Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Obrolan di sore hari
Langit sore menyusup lembut lewat jendela besar, menciptakan semburat keemasan di atas meja marmer. Para pelayan bergerak tanpa suara, meletakkan teh melati, kue-kue kecil, dan buah segar. Aroma harum memenuhi ruangan.
Di kursi utama, Reani duduk tenang dengan gaun santai warna krem. Rambutnya digelung rapi, wajahnya memancarkan ketenangan dingin yang sudah menjadi ciri khas dua hari terakhir—sejak ia resmi diperkenalkan sebagai direktur baru Tekno Air.
Doroti menjatuhkan tubuh ke sofa dengan cangkir teh di tangan, sementara Arian duduk tegap, notebook tipis terbuka di pangkuannya.
“Baik,” Arian memulai, “kita bahas dulu soal sidang.”
Reani mengangguk pelan. “Tanggalnya sudah pasti?”
“Sudah,” sahut Arian. “Sepuluh hari lagi. Tuntutan penipuan pernikahan, pemalsuan dokumen, dan pencatatan palsu di buku nikah semuanya sudah disusun.”
Doroti tersenyum miring. “Aku masih nggak habis pikir Juna setega itu. Buku nikah palsu? Dan kamu hidup tujuh tahun pakai status bohongan begitu?”
Reani mengangkat alis sedikit. “Bukan aku yang bodoh, Do. Aku hanya… mengamati. Membiarkan seseorang menunjukkan warna asli mereka.”
Doroti mendecak kecil. “Dan dia menunjukkannya sampai akar-akarnya.”
Arian menambahkan sambil membaca catatannya, “Dengan bukti dari kantor urusan sipil, kesaksian notaris, serta pernyataan dari pengacara keluarga, posisi kita di sidang sangat kuat.”
Reani menyeruput tehnya santai. “Bagus. Aku ingin dia mengerti rasa kehilangan itu apa.”
Doroti dan Arian saling pandang—keduanya tahu itu bukan hanya soal kehilangan. Itu soal harga diri yang diinjak selama bertahun-tahun.
Arian menutup notebook. “Sekarang soal kursi direktur Tekno Air. Kamu benar-benar tidak ingin mendudukinya?”
Reani tersenyum kecil, senyum tenang yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
“Tidak. Aku tidak tertarik duduk di sana setiap hari. Perusahaan itu hanya alat untuk… mengingatkan seseorang bahwa posisinya bisa hilang kapan saja.”
Doroti tertawa pelan. “Kamu memang sadis, Yan. Cantik tapi sadis.”
Reani tak menanggapi. Ia hanya menatap cangkir tehnya yang berembun.
Arian melanjutkan, “Ayahmu merekomendasikan Zen untuk mewakilimu sebagai direktur utama. Latar belakangnya bersih, loyalitasnya tinggi, dan pengalaman pengelolaan bisnisnya cukup kuat.”
Reani mengangguk mantap. “Zen saja. Aku percaya pilihan Papa.”
Doroti mengangkat alis. “Kamu yakin? Tidak mau mengangkat orang baru atau manager senior lainnya?”
Reani menggeleng. “Tidak. Aku tidak berencana mengurus perusahaan itu. Dan…” ia meletakkan cangkir dengan perlahan, “aku tidak ingin melihat Juna setiap hari.”
Arian mengeluarkan hembusan napas pelan. “Dia menerima posisi manager pemasaran. Kupikir dia akan menolak.”
“Tadinya aku juga berpikir begitu,” sahut Reani dengan nada ringan namun menggigit. “Kukira harga dirinya tidak serendah itu.”
Doroti mencibir. “Dia berharap kamu balik sama dia. Itu alasan utamanya. Disuruh jadi office boy pun mungkin dia mau, kalau itu bisa bikin kamu melihat dia lagi.”
“Dan justru itu membuatku malas,” ucap Reani, nada suaranya lembut namun dingin. “Pria seperti itu… tidak layak kutemui setiap hari. Tidak layak duduk satu gedung denganku.”
Arian mencondongkan tubuh sedikit. “Lalu langkahmu selanjutnya?”
Reani menyandarkan tubuh. Tatapannya kosong, tapi ada api kecil yang sangat jelas di dalamnya.
“Sidang,” ucapnya pelan. “Dan membuat mereka tahu bahwa aku tidak pernah bercanda.”
Doroti mengangkat cangkir ke udara. “Untuk Juna—yang akhirnya merasakan balasan paling manis.”
Arian tertawa kecil. “Dan untuk Renata—yang pasti sedang stres mencari penyelamat.”
Reani hanya tersenyum. “Biarkan mereka berdua sibuk. Kita punya permainan lain yang lebih menarik.”
Pelayan menutup pintu perlahan setelah mengantarkan teh. Ruang duduk bergaya kolonial itu tenang, hanya terdengar denting halus porselen saat Doroti meletakkan cangkirnya.
Arian bersandar malas di sofa, kaki disilangkan, tapi matanya tak lepas dari Reani yang sedari tadi membaca ulang berkas sidang.
“Jadi, tanggal sidangnya fix minggu depan?” tanya Arian, nada suaranya datar tapi mengandung api kecil. “Kamu yakin mau membuka semua kebusukan dia di depan publik?”
