Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Rencana yang Tertunda"
Awalnya, Alya mengira rasa lelah itu hanya akibat ritme baru kuliah.
Bangun pagi, berangkat ke kampus, pulang dengan kepala penuh catatan dan pikiran—semua terasa wajar. Bahkan ketika mual datang sesekali, Alya menepisnya dengan logika sederhana: mungkin masuk angin, mungkin terlalu capek.
Sampai suatu pagi, ia tidak bisa lagi menyangkal tubuhnya sendiri.
Alya duduk lama di kamar mandi, menatap hasil tes di tangannya. Dunia terasa mengecil, seperti ditarik ke satu titik yang tak bisa ia hindari. Tidak ada kepanikan berlebihan, tidak juga tangisan dramatis. Yang ada hanya satu perasaan yang mengendap pelan: kaget.
Zavian menemukannya duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong.
“Alya?” panggilnya pelan.
Alya mengangkat wajahnya. “Pak… aku hamil.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa intonasi berlebihan.
Zavian berhenti sejenak. Bukan karena tidak siap, tapi karena ia tahu—reaksi pertamanya akan menentukan segalanya.
Ia mendekat, berlutut di hadapan Alya, sejajar dengan matanya. “Kamu yakin?”
Alya mengangguk, lalu menunduk. “Aku sudah cek dua kali.”
Zavian menarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan. “Boleh aku duduk di sampingmu?”
Alya mengangguk pelan.
Tidak ada kemarahan. Tidak ada saling menyalahkan. Yang ada hanya dua orang dewasa yang sama-sama menyadari: hidup baru saja berbelok.
“Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Zavian.
Alya terdiam lama. “Aku senang,” katanya jujur. “Tapi aku juga… kecewa.”
Zavian tidak memotong.
“Aku baru mulai merasa jadi diriku sendiri,” lanjut Alya, suaranya bergetar. “Kuliahku baru jalan satu semester.”
Di sanalah air mata itu akhirnya jatuh.
---
Keputusan itu datang beberapa hari kemudian, bukan sebagai paksaan, tapi sebagai kesepakatan yang pahit.
Dokter menyarankan Alya untuk mengurangi aktivitas. Tubuhnya perlu beradaptasi. Zavian, dengan semua sumber daya yang ia miliki, bisa saja mengatur banyak hal—tapi tidak bisa mengatur waktu dan kondisi biologis.
Alya duduk di ruang tamu, memeluk lututnya, wajahnya masam.
“Jadi aku harus berhenti dulu,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
“Untuk sementara,” jawab Zavian hati-hati. “Bukan berhenti selamanya.”
Alya mendengus kecil. “Tetap saja berhenti.”
Ia berdiri, mondar-mandir. “Aku baru satu semester, Pak. Satu semester. Aku belum sempat apa-apa.”
Zavian memperhatikannya tanpa menyela. Ia tahu ini bukan soal logika. Ini soal kehilangan sesuatu yang baru saja dimiliki.
“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Dan kamu berhak marah.”
Alya berhenti. “Aku nggak mau cuma jadi istri dan ibu. Aku mau jadi Alya yang punya dunia sendiri.”
Zavian berdiri, mendekat. Tapi ia tidak menyentuh Alya sebelum yakin.
“Dan kamu akan jadi itu,” katanya tegas. “Kehamilan ini tidak menghapus mimpimu.”
Alya menatapnya, matanya merah. “Janji?”
Zavian tidak langsung menjawab. Ia tahu kata itu berat.
“Aku berjanji,” katanya akhirnya, dengan nada yang jarang ia gunakan—bukan nada mafia, bukan nada penguasa. Nada seorang suami. “Setelah kamu siap. Setelah tubuhmu kuat. Kamu akan kembali kuliah.”
Alya menggeleng kecil. “Bagaimana kalau nanti aku terlalu sibuk? Bagaimana kalau semuanya berubah?”
Zavian mengangkat wajah Alya dengan lembut, memastikan tatapannya sejajar. “Kalau dunia berubah, aku yang menyesuaikan. Bukan kamu yang dikorbankan.”
---
Hari-hari berikutnya tidak mudah.
Alya menjadi lebih sensitif, lebih mudah diam, lebih sering menatap jendela dengan raut kesal. Ia menolak membuka buku kuliahnya yang kini tersusun rapi di rak.
Zavian tidak memaksa. Ia tahu ada luka kecil yang perlu waktu untuk sembuh.
Suatu siang, Alya berkata dengan nada ngambek yang tidak ia sembunyikan, “Teman-temanku pasti lanjut semua.”
Zavian menyodorkan segelas air. “Dan kamu sedang menyiapkan kehidupan baru.”
“Bukan berarti aku nggak sedih,” balas Alya.
“Sedih itu tidak dilarang,” jawab Zavian. “Menyerah yang tidak boleh.”
Kalimat itu membuat Alya terdiam.
Zavian duduk di seberangnya. “Aku sudah bicara dengan pihak kampus. Cuti akademik. Semua resmi. Tidak ada yang hangus.”
Alya menatapnya, kaget. “Kamu sudah…?”
“Aku tidak ingin kamu khawatir soal hal-hal itu sekarang,” kata Zavian. “Tugasku memastikan pintu itu tetap terbuka.”
Alya mengusap matanya. “Aku benci merasa tertinggal.”
Zavian menjawab pelan, “Hidup bukan lomba lari. Kadang kita berhenti bukan karena kalah, tapi karena membawa sesuatu yang berharga.”
---
Malam itu, Alya bersandar di sofa, tangan di perutnya yang belum terlihat berubah. Ada perasaan asing—campuran antara kehilangan dan harapan.
“Apa kamu kecewa?” tanyanya tiba-tiba.
Zavian menoleh. “Tentang apa?”
“Karena aku hamil sekarang.”
Zavian menggeleng tanpa ragu. “Tidak. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak merasa sendirian.”
Alya menghela napas. “Aku masih ingin kuliah.”
Zavian tersenyum kecil. “Dan kamu akan.”
Ia berhenti sejenak. “Anak ini akan tumbuh dengan ibu yang punya mimpi. Aku tidak akan merampas itu.”
Alya akhirnya tersenyum—tipis, tapi jujur.
Untuk pertama kalinya sejak kabar itu datang, ia merasa sedikit lebih tenang.
Rencananya memang tertunda. Tapi tidak hilang.
Dan Alya mulai belajar satu hal penting:
hidup tidak selalu berjalan lurus, tapi bukan berarti berhenti bergerak maju.
Babak baru sedang dimulai—bukan akhir dari yang lama, melainkan jeda sebelum langkah berikutnya.