Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Arak dan Silsilah Sang Naga
Malam di Desa Air Bening terasa sangat tenang, namun di dalam penginapan, suasana sedikit berbeda. Setelah kelelahan mengejar Jian Chen, Xiao Bai memutuskan untuk kembali ke wujud aslinya—seekor rubah putih besar yang bulunya sangat lembut—untuk beristirahat di sudut ruangan.
Zilong, yang merasa pikirannya sangat kacau setelah kejadian di kamar mandi dan lelah memikirkan kata-kata "cinta" dari Jian Chen, merasa tidak bisa memejamkan mata. Ia merebahkan kepalanya di atas punggung Xiao Bai yang hangat dan empuk.
"Kalau dipikir-pikir, ayah dan ibu meninggalkanku saat aku masih sangat kecil," gumam Zilong pelan, menatap langit-langit kamar yang gelap. "Paman Lin juga tidak banyak bercerita. Sepertinya orang tuaku mati di tangan mereka yang membenci pendekar tombak... atau mungkin ada hubungannya dengan Kaisar Iblis."
Zilong mengelus bulu Xiao Bai dengan lembut. "Ayah adalah seekor naga sejati... sedangkan ibu adalah manusia biasa. Kenapa mereka bisa menikah? Cinta itu apa? Aku benar-benar tidak mengerti. Guru, ternyata banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kuselesaikan dengan tombak."
Zilong terlahir sebagai manusia setengah naga, sebuah garis keturunan yang memberinya kekuatan fisik luar biasa namun juga kesepian yang mendalam. Karena rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang, ia bangkit dan memutuskan untuk berjalan-jalan keluar penginapan.
Zilong berjalan menyusuri jalanan desa yang sepi hingga telinganya menangkap suara tawa yang riuh dari sebuah bangunan kayu besar di ujung jalan. Cahaya lampion merah menerangi pintu masuknya.
"Tempat apa itu?" tanya Zilong pada dirinya sendiri. Ia melangkah masuk, dan seketika aroma tajam gandum yang difermentasi menusuk hidungnya.
Di dalam, puluhan pria dari berbagai usia sedang tertawa, beradu panco, dan menenggak cairan bening dari mangkuk tanah liat. Zilong, yang seumur hidupnya hanya minum air gunung dan teh pahit, menatap mereka dengan wajah polos yang penasaran.
"Hei! Lihat siapa ini!" seorang pria paruh baya dengan wajah memerah dan pakaian kumal melambaikan tangan. "Bukannya kau pendatang yang membawa bendera besar itu? Hei, Anak Muda! Jangan hanya berdiri di sana seperti tiang, ayo ikut kami minum!"
Zilong mendekat dengan ragu. "Apa itu yang kalian minum? Apakah itu obat penenang?"
"Obat penenang? Hahaha! Ini adalah Arak Api Desa Air Bening! Satu mangkuk bisa membuatmu melihat bidadari, dua mangkuk bisa membuatmu merasa seperti kaisar!" Pria itu menyodorkan sebuah mangkuk besar yang penuh berisi cairan bening.
Zilong menerimanya, menatap cairan itu sejenak, lalu meneguknya hingga tandas dalam satu tarikan napas.
Glek... glek... glek...
Detik pertama, Zilong merasa tenggorokannya terbakar. Detik kedua, wajahnya yang biasanya pucat mendadak berubah menjadi merah padam. Matanya yang tajam mulai sayu dan berputar. Ternyata, naga terkuat sekalipun tidak memiliki pertahanan terhadap alkohol tingkat tinggi. Zilong sangat mudah mabuk.
"Hahaha! Lihat! Dia langsung teler!" tawa orang-orang di kedai itu pecah.
Tapi kemudian, sifat Zilong berubah drastis. Ia tidak jatuh pingsan, melainkan berdiri tegak dengan senyum yang sangat... aneh. Ia merangkul pria paruh baya di sampingnya dengan sangat erat hingga pria itu sesak napas.
"Paman... kau tahu tidak?" ucap Zilong dengan nada bicara yang melantur dan mendayu-dayu. "Tombakku itu panjang... tapi hatiku sepi. Kau mau lihat tombakku?"
Zilong mencoba mencabut tombaknya dari punggung, namun ia malah mencabut kaki meja di sampingnya. "Eh? Kenapa tombakku jadi kayu dan pendek?"
Seluruh kedai terdiam sejenak melihat pendekar yang terlihat gagah itu kini sedang berbicara dengan kaki meja dengan penuh perasaan. Naga yang agung itu kini telah berubah menjadi pemabuk yang sangat sentimental dan sedikit gila.