Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 21
Jeane tertegun melihat moncong senapan itu terarah kepadanya. Sejenak ia terpaku di tempatnya. Tetapi ketika ke dua pria lainnya itu muncul di belakangnya, pria itu berubah sikap. Baltasar maju melangkah ke depan, menyuruh Jeane menunggu dan berbicara kepada pria yang membawa senapan itu.
"Siapa dia?" yanya Jeane pada Antonio yang berdiri di sampingnya. "Apa yang dia kerjakan di sini?"
"Ia seorang pengawal. Akan selalu ada seorang pengawal di depan pintu ini selama kau berada di sini."
"Siapa yang dilindungi?" tukas Jeane. "Apakah Baltasar takut kalau kalau aku mencuri sebilah pisau dan menyerangnya?" Jeane melihat kilat keheranan di mata Antonio ketika ia mengucapkan nama sang pemimpin. "Ia sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa namanya adalah Baltasar," Jeane menjelaskan dengan tenang.
"Memang itulah nama panggilannya di sini. Baltasar."
"Kau kelihatan terkejut." Jeane menantang dengan memiringkan kepalanya.
"Hanya heran saja bahwa kau bisa tahu namanya, mengingat kesulitan yang kau alami dengan kata 'mandi' tadi," Antonio berkata geli.
"Aku duga itu bukanlah namanya yang sesungguhnya seperti halnya dengan namamu."
"Ya, itu adalah nama yang diberikan kepadanya oleh para pengikutnya."
"Apa artinya?" Jeane memandang ke arah Baltasar. Seekor harimau kumbang, barangkali, pikir Jeane.
"Kukira itu artinya.........." Antonio mengerutkan dahi, berpikir sejenak. ".......... selalu dalam lindungan Tuhan."
"Siapakah namanya yang sesungguhnya?" Jeane bertanya, ingin mengetahui.
"Aku tidak tahu," Antonio melepaskan topinya, menyisir rambutnya dengan jari jari tangannya lalu memasang kembali topi itu rendah di atas dahinya. "Orang orang di sini tidak suka ditanya mengenai dirinya."
Pengawal itu mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan oleh Baltasar, tetapi matanya mengawasi Jeane dengan cermat. Jeane merasa bahwa dirinyalah yang menjadi bahan pembicaraan ke dua orang itu. Ia juga menyadari bahwa lagi lagi Antonio menghindar untuk memberikan jawaban langsung atas pertanyaannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang dikawal oleh orang itu? Diriku atau Baltasar?" tanya Jeane kepada pria Amerika itu.
"Hugo akan berada di sini, atau orang lain akan menggantikannya, dengan tugas jangan sampai kau memutuskan untuk berjalan jalan terlalu jauh," Antonio mengangkat kepala, memandang Jeane dari pinggiran topinya.
Jeane mengangkat kepalanya, memandang ke arah gunung gunung yang mengitari ngarai itu. "Aku bisa pergi ke mana?" tanyanya dengan suara getir.
"Tidak ada satupun tempat kau dapat pergi," Antonio menjawab. "Tetapi Baltasar menganggap kau bisa berbuat nekat untuk mencobanya."
"Lalu kau sendiri?" tantang Jeane.
"Kau lupa ya? Bukankah aku yang kecurian pisau? Ya," Antonio mengangguk. "Aku rasa kau akan melarikan diri, tetapi kami tidak akan memberikan kesempatan itu kepadamu."
Jeane menyadari bahwa dirinya kini benar benar sudah terperangkap. Penjaranya lengkap dengan dinding dinding, penjaga dan sipirnya. Cuma kurang jeruji jeruji besi pada jendelanya. Rasa frustrasinya makin menjadi jadi ketika ia menyadari bahwa itu baru permulaan belaka.
Menyelesaikan percakapannya dengan pengawal itu, Baltasar berbalik dan berjalan ke arah Antonio dan Jeane. Mata Jeane memancarkan sinar kemarahan ketika pria itu memberi isyarat kepadanya agar berjalan ke sebelah kiri gubuk itu. Secara berolok olok Antonio menyentuhkan tangan pada pinggiran topinya, lalu berjalan ke arah yang berlawanan.
