NovelToon NovelToon
Perjalanan Mengubah Nasib

Perjalanan Mengubah Nasib

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / CEO
Popularitas:437
Nilai: 5
Nama Author: clara_yang

Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Pagi itu terasa berbeda.

Keyla tidak tahu apakah itu karena matahari yang tampak lebih cerah, atau karena hari sebelumnya Kenny menunjukkan sisi dirinya yang tidak pernah ia lihat selama dua kehidupan.

Sebuah sisi yang… manusiawi.

Bukan dingin.

Bukan tak peduli.

Bukan sepenuhnya jauh.

Ada sesuatu yang berubah.

Sedikit.

Tapi nyata.

Keyla menatap dirinya di cermin, mengusap lembut bagian bawah mata yang sedikit membengkak karena tidur larut. Semalam ia lama terjaga, memikirkan kata-kata Kenny di restoran:

“Aku tidak ingin terlambat lagi.”

Kalimat itu menggaung sepanjang malam. Bukan karena romantis—tetapi karena ia tahu betul apa makna “terlambat” bagi Kenny di kehidupan sebelumnya.

Kenny selalu datang terlambat.

Terlambat melihat sakitnya.

Terlambat menyadari keberadaannya.

Terlambat untuk merasa peduli.

Terlambat, sampai Keyla benar-benar mati.

Sekarang… ia berbicara seolah takut mengulang kesalahan yang sama.

Keyla menyentuh kaca cermin, jemarinya bergetar.

“Jangan terlalu percaya, Keyla,” bisiknya pada diri sendiri. “Tidak sekarang.”

Ia merapikan rambut, mengenakan cardigan lembut warna krem, lalu turun ke bawah.

Ibunya sudah menyiapkan roti panggang dan teh hangat.

“Ke mana hari ini?” tanya sang ibu sambil tersenyum penuh arti.

“Jalan sebentar,” jawab Keyla pendek.

“Tapi Kenny akan menjemput, kan?”

Keyla menghela napas. “Iya, Bu.”

Ibunya tersenyum terlalu bahagia — hingga membuat dada Keyla sedikit perih. Ada bagian dalam dirinya yang ingin membiarkan ibunya berharap. Tapi ada bagian lain yang masih takut disakiti.

Sebelum ia sempat mencicipi sarapan, suara klakson pendek terdengar dari luar.

Ibunya tersenyum semakin lebar. “Itu pasti Kenny.”

Keyla menutup muka dengan tangan. “Astaga… dia bahkan nggak nunggu jam tujuh.”

Ibunya tertawa kecil. “Mungkin dia tidak sabar bertemu kamu.”

Keyla hanya tersenyum miris. “Atau dia hanya ingin memastikan rencananya berjalan sesuai jadwal.”

Tapi begitu ia keluar rumah dan melihat Kenny…

Keyla tahu itu bukan sekadar rencana.

Pria itu berdiri bersandar pada mobil hitamnya, dengan kemeja biru gelap dan coat panjang. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin pagi.

Dan… ia benar-benar menunggu.

Tanpa ponsel di tangan.

Tanpa tanda kebosanan.

Tatapannya langsung terarah pada Keyla.

“Kenapa terlalu cepat?” tanya Keyla sambil menuruni tangga.

Kenny mengangkat alis. “Aku tidak suka menunggu.”

“Kamu yang datang lebih awal.”

“Karena aku tidak suka terlambat.”

Keyla memutar bola mata. “Alasan standar.”

Kenny… tersenyum tipis.

Senyum yang begitu cepat hilang, seolah ia malu menunjukkannya.

Dan Keyla merasakan jantungnya mencekat sedikit.

Ini berbahaya.

Sangat berbahaya.

**

Di dalam mobil, suasana hening… tapi hening yang nyaman.

“Jadi… kita mau ke mana?” tanya Keyla akhirnya.

Kenny tidak langsung menjawab. Ia tetap fokus pada jalan, tapi tatapannya melirik Keyla sesekali.

“Tempat yang kamu suka.”

Keyla berkedip bingung. “Yang aku suka? Kamu tahu dari mana—”

“Kamu bilang suka tempat tenang yang wangi bunga.”

Keyla menatapnya lama. “Itu… cuma komentar kecil waktu kita lewat taman.”

“Cukup untukku mengingatnya.”

Keyla hampir tidak percaya. Di kehidupan lamanya, Kenny bahkan tidak tahu warna baju kesukaannya, apa makanan favoritnya, atau kapan ulang tahunnya.

Kini?

Ia mengingat satu kalimat kecil.

Dan itu… cukup mengguncang hati Keyla.

**

Tujuan mereka ternyata taman kecil di pinggir kota.

Bukan taman umum besar, tapi tempat kecil dengan jalan setapak dari batu dan deretan bunga lavender. Aroma lembutnya menyambut begitu mereka turun dari mobil.

Keyla menghirup napas panjang. “Baunya… menenangkan.”

Kenny menoleh. “Aku tahu.”

Keduanya berjalan beriringan di jalur kecil, suara daun bergesekan lembut di sekitar mereka. Keyla melangkah perlahan sambil meraba ujung ranting lavender.

“Kamu sering datang ke sini?” tanya Keyla.

“Tidak.”

“Lalu kenapa—”

“Kamu suka. Itu cukup.”

Keyla menunduk, pipinya memanas. Hatinya terasa seperti benang yang ditarik pelan… dan sayangnya, tarikan itu berasal dari arah Kenny.

