Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Kamu papa mereka, Mas.
Langit sudah gelap ketika mobil Dirga berhenti di depan rumah dinasnya. Lampu-lampu jalanan menyala redup, menyisakan bayangan panjang di halaman depan. Ia turun, menarik napas panjang kelelahan dari keributan Blok Utara masih terasa.
Namun detik berikutnya, naluri prajuritnya langsung aktif. Pintu pagar kecil di sisi rumah setengah terbuka.
Dirga tahu pasti Anna tidak pernah meninggalkan pagar dalam keadaan tidak terkunci. Ia merapatkan rahangnya, tangannya otomatis meraih senjata yang terselip di pinggang. Pelan, ia mendorong pintu pagar itu.
Suara pagar besi terbuka, terdengar lantang di antara kesunyian malam. Dirga memasuki halaman secara hati-hati. Semua lampu rumah padam kecuali lampu ruang tamu yang temaram.
Hatinya langsung berdesir.
”Anna…” Dengan langkah cepat tapi senyap, ia masuk ke dalam rumah.
Ruang tamu rapi, tidak ada tanda perkelahian. Namun di atas meja ruang tamu, ia melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya menegang. Sebuah boneka kecil berwarna merah, bukan milik anak kembarnya, bukan pula milik panti. Boneka itu ditusuk jarum kecil di bagian dadanya. Di bawah boneka terdapat secarik kertas lusuh.
Dirga mengambilnya perlahan. Tangannya mengeras saat membaca tulisan yang tergores kasar,
“Keluargamu manis sekali, Kapten.”
“Sayang … tidak selamanya bisa kau lindungi.”
Dirga memandang boneka itu lagi. Jarum-jarumnya tertancap persis di bagian jantung. Matanya langsung memanas oleh amarah.
"Kurang ajar … dia sudah berani masuk wilayah pribadiku." Namun pikirannya langsung berlari menuju satu hal, Anna dan bayi-bayinya.
Dirga langsung berlari menuju koridor, mendekati kamar Anna. Pintu kamar itu terbuka sedikit. Dirga mendorongnya perlahan dengan jantung berdegup cepat.
Di dalam, Anna sedang duduk di tempat tidur sambil memeluk kedua bayinya.
Wajahnya ketakutan, matanya merah seolah baru menangis.
“Kapten…” suaranya lirih, bergetar.
“Ada … ada yang mengintip lewat jendela tadi…”
Dirga langsung mendekat, menatapnya penuh fokus.
“Tadi? Jam berapa?”
“Tidak lama setelah Kapten pergi,” jawab Anna pelan. “Aku kira angin … tapi bayangan itu besar. Aku takut … aku langsung memeluk anak-anak dan mengunci pintu.”
Dirga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras tajam.
“Seseorang meninggalkan ancaman di ruang tamu. Masuk ke halaman tanpa kau sadari.”
Wajah Anna makin pucat.
“Kapten … apa mereka ingin mengambil bayiku lagi…?”
Dirga langsung memegang kedua bahunya dengan kuat namun menenangkan.
“Tidak, tidak selama aku masih bernapas.”
Tatapan Dirga begitu serius, begitu gelap, dan begitu penuh janji.
“Mulai malam ini, aku tingkatkan penjagaan. Kau tidur di kamar ini saja, jangan keluar sampai aku bilang aman.” Anna mengangguk, tubuhnya masih gemetar. Dirga menatap bayi-bayinya yang tertidur, wajah kecil mereka begitu damai.
Saat Dirga hendak keluar kamar untuk memeriksa seluruh sudut rumah, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah benda kecil tergeletak di bawah jendela kamar,
Pecahan masker hitam, Dirga mengambilnya. Wajahnya langsung berubah. Itu masker yang sama dipakai provokator yang menantangnya di Blok Utara tadi. Dirga menatap gelap ke luar jendela.
“Dia mengikutiku … sampai ke rumah ini.”
Lampu kamar hanya dinyalakan setengah, membuat suasana terasa hangat dan tenang. Anna duduk bersandar di sandaran tempat tidur, kedua bayinya di pelukannya, bayi laki laki di kanan, bayi perempuan di kiri.
Dirga duduk di kursi dekat ranjang, masih mengenakan kaus hitam yang dipakainya setelah mengganti seragam. Tangannya terlipat, bersandar sambil mengawasi jendela yang sudah dibarikade. Tapi setiap kali Anna membetulkan selimut bayi, Dirga melirik. Setiap kali bayi itu menggeliat, Dirga menajamkan mata.
