Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan-jalan
Pagi hingga siang hari Nara dan Vian hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar hotel, mereka melakukan aktivitas ringan seperti menonton televisi, berbincang, bermain ponsel dan lain sebagainya. Hingga sore telah tiba, Nara yang merasa bosan meminta Vian untuk menemaninya pergi keluar. Nara berniat mengajak Vian untuk jalan-jalan di sekitar hotel tempat mereka menginap. Awalnya Vian menolak karena kondisi Nara yang masih tidak nyaman akibat semala, namun Nara bersikeras jika ia akan baik-baik saja. Vian pun hanya mengangguk dan menuruti permintaan gadis yang kini sudah menghabiskan malam pertama dengannya.
Beberapa hotel menyediakan layanan sewa mobil untuk tamu, baik per jam, per hari, atau untuk periode tertentu. Layanan ini bisa digunakan untuk tamu yang ingin jalan-jalan atau keperluan bisnis. Dan salah satu hotel yang menyediakan layanan tersebut adalah hotel yang saat ini Vian tempati. Laki-laki itu segera menyewa mobil serta seorang sopir untuk mengantarkannya berkeliling.
Nara baru sadar jika hotel yang mereka gunakan untuk menginap sangat dekat dengan tempat destinasi wisata di Yogyakarta yakni Malioboro sehingga gadis itu memutuskan jalan-jalan kali ini mereka akan pergi ke sana.
Mobil yang mereka tumpangi sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sopir itu menurunkan Vian dan Nara tepat di ujung jalan masuk Jalan Malioboro. Sementara itu sang sopir pergi untuk memarkirkan mobilnya, tidak lupa Vian juga menyerahkan sejumlah uang untuk sopir itu gunakan sekedar ngopi atau membeli makanan selama menunggu mereka.
Sebuah tiang bertuliskan Jln Malioboro di ujung jalan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang. Mereka bergantian untuk mengambil foto di sana.
"Apa kau juga mau berfoto di sini Nara?", tanya Vian saat melihat istrinya itu menatap orang-orang yang mengantri, bergantian berfoto di tiang tersebut.
"Aku sudah pernah Mas, tetapi bagaimana jika kita berfoto berdua?".
"Baiklah".
Nara tersenyum senang, gadis itu dengan sabar menunggu gilirannya. Tepat saat tiba waktunya dia meminta tolong pada salah satu pengunjung yang juga ikut mengantri untuk memfoto mereka berdua. Dua tiga gaya mereka lakukan, dari mulai berdiri berjejer dengan tangan Vian yang memeluk pinggang Nara, lalu bergaya asal sesuai selera mereka. Setelah saling bergantian memfoto dan mengucapkan terimakasih, keduanya melanjutkan perjalanan mereka.
Sesaat mata Vian menangkap seorang pria berseragam hitam yang mencurigakan namun Vian masih mengabaikannya dan terus melanjutkan perjalanan mereka melihat-lihat sekitar area tersebut. Jika dulu banyak para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya di emperan toko, kini jalan terlihat bersih karena pedagang kaki lima di buatkan tempat sendiri sehingga membuat para pejalan kaki merasakan nyaman dengan jalan yang bersih dan lebih luas.
Nara terus menceritakan apa yang ia ketahui tentang tempat ini di mana saat itu Nara bersama dengan teman-temannya beberapa kali mengunjungi tempat ini. Namun suasana yang dulu dengan sekarang sangat berbeda, banyak renovasi besar-besaran yang telah selesai lakukan.
"Belum namanya ke Malioboro jika kita belum masuk ke sana Mas", ucap Nara sembari menunjuk sebuah tempat di mana banyak orang terlihat memasukinya.
"Pasar Beringharjo", gumam Vian saat membaca nama yang tertera di atas bangunan tersebut. Dengan semangat Nara menggandeng tangan Vian untuk masuk ke dalam.
Dari mulai Nara melangkahkan kakinya masuk seruan para pedagang sudah berteriak mempromosikan dagangan mereka dengan segala upaya. Mulai dari menyapa dan memanggil-manggilnya hingga berteriak menyebutkan satu per satu barangnya ke setiap orang yang melewatinya. Tidak sedikit para pengunjung yang tertarik dan membelinya namun ada sebagian pula pengunjung yang hanya sebatas melihat-lihat lantas pergi begitu saja.
Nara tertarik pada seorang Bapak-bapak yang menjual pakaian ruamahan yakni sebuah daster. Bapak tersebut sudah tua namun semangatnya menawarkan dagangannya tidak kalah dengan pedagang muda lainnya.
"Monggo-monggo silahkan di lihat-lihat dulu, di pilih-pilih", ucap pedagang daster itu terlihat begitu senang saat nara dan Vian mendekat. "Cari apa Mbak Mas?", imbuhnya.
"Dastere pinten niki Pak?", tanya Nara sembari memegang sebuah daster yang tergantung, ia mulai menggunakan bahasa Jawa untuk menunjukkan bahwa dirinya hanya warga lokal sehingga pedagang tersebut memberikan harga yang wajar tanpa harus tawar menawar.
"Walah wong Jowo to, tiang pundi Mbak?".
"Patuk, Gunung Kidul Pak".
"Woalah, nggeh enggeh".