"Kau tidak takut kalau berduaan saja denganku?" Jeane melontarkan kata kata itu kepada Baltasar. Dia tahu bahwa pria itu tidak mengerti sepatah katapun yang ia ucapkan, tetapi tetap diucapkannya juga sebagai pelampiasan amarahnya. "Kau tidak takut kalau aku melakukan sesuatu yang nekad, misalnya mencakar dan mencungkil matamu?"
Seperti seorang yang mengetahui betapa tidak berartinya ancaman Jeane, pria tidak mengedipkan mata sama sekali mendengar nada suara Jeane yang gemas. Dengan menggunakan gerakan tangan, ia menunjukkan jalan di bawah kerimbunan pohon di belakang gubuk itu. Tumbuh tumbuhan sub tropik menyembunyikan tempat sumber air itu.
Permukaan air itu berkilau kilauan terkena sinar matahari, terasa sejuk dang menggoda. Melihat air itu, Jeane seketika melupakan kemarahannya, melupakannya dalam luapan keinginan untuk segera membersihkan diri dari debu dan daki yang terkumpul selama dua hari terakhir.
Setelah meletakkan sabun dan handuk di tepi kolam sumber air itu, Jeane mulai melepaskan serape kotornya, tetapi tiba tiba ia teringat pada pria yang berdiri di belakangnya. Jeane memutar tubuhnya. Pria itu berdiri di situ, matanya yang hitam kelam itu mengawasinya, Menunggu.
"Apa kau tidak bisa berbalik, membelakangi aku?" Jeane membuat gerak berputar dengan tangannya.
Pria itu tidak berubah air mukanya, cuma berdiri memandang Jeane. Dengan dongkol Jeane tidak jadi melepas pakaiannya dan bertekad untuk tidak mau mengalah dalam adu pandang itu.
"Bano, mandilah," Baltasar berkata singkat, dan memberi isyarat ke arah air kolam itu.
"Aku tidak akan masuk ke dalam air kolam itu sebelum kau berbalik," jawab Jeane dengan ketus.
Baltasar melangkah ke arah sebuah pohon di dekatnya dan dengan malas malasan menyandarkan punggungnya pada pohon itu. Tetapi pandangan matanya tidak sekejap pun meninggalkan Jeane. Dengan bahasa Spanyol, tangan pria itu menunjuk ke arah kolam, lalu menunjuk ke belakang ke arah jalan yang mereka tempuh untuk datang ke tempat sumber air itu.
Jeane cuma menangkap kata bano dan casa. Yang terakhir itu ia ketahui artinya 'rumah'. Jeane berpikir kalau pria itu mau mengatakan kepadanya, jika ia tidak mandi, maka mereka harus kembali ke gubuk itu. Dengan darah mendidih, Jeane menyadari bahwa pilihannya hanyalah tetap dalam keadaan kotor penuh daki atau melepaskan pakaian selagi pria itu menyaksikannya.
Sambil berputar membelakangi pria itu, Jeane melepaskan serape nya dengan tangan yang gemetar. "Kalau kau berharap melihat sebuah pertunjukan dewasa, maka kau tidak akan mendapatkannya," Jeane berkata dengan geram. Sambil memegang bagian depan blusnya yang robek besar, Jeane berputar dan melemparkan serape itu ke wajah Baltasar yang menangkapnya dengan sebelah tangan.
Dengan duduk di atas tanah di tepi kolam itu, Jeane melepaskan sepatunya, kemudian turun ke kolam dengan masih berpakaian lengkap. Ia terkejut merasakan dinginnya air kolam itu, tetapi kini sudah tidak mungkin naik kembali ke daratan. Dengan setengah duduk dan setengah mengapung di air kolam yang dangkal itu, Jeane berendam hingga lehernya di dalam air, sambil melepaskan blus dan celana panjangnya, hingga tinggal hanya mengenakan celana dalam saja. Ia bergeser ke tepian, meletakkan celana dan blusnya, lalu tangannya meraih sabun yang tadi dia letakkan di atas handuknya. Air itu terlalu dingin bagi Jeane untuk bersyukur karena berhasil menghalau niat jahat Baltasar yang mau memperoleh tontonan istimewa itu. Jeane mulai menggosok badannya dengan sabun, menghalau debu dan daki dari badannya, yang kemudian tampak mengapung pergi di atas permukaan air.