Pria itu benar-benar berjaga.
“Tidur saja, Kapten,” ujar Anna pelan, melihat lelah di wajah pria itu.
Dirga menggeleng tanpa menatapnya.
“Kalau aku tidur, siapa yang mengawasi kalian?”
Anna menunduk, tersentuh tetapi juga sedikit kikuk.
“Terima kasih….”
Hening sejenak, hanya suara napas si kembar. Lalu Anna membuka suara lagi, lirih, seolah takut mengganggu keheningan malam.
“Kapten … mereka sudah beberapa minggu, tapi aku belum sempat memberi nama.”
Dirga mengangkat kepala, melihat dua makhluk kecil di pelukan Anna dengan tatapan berbeda, hangat dan bangga yang ia sendiri belum pernah rasakan sebelumnya.
“Apa kau punya nama yang kau inginkan?” tanya Dirga, suaranya lembut untuk ukuran seorang komandan garis depan.
Anna menggigit bibir, matanya merendah.
“Saat mereka lahir … aku tidak sanggup memberi nama. Aku pikir … mereka tidak ada lagi di dunia ini.” Suaranya bergetar, tapi ia tetap mengelus kepala si kembar dengan lembut. “Sekarang aku bingung. Mereka pantas dapat nama yang indah.”
Dirga mengangguk, lalu mendekat, duduk di sisi ranjang.
“Kalau begitu … kita pikirkan bersama.”
Anna tertegun mendengarnya.
“Mereka anak kita, Anna.” lanjut kapten Dirga.
Kalimat itu membuat wajah Anna memanas dan dada bergetar. Dirga menatap bayi laki-laki itu dulu.
“Yang laki-laki ini…” Ia menyentuh perlahan jemari mungil anak itu.
“Dia mirip sekali denganku. Bahkan terlalu mirip.”
Anna hampir tertawa kecil meski matanya berkaca.
“Iya … aku juga baru sadar. Dia seperti Kapten tetapi versi mungil.”
Dirga tersenyum tipis, senyum yang jarang muncul.
“Aku ingin memberinya nama yang kuat.”
Lalu ia menatap Anna.
“Tapi aku ingin kau yang memilih dulu.” Anna memandang bayinya. Ia membuka bibir perlahan.
“Kalau laki-laki … bagaimana kalau namanya Alvaro?”
Ia menatap Dirga ragu.
“Artinya pelindung … penjaga.”
Dirga terdiam sejenak dan lalu ia tersenyum.
“Nama yang bagus, dan sangat cocok.”
Anna mengembuskan napas lega. Dirga beralih ke bayi perempuan.
“Kalau yang perempuan?”
Anna memandang bayi kecil itu, matanya begitu bening, bulu matanya panjang seperti Dirga.
“Aku … ingin memberi nama Almira.”
Ia tersenyum kecil. “Artinya putri yang bersinar….”
Dirga terdiam lama, tatapannya ke dua anak itu berubah menjadi tatapan seorang ayah yang tidak akan pernah mempertaruhkan anaknya untuk apa pun.
“Alvaro dan Almira,” Dirga mengulang pelan, seolah meneguk setiap suku kata.
“Kedengarannya sempurna.”
Anna hampir menangis mendengarnya. Lalu Dirga menambahkan dengan suara yang lebih rendah,
“Mereka bukan sekadar bayi … mereka darah daging kita. Anna, mulai malam ini … aku ingin mereka tumbuh dengan nama yang kita pilih bersama.”
Anna menunduk, tersenyum sambil menahan isak.
“Makasih, Kapten…”
Dirga menatapnya lama.
“Aku sudah bilang … di depan anak-anak kita, panggil saja aku Dirga.”
Pipi Anna langsung memanas. Alvaro menggeliat pelan dan Almira menguap kecil. Dirga spontan mengambil selimut dan membetulkannya dengan hati-hati.
Jam sudah lewat tengah malam ketika Anna akhirnya tertidur, kelelahan setelah menyusui kedua bayinya bergantian.
Lampu kamar diredupkan, hanya menyisakan cahaya kuning lembut dari lampu meja. Dirga duduk di kursi dekat tempat tidur, masih memantau situasi sejak kejadian sebelumnya.
