Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar yang menyakitkan dari Bandung
Sejak acara lamaran yang gagal itu, pikiran Eri jadi kacau. Bagaimana tidak kacau? Sekarang, Dea sedang mengandung anaknya, sedangkan Dea itu adiknya, meskipun adik beda ibu. Namun, menurut hukum agama, dia dan Dea adalah kakak beradik, dan itu haram untuk menikah. Lalu, bagaimana dia bisa bertanggung jawab pada Dea? Terus, bagaimana nasib Dea dan anaknya nanti?
Eri menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. "Maafkan kakak, Dek. Kakak tidak tahu bahwa kamu itu adalah adik kakak. Seandainya kakak tahu bahwa kamu adik kakak, tidak mungkin kakak melakukan hal itu padamu. Kita memang sama-sama tidak tahu, Dek. Hem, semua ini gara-gara laki-laki brengsek yang bernama Prasetyo itu. Kalau saja laki-laki bernama Prasetyo itu tidak selingkuh dengan wanita bernama Dinda, semua tidak mungkin terjadi."
Sumpah serapah kepada Pak Prasetyo terus-menerus dilontarkan oleh Eri dalam hati. Dulu, waktu dia tahu bahwa papanya selingkuh dengan wanita lain, dia sudah sangat membenci Pak Prasetyo, apalagi sekarang setelah kejadian bersama Dea. Eri semakin membenci Pak Prasetyo. Kebenciannya kepada Pak Prasetyo semakin memuncak bagai kawah gunung merapi yang sewaktu-waktu bisa meletus memuntahkan laharnya yang panas.
Selagi Eri berusaha meredam amarahnya kepada Pak Prasetyo, tiba-tiba handphonenya berbunyi, membuat Eri tersadar dari amukkan amarahnya. Dilihatnya di layar handphonenya nama Ryan. Setelah tahu bahwa yang menelponnya Ryan, buru-buru Eri mengangkatnya.
"Halo, Yan. Tumben kamu nelpon aku, ada apa?" tanyanya.
"Dea, Er..." Ucapan Ryan terhenti.
"Kenapa dengan Dea, Yan? Katakan, jangan membuat aku bertanya-tanya!" tanya Eri sedikit gusar karena dianggapnya Ryan bertele-tele dan tidak langsung pada intinya saja.
Mendengar nada ucapan Eri yang sedikit emosi, Ryan jadi tidak berani main-main. "Dea meninggal, Er. Dia ditemukan meninggal di dalam kamarnya, diduga minum pembersih kramik karena ditemukan botol pembersih kramik di kamarnya!" jelas Ryan sedikit gemetar.
"Ap..apa, Yan? De.. Dea bunuh diri minum pembersih kramik?" tanya Eri tergagap.
Terasa bagai petir di siang bolong mendengar kabar yang disampaikan Ryan. Mendengar kabar seperti itu, tanpa bicara apa-apa lagi, Eri langsung menutup teleponnya. Tubuhnya gemetar hebat. Butuh beberapa waktu untuk dia bisa menguasai diri. Setelah bisa menguasai dirinya, Eri meraih kunci motornya lalu keluar dari kamarnya menuju garasi. Tapi, saat sampai di ruang tengah, dia bertemu dengan Mbok Narsih yang sedang bersih-bersih di ruang tengah.
"Mas Eri mau ke mana?" tanya Mbok Narsih yang melihat Eri mau pergi.
"Aku mau ke Bandung, Mbok. Nanti kalau Mama menanyakan aku, jawab saja kalau aku pergi ke Bandung!" jelas Eri yang tampak tergesa-gesa.
"Tapi, Mas Eri ke Bandung ke tempat siapa?" Mbok Narsih mencoba bertanya ke tempat siapa bos mudanya itu pergi agar nanti kalau Bu Henny bertanya bisa menjawabnya.
"Jawab saja aku pergi ke tempat Ryan!" jawabnya singkat lalu berjalan menuju garasi dan tidak lama kemudian terdengar suara motor yang keluar meninggalkan rumah besar milik Bu Henny.
Mbok Narsih hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan bos mudanya itu.
Sementara itu, Eri yang bagai orang yang sedang kerasukan setan melajukan motornya tanpa memperdulikan apa pun. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana agar bisa secepatnya sampai di Bandung dan bisa melihat jenazah Dea.