Setelah selesai mencuci rambutnya, Jeane merasa kaki dan tangannya sudah mati rasa karena suhu dingin air kolam itu, sehingga ia agak kesulitan untuk meraih handuk. Handuk itu kemudian dibentangkannya di depan tubuhnya sambil merangkak naik ke tepi kolam dan dengan cepat membungkus diri dengan handuk itu.
Sepintas Jeane melemparkan pandang pada Baltasar. Bahu pria itu masih tetap bersandar pada batang pohon dan matanya yang hitam misterius itu masih tetap mengawasinya. Sambil menggigil kedinginan, Jeane mencuci blus dan celana panjangnya. Sekalipun ia menginginkan pakaian bersih dan kering, tapi ia harus menerima apa adanya yaitu pakaian bersih dan basah...........
Dengan tetap membelakangi Baltasar, Jeane mengenakan celana panjang basah itu tanpa melepaskan handuk yang melilit tubuhnya. Blus nya juga sudah kehilangan semua kancingnya, sehingga Jeane terpaksa merapatkan blus itu dengan mengikatkan ujung ujung bagian depan blus itu satu sama lain. Potongan leher yang rendah memperlihatkan belahan dadanya, sementara kain basah yang menempel itu memperlihatkan setiap lekuk dan lengkung tubuh bagian atasnya. Blus itu benar benar tidak berguna sebagai penutup tubuhnya. Tapi Jeane enggan mengenakan lagi serape kotor itu pada badannya.
Dengan handuk membalut kepalanya, Jeane berputar menghadap Baltasar dan dengan sekuat tenaga menahan rasa dingin pada tubuhnya. Pria itu dengan santai mengucapkan sesuatu dalam bahasa Spanyol dan mengarahkan pandangannya pada sepatu Jeane. Jeane merasakan tatapan mata pria dan menyadari betapa banyak yang dipamerkan dari tubuhnya selagi ia berdiri seperti itu. Cepat cepat ia berputar dan memaksa masuk kakinya ke dalam sepatunya.
Tanpa berbicara satu sama lain, mereka berjalan kembali ke gubuk itu. Pengawal yang berjaga itu dengan keheranan melihat keadaan Jeane yang basah dan menggigil, tetapi yang diperhatikan tidak menghiraukan pandangan pengawal itu karena rasa dingin yang amat sangat itu. Tanpa menunggu Baltasar memerintahkan, Jeane dengan setengah berlari menuju kamar yang diperuntukkan sebagai kurungannya. Begitu tiba di dalam kamar, Jeane mulai bersin bersin. Baltasar menghilang dari lubang pintu kamar itu.
"Mengapa kau?" Takut ketularan masuk angin?" Jeane mengejar dengan nada menantang.
Setelah melepaskan sepatunya yang basah, Jeane berjalan ke ranjang untuk mencari kehangatan dengan membungkus dirinya dengan selimut tebal di atas ranjang itu. Tapi Baltasar muncul lagi, membawa sepotong kemeja pria yang kemudian diberikannya kepada Jeane sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol.
Jeane menerima kemeja itu. "Gracias, terima kasih," Jeane meragukan bahwa perbuatan pria itu didorong oleh keinginan lain selain karena enggan harus menanggung seorang wanita yang lagi sakit sebagai beban.
"Por nada, terima kasih kembali," jawab Baltasar singkat lalu meninggalkan kamar itu.
Jeane cepat cepat melepaskan pakaiannya yang basah dan mengenakan kemeja kering dan hangat itu. jari jari tangannya yang gemetar itu baru saja selesai mengancingkan kancing terakhir ketika Blatasar muncul lagi. Mata pria itu menyapu tubuh Jeane dari kepala yang berbungkus handuk itu hingga kakinya yang telanjang, berlama lama pada kakinya yang indah itu. Bagian bawah kemeja itu hanya sampai pada pertengahan paha Jeane.
Baltasar tidak berkata apa apa ketika ia melemparkan sebuah sisir ke atas ranjang dan memungut pakaian basah Jeane yang teronggok di lantai serta membawanya ke luar kamar. Jeane hendak memprotes, tetapi dia menyadari bahwa percuma saja ia melakukan hal itu, maka mulailah ia menyisir rambutnya.
Ranjang itu tampak sangat menggoda. Jeane menyelusup ke bawah selimut, kainnya terasa kasar pada kulitnya, tetapi ia memperoleh kehangatan sehingga sesaat kemudian ia sudah tertidur dengan nyenyaknya.