Reani mengangguk pelan. “Ini bukan soal membuka semuanya atau tidak. Aku hanya ingin Juna merasakan sedikit dari apa yang dia lakukan.” Senyumnya tipis, dingin, tapi matanya memantul lembut oleh cahaya lampu gantung. “Kalau dia pikir buku nikah palsu itu cuma candaan… ya, biar hakim yang kasih tau bedanya.”
Doroti mencondongkan tubuh, suaranya lirih namun tajam. “Aku masih nggak habis pikir dia berani buat hal segila itu. Dia pikir kamu perempuan miskin yang lahir dari keluarga kampung?”
“Biarkan saja,” Reani mengangkat bahu santai. “Yang penting sekarang dia turun jadi manajer pemasaran. Kupikir dia bakal ngamuk atau resign. Eh—dia malah ambil posisi itu dengan patuh.” Ia menyeruput tehnya. “Makanya aku setuju Zen jadi direktur. Aku nggak ingin tiap hari lihat wajahnya di kantor.”
Arian tertawa kecil. “Kasihan banget. Jatuh dari kursi direktur palsu ke… manajer pemasaran mantan istri yang dia tipu. Hidup memang lucu.”
Reani tidak menanggapi, hanya mengelus permukaan cangkirnya dengan jari telunjuk. Ada sesuatu yang ditahannya, semacam hawa dingin bercampur kepuasan kecil.
Suasana santai itu terpotong ketika pintu terbuka. Sisilia masuk, anggun seperti biasa dengan blus sutra lembut dan tatapan tajam khas wanita yang tidak pernah kalah argumen.
“Halo semua,” ucapnya sambil tersenyum manis. “Tante harap tidak mengganggu kalian.”
Arian dan Doroti langsung berdiri, memberi hormat singkat.
Reani menoleh. “Mama nggak pernah mengganggu.”
Sisilia duduk di kursi sebelah Reani, menepuk tangan putrinya dengan lembut seperti hendak menenangkan badai yang belum muncul.
“Rea, Opa menanyakan sesuatu. Tepatnya… memastikan sesuatu.”
Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi putrinya. “Kamu siap bertemu dengan anak sulung keluarga Alfonso?”
Seketika ruangan terasa lebih kecil. Arian mengangkat alis, Doroti hampir tersedak udaranya sendiri.
Reani mengerjap pelan. Bukan terkejut—hanya seolah menarik napas panjang sebelum bertanya, dengan suara selembut pisau yang belum dipakai,
“Untuk urusan bisnis… atau perjodohan, Ma?”
Sisilia tersenyum samar, namun matanya menyiratkan sesuatu jauh lebih serius.
“Kata Opa… dua-duanya.”
Reani memutar cangkirnya pelan, seperti mencari jawaban di dasar teh.
“Ah… hmm, yah. Kurasa tidak ada salahnya,” katanya akhirnya, nada suaranya tenang tapi matanya menyiratkan perhitungan. “Tapi aku tidak menjanjikan apa pun, Ma.”
Sisilia mengangguk seakan sudah memprediksi jawaban itu.
“Ya, Mama mengerti. Tapi Opa mungkin tidak…” Ia menarik napas panjang. “Karena dia memang tunanganmu awalnya, Rea. Gerhana—tunangan yang kamu tinggalkan demi lelaki gila itu.”
Nama itu turun seperti suhu ruangan tiba-tiba turun lima derajat.
Doroti mengangkat tangan cepat-cepat, wajahnya serius.
“Ya demi Juna lelaki brengsek itu. Doroti juga setuju sih… tapi—” ia menoleh ke Reani, kemudian ke Sisilia, “Gerhana itu dingin, ngalahin kutub es. Kalau mau bicara sama dia, jangan lupa bawa selimut.”
Reani hampir tersenyum, tapi hanya separuh. Matanya berkedip lambat, mengingat sekilas bayangan seorang pria dengan tatapan gelap dan bahu selebar pintu.
Dan di samping mereka, Arian yang sejak tadi santai bersandar mendadak duduk lebih tegak.
Alisnya terangkat, suaranya nyaris tak terdengar tapi tetap tajam.
“Hmm… tunangan?”
Kata itu mengambang di udara, berat.
Arian tidak mengatakan apapun.
Hanya tatapannya yang menajam, seperti ujung belati yang baru saja diasah.
Reani menoleh, menangkap perubahan halus itu.
“Arian…” panggilnya, lembut tapi cukup untuk memotong ketegangan. “Itu dulu. Bertahun-tahun lalu.”
Arian tidak menjawab. Rahangnya mengencang, garis tipis muncul di sisi pipinya.
Doroti memandangnya, menahan senyum geli.
“Oh, jangan bilang kamu cemburu? Baru disebut tunangan lama langsung begitu? Tumben kamu nggak lempar meja.”
“Aku nggak cemburu,” bantah Arian cepat—terlalu cepat.
Sampai-sampai pelayan yang lewat hampir menahan tawa.
Sisilia tersenyum.
“Bagaimana pun juga, Opa ingin memastikan hubungan keluarga tetap kuat. Dia ingin kamu setidaknya bertemu Gerhana… dan menghormati janji lama.”
Reani menyandarkan punggungnya, mengembuskan napas perlahan.
Nada suaranya tetap stabil, tapi jemarinya mengetuk lengan kursi tanpa sadar.
“Baiklah. Kalau itu keinginan Opa… aku akan bertemu Gerhana.”
Arian menatap Reani lama, seakan dipenuhi sesuatu yang tidak ia ucapkan.
bersambung.....