Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Perkelahian di sekolah Aeris
"Lin, file naskahnya sudah aku kirim. Tolong segera diperiksa dan beri masukan secepat mungkin, ya."
"Oh, satu hal lagi. Penulisnya merasa buntu menentukan akhir ceritanya. Dia secara khusus minta bantuan kamu untuk menyelesaikannya."
"Baik," sahut Alina pendek. Ia masih terpaku pada layar laptopnya, jemarinya tak berhenti bekerja.
Tak lama kemudian, pria itu pun beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Drttt!!
Getar ponsel di atas meja memecah konsentrasi Alina. Ia melirik sekilas dan mendapati nama Leon di sana. Sambil tetap mengetik, ia menjepit ponsel itu di antara telinga dan bahunya.
"Ada apa, Leon?"
"Alina... apa tadi Mama datang ke rumahmu?" tanya Leon dengan nada yang terdengar sangat cemas.
Jari-jari Alina berhenti bergerak. Ia menghela napas panjang. "Iya, beliau datang pagi-pagi dan langsung labrak aku."
"Aku mohon, abaikan aja semua ucapannya. Kamu tetap kekasihku, apa pun yang terjadi."
Alina terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tapi kepalaku masih terasa sakit karena Mamamu menjambaknya keras, Leon. Aeris yang melihat itu nggak terima dan langsung nyiram Mama kamu dengan air. Beliau makin murka sampai akhirnya memukul putraku."
Di ujung telepon, Leon menggeram menahan amarah. Ia baru menyadari alasan ibunya pergi terburu-buru pagi tadi.
"Aku hanya ingin kamu tahu. Tapi tolong, jangan katakan pada Mama kalau aku menceritakan kejadian ini," pinta Alina cepat.
"Nggak," tegas Leon. "Aku nggak bisa diam aja kali ini. Jika Mama kembali berani menyakiti kalian, aku sendiri yang akan menghadapinya."
"Bahkan jika harus... kita pergi saja dari sini, kawin lari dan memulai hidup baru jauh dari kota ini."
Alina mematung mendengar tawaran itu.
"Leon... bagaimanapun juga, dia adalah ib kamu. Jangan punya pikiran senekat itu," tegur Alina lembut. "Sudah, jangan dibahas lagi sekarang."
"Kamu masih di kantor?"
"Masih."
"Mau aku jemput buat makan siang?"
"Tempat kerjaku lumayan jauh, Leon."
"Nggak masalah, aku akan ke sana," ujar Leon meyakinkan.
"Ya sudah... sampai bertemu nanti," tutup Alina.
Ia meletakkan ponselnya kembali ke meja.
Sambil menyandarkan punggung ke kursi, Alina menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Dua tahun menjalin kasih dengan Leon, ia sadar bahwa hatinya belum sepenuhnya ia berikan.
Alina sudah sering meminta Leon untuk menyerah, mengingatkan bahwa restu tak akan pernah mereka genggam. Namun, Leon selalu teguh pada pendiriannya.
"Restu itu bisa diperjuangkan, Lin," begitu kata-kata Leon yang selalu diingatnya.
Alina tahu Leon adalah pria yang sangat baik, bahkan terlalu baik hingga sulit baginya untuk bersikap tega. Namun, bayangan tentang keluarganya, tentang Aeris, dan tentang sosok di masa lalu selalu menghantuinya.
"Sudahlah, jangan diingat lagi," gumamnya mengusir bayangan masa lalu itu.
•
•
Sementara itu di sekolah Aeris....
"Mau coba tidak? Hari ini Mama sama Papa masak menu spesial buat aku," ajak Tya, gadis kecil berkepang dua itu dengan riang.
Aeris menoleh. "Masak apa?"
"Nugget dan kentang goreng!"
"Boleh... aku minta nugget-nya satu saja."
"Ambil saja!"
BRAK!!
Sebelum tangan Aeris menyentuh makanan itu, kotak bekal Tya sudah terlempar ke tanah.
"Tya! Udah aku dibilang jangan beri makanan pada Aeris!" bentak Rio tiba-tiba.
Tya tertegun, matanya mulai berkaca-kaca melihat makanannya kini kotor berserakan di tanah.
