Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CAHAYA DI LERENG GUNUNG
Waktu seperti berhenti di sebuah titik di lereng Gunung Slamet. Embun turun setiap pagi menutup atap-atap rumah di Desa Gumalar, menyelimuti pepohonan bambu dan suara ayam jantan yang bersahut-sahutan dari kejauhan. Di desa itu, seorang perempuan bernama Sari hidup dengan tenang, tanpa kenangan masa lalu, tapi dengan cahaya yang lembut di matanya. Warga menyebutnya Mbak Sari, perempuan yang datang entah dari mana sepuluh tahun silam, diselamatkan dari tepi jurang setelah kecelakaan yang tak pernah terungkap siapa pelakunya.
Saat ditemukan, tubuhnya luka parah, pakaian robek penuh darah, tapi di tangannya ia menggenggam sesuatu: gantungan kecil berbentuk sayap. Tak ada yang tahu apa artinya. Ketika pertama kali siuman di rumah bidan desa, suaranya parau, hanya sempat menggumam, “Ret…” sebelum akhirnya pingsan lagi. Bidan itu mengira ia ingin menyebut nama Retno, tapi karena tidak yakin, ia menamai perempuan itu Sari Retnowati. Sejak hari itu, Sari memulai hidup baru, tanpa masa lalu, tanpa ingatan, hanya dengan keinginan untuk bertahan.
Rumah Sari berdiri di tepi sawah, dindingnya dari papan kayu, halamannya kecil dengan bunga kenanga tumbuh di pot tanah liat. Setiap pagi, ia menimba air dari sumur, menanak nasi di tungku, lalu berjalan ke kebun untuk membantu warga. Meskipun hidup sederhana, caranya berbicara, menulis, dan berhitung membuat semua orang tahu: perempuan ini bukan orang biasa. Ia cepat belajar, mampu mengajar anak-anak desa membaca, bahkan membantu pak kepala desa mencatat keuangan dusun. Anak-anak memanggilnya Bu Sari Guru. Kadang, saat malam tiba dan suara jangkrik menggema, Sari duduk di depan rumah sambil menatap bintang. Ada rasa aneh di dadanya, seperti rindu pada sesuatu yang tak bisa ia ingat.
“Kenapa, Bu?” tanya seorang anak laki-laki kecil berusia sembilan tahun yang duduk di sampingnya. Anak itu Lanang Damar Panuluh, anak yang lahir dari rahim Sari di tengah malam badai, di rumah bidan yang sama yang dulu menyelamatkan ibunya. Damar tumbuh dengan wajah teduh, mata tajam, dan kecerdasan yang membuat semua orang terheran. Sejak kecil ia gemar membongkar jam rusak, memperbaiki radio, bahkan membuat mainan dari logam bekas. Warga sering bilang, “Anak itu otaknya encer, seperti orang kota.”
Sari menoleh dan tersenyum. “Tidak apa-apa, Nak. Ibu cuma lihat bintang. Cantik, ya?”
“Iya, Bu. Tapi aku suka bingung, kenapa kalau aku lihat langit, aku pengin ke tempat tinggi… kayak ada yang manggil,” jawab Damar polos. Sari terdiam. Kata-kata itu seperti menusuk sesuatu yang dalam di hatinya. Ia tak tahu apa, tapi rasa itu begitu nyata. Ia membelai rambut anaknya, “Mungkin itu karena kamu ingin jadi orang tinggi cita-citanya, Nak. Bukan karena panggilan dari langit.”
Damar tersenyum kecil, tapi di matanya ada percik keingintahuan yang sulit dijelaskan. Anak itu sering bertanya tentang ayahnya. Kadang ia bertanya, “Ayah itu siapa, Bu?” dan Sari hanya menjawab lembut, “Ayahmu orang baik, Nak. Mungkin dia jauh, tapi suatu hari kamu akan bertemu.” Setelah itu, Damar tak bertanya lagi. Tapi di hatinya, ada ruang kosong yang terus menunggu untuk diisi.
Hari-hari di Desa Gumalar berjalan pelan tapi damai. Sari menjadi bagian dari kehidupan warga. Ia ikut menanam padi, mengajar anak-anak menulis di teras rumahnya, dan membantu ibu-ibu membuat kerajinan anyaman untuk dijual ke kota. Kecerdasannya membuat banyak orang menghormatinya. Namun, di balik wajah tenangnya, ada sesuatu yang tak pernah tenang di dalam dirinya. Kadang, saat sedang menimba air atau memandangi sawah, tiba-tiba muncul kilasan-kilasan aneh di kepalanya: suara seseorang memanggil “Retno…”, tangan laki-laki yang menggenggamnya, dan suara mesin mobil berlari kencang sebelum segalanya gelap.