Almira menggeliat di boks bayi, diikuti Alvaro yang mulai merengek. Dirga mendongak cepat.
“Eh … hey … jangan bangunin mama, ya,” ucapnya pelan seperti sedang menegosiasi dua bayi mungil yang rawan meledak.
"Oek ... Oek..."
Dirga terdiam, menatap dua bayi itu dengan tatapan panik paling lucu dalam sejarah hidupnya.
"Kalian serius?” bisiknya pelan. Ia mengusap wajahnya sendiri. Tak ada pilihan, dengan kehati-hatian seorang prajurit yang sedang memindahkan bom aktif, Dirga mengangkat Almira dulu.
“Kamu dulu ya, Nak … kamu yang mulai.”
Almira langsung mengerutkan wajah, menangis lebih keras.
“Tenang, ini Papa…” bisiknya ragu. Dirga berhenti mendadak. Kata itu keluar begitu saja.Ia memandang bayi mungil itu lama.
"Ini Papamu.”
Suaranya turun satu oktaf, penuh lembut yang jarang sekali muncul dari seorang Kapten. Dirga mulai menggendong Almira, tapi gerakannya kaku sekali, seperti robot baru belajar fungsi tangan.
“Ssst … jangan nangis. Kau mau keliling barak juga Papa bisa antar, tapi jangan sekarang…”
Almira sedikit tenang. Alvaro, di sisi lain, tidak terima diabaikan.
"Oek ... Oek..." satu lagi ikut menangis. Dirga melotot ke arah Alvaro.
“Kenapa tambah keras? Kau cemburu, ya?”
Ia mendekat ke boks sambil masih menggendong Almira.
“Tunggu sebentar, Nak. Papa cuma punya dua tangan.”
Dengan manuver luar biasa kaku, Dirga mengambil Alvaro menggunakan satu tangan. Sekarang dia menggendong dua bayi sekaligus. Dirga hampir kehilangan keseimbangan.
“Ya Tuhan … kalian kecil tapi berat juga, ya…”
“Papa kuat, kok … jangan lihat Papa kayak gitu.”
Ia bicara pada dua bayi itu seolah mereka mengerti. Beberapa detik bayi itu tidak menangis lagi.
Beberapa menit, hingga akhirnya keduanya tertidur di dada Dirga. Pria itu menatap mereka, matanya melunak.
“Cantik sekali kalian,” gumamnya pelan.
Ada sesuatu yang meluber di dadanya, perasaan yang bahkan tidak pernah ia rasakan selama hidupnya. Perasaan bahwa ia akhirnya memiliki rumah. Dengan hati-hati, Dirga meletakkan Almira ke boks, lalu Alvaro. Ia memperbaiki selimutnya, memastikan mereka hangat. Dan sebelum ia sadar, kedua telapak tangannya menyentuh kepala keduanya.
“Almira…”
“Alvaro…”
Ia menunduk sedikit, “Papa janji … akan menjaga kalian. Dengan seluruh hidup Papa.”
Suaranya bergetar, hal yang tidak pernah terjadi ketika ia memimpin pasukan atau menghadapi musuh. Tiba-tiba dari tempat tidur, terdengar suara lembut,
“Terima kasih … Mas Dirga.”
Dirga langsung menegakkan tubuh, kaget. Anna setengah terbangun, memandangi Dirga dengan mata lembut dan senyum tipis.
“Kamu … menidurkan mereka?”
Dirga menggaruk lehernya, canggung.
“Eh … iya. Mereka … minta ditemani.”
Ia berdehem. “Dan … mereka menangis.”
Anna tersenyum lebih hangat.
“Kamu terlihat natural, Mas.”
Dirga mengalihkan pandangan cepat‐cepat, pipinya memerah samar, hal langka yang hanya akan terjadi sekali dalam satu dekade.
“Aku cuma … belajar.”
Anna memandangnya lama, lalu berkata:
“Kamu Papa yang baik, Mas.”
Kalimat itu masuk ke dada Dirga seperti sesuatu yang ia tidak tahu ia butuhkan. Kalimat yang membuatnya tanpa sadar semakin ingin memiliki mereka semua, Anna dan si kembar secara utuh.
“Tidurlah,” kata Dirga akhirnya.
“Aku jaga kalian sini.”
Anna tersenyum tipis.
“Selamat malam … Mas Dirga.”
“Selamat malam, Anna.”
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