Sementara itu di Jakarta, Bu Henny baru pulang dari kantor. Ia bingung karena tidak mendapati Eri di kamarnya, sedang handphonenya ada di kamarnya, tapi Erinya tidak ada. Memang sudah menjadi kebiasaan Bu Henny setiap pulang kerja, semenjak Eri memutuskan untuk izin tidak masuk kuliah untuk beberapa waktu dan kembali ke Jakarta, yang pertama kali dicari oleh Bu Henny adalah Eri. Bu Henny takut Eri akan melakukan hal-hal yang aneh-aneh sebab pikirannya saat ini sedang goncang sebab Dea, gadis yang mau dilamar, adiknya sendiri, meskipun beda ibu, tapi tetap tidak boleh dinikahi. Bu Henny takut karena itu Eri pikiran tidak kuat hingga melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.
Mendapati Eri tidak ada di kamarnya, Bu Henny lalu menemui Mbok Narsih yang tengah menyetrika baju di ruang tengah.
"Mbok Narsih tahu Eri pergi ke mana? Di kamarnya kok tidak ada?" tanya Bu Henny pada Mbok Narsih.
"Anu, Bu, tadi Mas Eri bilang kalau mau ke Bandung ke tempat Mas Ryan katanya!" jawab Mbok Narsih.
"Apa, Mbok? Ke Bandung ke tempat Ryan? Ada apa, Mbok?"
"Nggak tahu, Bu, Mas Eri pergi dengan tergesa-gesa tadi!" jelas Mbok Narsih sambil menata baju dalam tumpukan baju.
"Aku tidak bisa menelponnya karena handphonenya ketinggalan di kamarnya!" ucap Bu Henny lesu.
"Atau bagaimana kalau ibu telepon Mas Ryan saja, siapa tahu memang Mas Eri sudah janjian sama Mas Ryan!" saran Mbok Narsih.
"Benar juga saranmu, Mbok!" kata Bu Henny. Lalu Bu Henny menghubungi Ryan.
"Halo, Yan, ini Tante Henny, Tante cuma mau tanya!" kata Bu Henny ketika sudah tersambung dengan Ryan.
"O, iyaa, Tan, tanya soal apa, ya?" balas Ryan dari seberang telepon.
"Gini, Yan, kata Mbok Narsih, Eri pergi ke Bandung katanya mau ke tempatmu. Apa Eri sudah sampai di situ?"
"Apa.. Tan? Eri pergi ke sini? Sama siapa pergi ke sininya, Tan?" tanya Ryan khawatir. Ia sangat terkejut mendengar bahwa Eri ke Bandung. Pasti akan ke rumah Dea, pikirnya.
"Dia pergi sendirian ke sananya, malah handphonenya aja ketinggalan di kamarnya, jadi Tante nggak bisa menghubunginya!" jelas Bu Henny.
"Eri ke sini pasti akan melihat jenazah Dea, Tan!"
"Jenazah Dea, Yan? Dea meninggal? Memangnya Dea sakit apa, Yan, kok meninggal?"
"Dea bunuh diri minum pembersih kramik di kamarnya, Tan!"
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun!" ucap Bu Henny spontan. Hatinya terenyuh mendengar Dea bunuh diri. Gadis itu pasti pikirannya gelap, dia mengandung anaknya Eri, sedangkan Eri adalah kakaknya dan tidak mungkin bisa menikahinya, batin Bu Henny.
"Sebenarnya Tante pengen melayat ke sana, Yan, tapi kamu tahu sendiri, kan, bagaimana hubungan Tante dan kedua orang tua Dea. Tante nggak enak aja, Yan, jadi lebih baik Tante tidak usah ke sana saja, ya!" ucap Bu Henny sendu.
"Iya, Tan, nggak apa-apa, doakan saja agar Dea diampuni segala dosa-dosanya dan ditempatkan di tempat yang lebih baik di sisi-Nya."
"Iya, Yan, cuma Tante minta tolong kalau Eri datang ke tempatmu nanti, turuti saja apa kemauannya. Yang penting, kamu bujuk dia agar tidak berbuat yang tidak-tidak soalnya Tante tidak bisa menghubunginya, handphonenya ketinggalan di kamarnya!"
"Iya, Tante, saya akan berusaha menjaga Eri sebaik mungkin, saya akan berusaha menemukan Eri biar Tante tidak kepikiran Eri terus!" Kata Ryan berusaha menenangkan Bu Henny agar tidak cemas dan panik memikirkan Eri.
Percakapan di telepon pun berakhir, meskipun hati Bu Henny masih diliputi rasa khawatir akan keadaan Eri, tapi paling tidak ada Ryan yang akan mencari dan menjaga Eri.
***********