Kilasan itu datang seperti mimpi buruk, lalu hilang. Ia sering terbangun dengan keringat dingin, memegang dada, menatap gantungan sayap kecil yang kini ia gantung di jendela rumah. Ia tak tahu dari mana benda itu berasal, tapi setiap kali memandangnya, hatinya bergetar. Ia hanya tahu, benda itu penting — entah mengapa.
Musim panen tiba. Desa Gumalar meriah dengan suara warga memotong padi. Damar ikut membantu membawa hasil panen ke lumbung. Anak itu tumbuh cepat, tubuhnya kuat, pikirannya tajam. Di sekolah dasar, ia selalu menjadi juara. Guru-gurunya sering datang ke rumah, memuji Sari atas didikannya. “Ibu Sari, anak Ibu luar biasa. Kalau dia terus belajar, bisa sampai kota besar. Dia cepat memahami pelajaran, bahkan kadang bantu saya menjelaskan ke teman-temannya.”
Sari hanya tersenyum. “Terima kasih, Bu. Tapi saya ingin dia tetap rendah hati. Di sini saja dulu, biar belajar jadi orang baik sebelum jadi orang pandai.”
Namun dalam diam, ia bangga. Damar bukan sekadar anak biasa. Ada sesuatu dalam dirinya — ketenangan, kepekaan, bahkan cara berbicara yang seperti orang dewasa. Kadang, saat Sari menatap wajah Damar, ia merasa seolah sedang memandangi masa lalu yang hilang. Ada bayangan seseorang di sana, samar tapi nyata. Mungkin ayahnya, mungkin bagian dari hidup yang tak bisa ia ingat.
Sore itu, setelah panen selesai, Sari duduk di pinggir sawah bersama Damar. Angin gunung berhembus lembut, membawa aroma jerami dan tanah basah. Langit mulai jingga, burung-burung pulang ke sarang.
“Bu, kalau aku besar nanti, aku pengin sekolah tinggi. Aku pengin bangun sekolah di sini biar anak-anak desa nggak usah ke kota,” ucap Damar tiba-tiba.
Sari menatapnya lama, matanya bergetar. Kata-kata itu seperti gema dari masa lalu yang tak ia tahu pernah diucapkan siapa. Ia menunduk, menahan air mata. “Doa Ibu, Nak, biar kamu bisa mewujudkannya.”
Damar mengangguk yakin. “Aku bakal bikin sekolah, Bu. Namanya… Yayasan Sari. Biar semua anak bisa belajar.”
Sari tersenyum, tapi hatinya bergetar kuat. Di dalam pikirannya yang samar, muncul bayangan lain — bukan sekolah desa, melainkan gedung tinggi dengan tulisan di dinding: “Kinasi Foundation.” Ia menggigil tanpa tahu kenapa. Nama itu terdengar akrab, tapi juga jauh.
Malam itu, langit Desa Gumalar cerah. Bulan penuh menggantung di atas gunung, menerangi rumah-rumah warga. Sari menidurkan Damar, lalu duduk di depan jendela, menatap gantungan sayap kecil itu lagi. Angin lembut meniup rambutnya. Entah karena pantulan bulan, atau karena hatinya, air matanya menetes pelan.
Ia berbisik lirih, “Kalau memang aku pernah punya hidup lain… semoga yang di sana juga bahagia.”
Sementara itu, jauh di Jakarta, seseorang menatap foto yang sama, menggenggam benda yang sama — gantungan sayap dari bahan perak — dan mengucapkan nama yang sama di bawah cahaya lampu malam.
“Retno…”
Dua dunia, dua waktu, dua jiwa yang sama-sama terluka oleh takdir, kini terpisah ratusan kilometer tapi diikat oleh doa yang tak pernah berhenti bergetar di antara bintang-bintang.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, Sari bermimpi. Dalam mimpinya, ada seorang laki-laki berseragam abu, berdiri di tepi danau dengan tangan terulur. Ia memanggil pelan, “Retno, pulanglah…”
Sari terbangun, napasnya tersengal. Air mata mengalir di pipinya tanpa alasan yang bisa ia mengerti. Ia memegang dadanya, menatap langit lewat jendela kecil rumahnya. Di luar, ayam mulai berkokok menandakan subuh segera tiba. Ia tahu, ada sesuatu di luar sana yang menunggunya — sesuatu yang suatu hari akan datang menjemput ingatannya kembali.
menarik