"Udah dilarang, masih saja membangkang!" lanjut Rio ketus.
Tangis Tya pun pecah seketika. Aeris, yang memang tidak suka melihat anak perempuan disakiti, langsung maju dan mendorong Rio dengan penuh emosi.
"Dasar Rio jahat!" seru Aeris. "Kenapa kamu ganggu Tya?! Kamu cemburu ya karena Tya lebih baik sama aku daripada kamu?!"
Rio mendengus dan membalas dorongan Aeris. "Tya itu cuma boleh berteman sama aku!" teriaknya.
"Kata Mamaku... kamu itu anak haram! Kamu nggak punya Papa!"
Mendengar hinaan itu, amarah Aeris memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia memungut batu kerikil dan melemparkannya ke arah Rio dengan sekuat tenaga.
"Jika dihina jangan dimasukkan ke hati, tapi ambil saja batu," begitulah prinsip yang terlintas di kepala Aeris saat itu.
“Aaaaaaa!!”
Rio menjerit histeris sambil memegangi dahinya yang kini benjol. Teriakan itu mengundang para guru untuk datang berlari.
"Rio! Tya! Ada apa ini?" tanya Miss Irsa panik.
"Ya Tuhan, dahi kamu kenapa, Rio?"
Sambil terisak, Rio menunjuk ke arah Aeris yang berdiri mematung dengan tatapan mata yang masih tajam. "Aeris... dia melempar Rio pakai batu..."
"Bu Guru... Rio yang salah duluan. Dia menghina Aeris," bela Tya sambil terisak di pelukan Miss Oliv.
"Rio juga lempar bekal Tya padahal Tya cuma mau berbagi."
Belum sempat guru-guru menenangkan keadaan, sebuah suara lantang terdengar dari gerbang.
"Ada keributan apa ini?"
"Mama!!" Rio langsung lari menghampiri Widya yang baru saja tiba.
Wajah Widya berubah drastis saat melihat luka di dahi putranya. Matanya langsung menyala penuh amarah.
"Aeris, Ma... dia yang buat luka ini!" adu Rio.
Widya tanpa ragu melangkah lebar ke arah Aeris dan mencengkeram lengan bocah itu dengan kasar.
"Aeris!!! Berani sekali kamu menyakiti anak saya!"
"Bu Widya!" Miss Irsa segera melerai. "Tolong tenang, jangan gunakan kekerasan. Kita bicarakan ini baik-baik."
"Anak ini memang tidak tahu aturan!!" bentak Widya. "Sudah sering dia berbuat kasar pada teman-temannya!"
"Kenapa kalian masih mempertahankan anak haram seperti dia di sekolah ini?! Harusnya dia sudah dikeluarkan!"
"Bu... tolong jaga lisan Anda, ada anak-anak di sini," tegur Miss Oliv dengan nada tegas.
Aeris hanya terdiam, mengepalkan tangan kuat-kuat sambil menahan emosinya.
"Kita dengar dulu penjelasan dari kedua belah pihak," ujar Miss Oliv mencoba adil.
"Nggak perlu!" potong Widya keras. "Kesabaran saya sudah habis! Jika anak ini nggak
dikeluarkan hari ini juga, jangan harap suami saya akan memberikan donasi lagi untuk sekolah ini!"
Miss Irsa dan Miss Oliv saling pandang, merasa tertekan.
Miss Irsa kemudian berlutut di depan Aeris.
"Aeris, coba beritahu Miss... kenapa kamu sampai melempar batu ke Rio?"
Dengan suara yang bergetar namun tegas, Aeris menjawab, "Miss... Rio menyebut Aeris anak haram. Aeris marah, jadi Aeris lempar batu."
"Bohong, Ma!!" sahut Rio cepat dari pelukan ibunya. "Aeris cuma iri karena aku punya Papa sedangkan dia nggak!"
"Saya lebih percaya anak saya sendiri!" tegas Widya. "Rio nggak mungkin berbohong."
"Tapi... Rio juga nakal, dia lempar bekal Tya..." bela Tya lagi dengan suara lirih.
Widya tetap keras kepala. "Cukup! Saya mau anak ini dikeluarkan sekarang juga! Atau seluruh dukungan dana dari keluarga kami akan saya tarik!"