Ia harus menjaga jarak.

Tapi bagaimana caranya kalau pria itu terus membuka celah kecil dari tembok kerasnya?

Beberapa menit berlalu dalam hening yang tenang. Lalu Kenny tiba-tiba berkata,

“Keyla.”

“Hm?”

“Apa kamu marah padaku?”

Keyla langsung terhenti. Ia menatap Kenny dengan alis terangkat.

“Kenapa aku harus marah?”

Kenny melihat samping, seolah tidak nyaman. “…aku merasa kamu menjaga jarak.”

Keyla tersenyum kecil namun tajam. “Kamu sadar?”

Kenny mengangguk pelan.

“Kenapa kamu menghindariku?” tanya Kenny lagi.

Untuk pertama kalinya… suaranya terdengar takut.

Takut ditolak.

Takut dijauhkan.

Takut kehilangan.

Keyla menarik napas panjang.

“Karena aku tidak mau mengulang kesalahan.”

Ia menatap Kenny, matanya jernih tapi penuh luka.

“Aku tidak mau terlalu berharap pada seseorang yang sewaktu-waktu bisa pergi tanpa alasan.”

Kenny menegang.

“Seseorang itu aku?” bisiknya.

Keyla tersenyum pahit. “Dulu… iya.”

Kenny menatapnya seperti seseorang yang baru saja dipukul oleh kenyataan yang tidak ia sangka.

“Aku tidak mau mengulangnya,” lanjut Keyla. “Aku sudah mati sekali karena mencintaimu terlalu dalam—”

Ia menutup mulut.

Sial.

Keyla cepat-cepat membalikkan tubuh, pura-pura melihat ke arah bunga.

Tapi kata “mati” sudah cukup membuat Kenny tercengang.

“Apa maksudmu mati?” suara Kenny rendah, hampir bergetar.

Keyla buru-buru tertawa. “Maksudku… mati secara perasaan. Kamu tahu, istilah.”

Kenny menatapnya, jelas tidak percaya.

“Tapi aku tidak suka istilah itu.”

Keyla mendesah. “Kenny, tolong. Jangan dibahas.”

Kenny maju selangkah.

Lalu dua langkah.

Hingga ia berdiri tepat di hadapan Keyla.

“Kalau kamu terluka karena aku…” suara Kenny melemah, “…aku ingin memperbaikinya.”

Keyla terdiam.

“Mungkin aku tidak bisa menjadi seperti yang kamu inginkan.”

Kenny mengangkat tangan, tapi berhenti sebelum menyentuh wajah Keyla—seolah ia takut menyakitinya.

“Tapi aku ingin mencoba. Sekarang.”

Keyla menutup mata sejenak.

Perasaan hangat—yang selama ini ia tekan—mulai merembes naik.

“Kenny…” bisiknya, “…aku tidak bisa langsung percaya.”

“Aku tidak meminta kamu percaya.”

Suaranya tegas namun lembut.

“Aku hanya meminta kamu tidak menutup pintunya.”

Keyla membuka mata.

Kenny menatapnya dengan cara yang tidak pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya.

Tatapan yang… memilih.

Tatapan yang… ingin mempertahankan.

Tatapan yang… takut kehilangan Keyla.

Untuk pertama kalinya, Keyla melihat bukan hanya dingin atau egois, tapi ketulusan yang sulit ia pahami.

“Baik,” kata Keyla akhirnya, napasnya goyah. “Aku akan mencoba.”

Kenny menunduk sedikit, seolah lega.

“Tapi,” sambung Keyla, “aku tidak mau hubungan yang cuma sepihak. Kamu harus belajar… memberi tahu apa yang kamu rasakan.”

Kenny menatapnya lama. “Aku tidak terbiasa.”

“Belajar,” jawab Keyla.

Kenny mengangguk pelan. “Untuk kamu… aku bisa.”

Keyla menahan napas. Kata-kata itu masuk terlalu dalam.

Terlalu dekat.

Terlalu berbahaya.

Tapi juga… terlalu hangat untuk ditolak.

**

Mereka melanjutkan berjalan, dan untuk pertama kalinya, tangan Kenny bergerak mendekati tangan Keyla. Tidak memaksa. Tidak menarik. Hanya… menunggu.

Menunggu apakah Keyla akan mengizinkannya.

Keyla menatap tangan itu.

Lalu menatap wajah Kenny.

Dan tanpa berkata apa pun… ia membiarkan jemarinya jatuh perlahan ke genggaman Kenny.

Kenny menegang sesaat.

Lalu menggenggamnya dengan sangat hati-hati.

Seolah Keyla adalah sesuatu yang rapuh, tapi berharga.

Sesuatu yang tidak boleh terlepas lagi.

**

Angin sore kembali mengusap rambut mereka.

Di antara hamparan lavender yang berayun pelan…

Keyla mengizinkan dirinya untuk tersenyum kecil.

Tidak besar.

Tidak penuh harapan.

Hanya… cukup.

Cukup untuk awal.

Cukup untuk kesempatan kedua.

Dan ketika Keyla menoleh, ia melihat Kenny menatapnya dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.

Sebuah cara yang membuat hatinya berbisik:

1
SHAIDDY STHEFANÍA AGUIRRE
Nangkring terus
Tsuyuri
Ngga kecewa sama sekali.
sweet_ice_cream
Jangan berhenti menulis, cerita yang menarik selalu dinantikan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!