, obatin aku juga dong. Kening gue berdarah nih," pinta Alvaro sambil meringis.
Belum sempat Calista menanggapi, Xavier langsung menimpali dengan tatapan dingin. "Gue aja yang obatin lo... gimana?"
Alvaro langsung terciut. Tanpa banyak bicara, ia kabur meninggalkan mereka berdua.
"Vier, kok gitu sih? Alvaro kan juga luka," protes Calista.
"Dia bisa sendiri."
"Ya udah, kamu juga bisa sendiri dong."
"Aduh... tangan gue sakit banget," keluh Xavier dengan nada sedikit dramatis. Calista tak tega melihatnya, ia pun buru-buru membantu Xavier berdiri lalu merangkul tubuhnya dengan sekuat tenaga.
"Lo sampai nggak masuk kelas gara-gara gue," ucap Xavier lirih sambil menatap Calista.
"B-Besok masih bisa belajar kok... tapi kalau nolongin kamu telat, terus kamu kenapa-kenapa, aku nggak bakal maafin diri sendiri," jawab Calista dengan suara bergetar. Tubuh mungilnya jelas kesusahan menopang Xavier, tapi ia tetap berusaha keras.
Xavier hanya bisa tersenyum tipis. Lagi-lagi, Calista selalu tahu cara membuatnya tersenyum meski di tengah rasa sakit.
Calista sebenarnya ingin mengajak Xavier ke UKS, tapi Xavier menolak keras. Ia malah menggiring Calista menuju warung kecil di belakang sekolah.
"Warung?" gumam Calista pelan, masih tak percaya ada warung tersembunyi di tempat seperti ini.
Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari balik warung. "Xavier, kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Tuti dengan raut cemas.
"Aku nggak apa-apa, Bu," jawab Xavier datar. Ia langsung duduk di salah satu bangku kayu, lalu memberi isyarat agar Calista ikut duduk di sampingnya.
Bu Tuti kemudian melirik Calista, wajahnya terlihat asing baginya. "Kamu murid baru, ya?"
"Iya, bu," sahut Calista sambil tersenyum tipis. "Ibu ada kota P3K? Saya mau obatin luka Xavier."
Bu Tuti mengangguk cepat. "Ada, Nak. Tunggu sebentar." Ia segera masuk ke dalam warung, lalu kembali dengan kotak P3K yang memang selalu ia sediakan untuk berjaga-jaga. "Nih, Nak." Bu Tuti menyerahkan kotak itu pada Calista.
Calista menerima kotak itu dengan hati-hati, lalu membuka isinya. Tangannya sempat bergetar saat membersihkan luka di tangan Xavier, takut menyakitinya lebih dalam.
"Aduh... pelan dikit, dong," keluh Xavier setengah bercanda.
Calista langsung menunduk, wajahnya memerah. "S-sorry... aku takut malah bikin sakit."
Xavier tersenyum tipis, memperhatikan keseriusan Calista. "Nggak apa-apa. Selama lo yang obatin, sakitnya berkurang."
Calista tertegun sejenak, lalu buru-buru menunduk lagi agar wajahnya tak ketahuan memerah. Ia fokus menempelkan plaster dengan hati-hati, seolah setiap gerakannya ada sesuatu yang penting.
Dari kejauhan, Bu Tuti memperhatikan mereka hanya bisa tersenyum. Ada rasa hangat terselip di hatinya melihat bagaimana gadis itu merawat Xavier dengan penuh ketulusan.
•○•
Suasana ruang guru siang itu terasa tegang. Xavier dan Calista duduk berdampingan dengan kepala menunduk. Di hadapan mereka, Ibu Mawar berdiri layaknya hakim dalam sebuah sidang. Bagi murid, 'Sidang Mawar' sudah terkenal sebagai tempat teguran keras bagi yang melanggar aturan.
"Kenapa kalian bolos?" suara Ibu Mawar terdengar tegas, membuat Calista semakin pucat.
Xavier hanya bersandar santai di kursi dengan wajah datar, seolah tak peduli tatapan tajam yang mengarah padanya.Sementara Calista melirik sekilas, khawatir sikap acuh Xavier malah memperburuk keadaan.
"Maaf, Bu..." ucap Calista pelan.
Tatapan Ibu Mawar segera beralih padanya. Lalu, ia menoleh pada Xavier. "Xavier, kenapa Calista ikut denganmu? Apa kamu yang mengajaknya bolos, hah?"
Calista buru-buru menggeleng. "Bukan, Bu! Xavier nggak ngajak Calista bolos. Calista sendiri yang mau."
"Jangan bela dia, Calista!" bentak Ibu Mawar, membuat Calista terperanjat.
Xavier akhirnya menoleh, menatap tajam dengan sorot dingin. "Tolong rendahkan suara Ibu. Jangan salahkan Calista. Ini memang salah saya."
Tatapan itu membuat Ibu Mawar sedikit terdiam. Baru kali ini ia melihat sendiri aura Xavier yang sering hanya terdengar lewat rumor.
"Saya menolong seseorang di belakang sekolah," ucap Xavier tenang. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, lalu memperlihatkan sebuah vidio.
Di layar, terlihat Xavier melerai sekumpulan preman yang sedang menggebuki seorang pria tua. Mata Ibu Mawar melebar ketika menyadari pria itu adalah ayahnya sendiri, yang memang sering mencari rumput di belakang sekolah untuk ternaknya
Xavier tersenyum miring melihat wajah terkejut sang guru. "Bagaimana, Bu?"
Wajah Ibu Mawar seketika berubah, dipenuhi rasa malu dan sesal. "Maafkan saya, Nak... Ibu salah menilai kalian berdua. Terima kasih, Xavier, sudah menolong ayah Ibu."
Xavier hanya menatap datar, tidak memberi respon lebih.
"Kalian boleh keluar," ujar Ibu Mawar akhirnya.
Begitu keluar dari ruang guru, Calista menoleh ke arah Xavier dengan wajah berbinar. "Xavier itu... pahlawan," ucapnya dengan bangga. Ternyata ia salah menilai—Xavier bukan sekedar berkelahi tanpa alasan.
Xavier tersenyum miring, lalu merangkul bahu Calista santai. "Hmm... sekarang kita ke taman. Gue punya sesuatu buat guru peri gue."
Calista yang masih di dalam rangkulan itu langsung salah tingkah. "I-iya..."
••
"Kamu nggak tidur semalam?" tanya Leo, matanya menangkap jelas lingkar hitam di bawah mata Bela–tanda ia benar-benar kelelahan.
Bela melirik sinis ke arah suaminya. "Ini semua gara-gara kamu."
Kening Leo berkerut. "Gara-gara aku? Emangnya aku ngapain?"
"Gara-gara permintaan kamu, punggungku jadi pegal." Bela mencari alasan, padahal sebenarnya semalam ia sibuk memikirkan keberadaan berkas penting yang hilang.
Leo hanya tersenyum kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah sang istri. "Maaf, sayang. Siapa suruh kamu terlalu hebat di atas ranjang," bisiknya nakal di telinga Bela.
Bela mendengus, pura-pura menjauh agar suaminya tak melihat keresahan yang sebenarnya.
jangan lupa Vote😭🫡🙏🥰