Setelah berbasa-basi, pedagang tersebut memberikan harga pada barang dagangan yang Aya ingin ketahui.
Dua kantong besar sudah di tangan, Nara dan Vian berjalan keluar dari pasar itu. Nara memang memperlihatkan wajah cerianya namun sesekali perempuan itu mendesis dan berjalan lebih pelan.
"Apa kamu lelah Nara?".
"Tidak Mas, aku baik-baik saja kok".
Tentu saja Vian tahu jika Nara tengah berbohong, ia pasti masih merasa tidak nyaman. Laki-laki itu lantas mengajak Nara untuk istirahat dulu di sebuah kursi kosong yang memang sudah di sediakan sebagai fasilitas umum yang bisa di gunakan untuk pengunjung.
"Apa kamu mau pulang?".
"Eh tidak, jangan pulang dulu Mas. Sayang kan, aku sudah lama sekali tidak kemari".
Vian mengangguk, laki-laki itu menghentikan seorang pedagang air mineral botolan dan membelinya.
"Kembaliannya Mas, silahkan", ucap pedagang itu saat memberikan uang kembalian untuk Vian, namun laki-laki itu menolak dan mengatakan jika uang kembaliannya untuknya saja. Pedagang itu tersenyum senang dan mengatakan terimakasih berkali-kali, setelahnya pamit untuk melanjutkan jualannya lagi.
"Minum dulu Nar". Vian menyodorkan btolair mineralyang sudah ia buka itu untuk Nara,
"Terimakasih ya Mas".
Nara melihat-lihat sekitar, pandangannya terhenti saat ia melihat andong yang baru saja berhenti menurunkan penumpang di tempat yang tidak jauh dari tempatnya saat ini.
"Mas bagaimana jika kita naik andong, kita masih bisa berkeliling dengan itu", ucap Nara sembari menunjuknya.
Vian yang mengikuti arah tunjuk Nara hanya bisa menurutinya, selama istrinya merasa senang ia akan menyanggupinya. Dengan menggandeng tangan Nara, keduanya berjalan menuju andong tersebut.
"Permisi Pak, kami ingin naik andongnya", ucap Vian.
"Mari Mas, silahkan".
Sebelum naik, kusir andong itu lebih dulu memberitahu tarif serta rute yang akan di lalui. Kusir andong itu memberikan tarif yang cukup tinggi, Vian pun menyetujuinya, namun dengan cepat Nara menolak. Nara mengambil alih uang yang sudah di keluarkan oleh Vian dari dalam dompetnya.
"Aku iku wong kene Lo Pak, mosok Iyo regone nuthuk gede banget", ucap Nara dengan bahasa Jawa yang membuat Vian hanya menatapnya bingung karena tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh istrinya.
Sopir andong itu meringis, terlihat sedikit tidak percaya. Namun Nara yang memang pandai menawar, akhirnya setelah tawar menawar keduanya mendapatkan kesepakatan harga yang mereka sepakati. Nara menyerahkan kembali separuh uang milik Vian yang sebelumnya di ambil oleh Nara sebelum uang itu sampai ke tangan kusir andong.
Perjalanan santai melewati jalanan Malioboro di mulai, adapun rute yang di tawarkan kusir andong yaitu dari malioboro melewati titik Nol kilometer lanjut mampir ke keraton dan pusat oleh-oleh bakpia. Kusir andong itu cukup ramah, sembari berjalan kusir itu sesekali menjelaskan tentang daerah Malioboro dan jalan yang mereka lewati.
Sudah selesai berkeliling dengan andong, kini Nara dan Vian memilih istirahat di sebuah tempat makan yang menjual berbagai menu yang cukup lengkap.
Sembari menunggu pesanan tiba Nara memeriksa barang belanjaannya, tidak banyak yang ia beli hanya beberapa daster dan juga oleh-oleh bakpia yang nantinya akan ia bagikan kepada sanak saudara di rumah. Nara menoleh kepada Vian yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya bahkan saat Nara mengajaknya bicara hanya di respon secara singkat dengan jawaban ya dan ya.
Sesaat kemudian seorang pelayan mengantarkan makanan mereka, dua mangkok soto, satu piring gorengan serta dua gelas teh panas tertata di atas meja.
"Mas, makan dulu yuk keburu sotonya dingin", ucap Nara sembari menyentuh tangan suaminya.
Vian lantas mengangguk, meletakkan ponselnya dan mulai memakan makanannya. Lagi dan lagi, ponsel Vian kembali berbunyi, dengan segera ia melihatnya. Laki-laki itu kembali sibuk dengan benda pipih tersebut.
Nara menghela nafasnya. "Sibuk sekali, berbalas pesan dengan siapa sebenarnya Mas Vian itu?", batinnya. Tak ingin mengambil pusing, gadis itu memilih meneruskan memakan makanannya dengan lahap tanpa menunggu Vian..
Sesampainya di hotel, tak banyak yang mereka lakukan, hanya membersihkan badan kemudian keduanya tidur lelap tanpa melakukan aktivitas suami istri seperti kemarin malam.
Malam itu, mereka tidur dengan damai, lelah setelah berkeliling Malioboro sepanjang hari. Mereka berdua terlelap dalam tidur yang nyenyak, tanpa terganggu oleh apa pun.