Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21 beci dan cinta hadir bersama
"Susan, ada laki-laki yang harus kamu dekati,"ucap Warseno, suaranya tegas seperti keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
"Siapa lagi sih, Pah? Malas aku,"sahut Susan sambil mendesah, menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan ekspresi bosan.
"Kenapa? Apa kamu sudah punya laki-laki yang kamu suka?"Warseno menatap putrinya dengan mata tajam, mencoba membaca pikirannya.
Susan tersenyum tipis, bola matanya berbinar seolah mengingat seseorang. "Ada, Pah. Dan aku sangat mencintainya."
Warseno mengangkat alisnya. "Siapa? Dari keluarga mana? Pratama atau Aditama? Atau dari luar kota? Kota mana? Apa pekerjaannya? Apa usahanya? Apa dia punya koneksi?" Ia membombardir Susan dengan pertanyaan bertubi-tubi, sorot matanya penuh selidik.
Susan menghela napas, seakan sudah menduga reaksi ayahnya. "Dia seorang pengusaha, Pah."
"Apa nama perusahaannya?"
Susan menegakkan punggungnya, menatap ayahnya penuh keyakinan. "PT Raka Ekspedisi, Pah."
Hening sejenak. Warseno meraih ponselnya, jari-jarinya lincah menelusuri layar. Dahinya mengernyit, lalu ia mendengus meremehkan. "Apa-apaan ini? Kamu mau menikah dengan gembel? Perusahaan ini baru maju tiga tahun lalu, belum ada apa-apanya. Papah nggak setuju!"
Susan menatap ayahnya dengan penuh harap. "Tapi Pah, aku mencintainya!"
Warseno menatapnya tajam, lalu mengangkat bahu acuh tak acuh. "Ya sudah, kamu bebas tidur dengan dia, asal jangan sampai hamil."
Mata Susan membulat, tidak percaya dengan ucapan ayahnya. "Tapi Pah! Aku ingin jadi miliknya seutuhnya!"
Warseno mendengus. "Jangan bodoh, Susan! Mau jadi apa kamu kalau menikah dengan dia? Silakan bersenang-senang dengannya, tapi jangan pernah berpikir untuk menikah!"
Susan menggigit bibirnya, menahan perasaan yang berkecamuk. "Papah... aku mencintainya."
Warseno tertawa kecil, sinis. "Alah, itu hanya sementara. Setelah beberapa kali tidur dengannya, kamu juga akan bosan."
Susan menggeleng dengan mata berembun. "Papah… aku mau menikah dengannya!"
Nada suara Warseno berubah lebih keras. "Jangan bodoh, Nak! Kamu ini anak satu-satunya, pewaris bisnis keluarga. Kamu boleh menikah, tapi hanya dengan keluarga Pratama atau Aditama. Kalau tidak, cari pria kaya dari luar kota. Bila perlu, dari luar negeri pun tidak masalah!"
Susan terisak, suaranya bergetar penuh keputusasaan. "Pah, tolong mengerti keinginanku… Aku ingin jadi wanita normal. Aku ingin jadi istri dan seorang ibu, Pah."
Warseno menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Iya, Papah mengerti, dan Papah nggak melarang kamu menikah. Tapi, kamu harus jadi istri orang kaya. Itu untuk bisnis kita, Sayang. Kalau kamu punya banyak uang, kamu bisa memilih lelaki manapun yang kamu suka."
Susan menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu, berdebat dengan ayahnya tidak akan membuahkan hasil. Setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan berakhir di tembok tebal bernama ambisi Warseno. Tapi, apakah ia rela menyerah begitu saja?
"Sudahlah, jangan diambil pusing,"suara Warseno terdengar lebih santai. Ia bersandar ke sofa, menyilangkan kakinya dengan ekspresi puas. "Kamu jangan kolot seperti ibumu. Jadinya malah penyakitankan? Nikmati hidup ini, Nak. Sebelum kita mati, kita harus senang-senang dulu. Dan itu cuma bisa kita lakukan kalau kita punya banyak uang."
Susan mengangkat wajahnya, matanya datar tanpa ekspresi. "Ya sudah, terserah Papah. Toh, aku menolak pun percuma, kan?" suaranya lirih, hampir seperti gumaman, tapi cukup jelas untuk didengar Warseno.
Pria paruh baya itu menyeringai puas. "Bagus, anak baik. Kamu memang dari dulu kebanggaan Papah."
Susan menghela napas pelan. Jika ini tak bisa dihindari, lebih baik ia langsung tahu apa rencana ayahnya. "Jadi, siapa laki-laki yang harus aku dekati, Pah?" tanyanya dengan nada datar.
Warseno mengangkat alis, tampak senang karena anaknya mulai menerima arahan. "Romi Aditama. Dia pewaris keluarga Aditama. Kalau kita nunggu Indra Pratama, kelamaan. Jadi lebih baik kamu dekati Romi."
Susan spontan mendengus pelan. "Wah, susah, Pah. Dia itu CEO Kutub Utara, dingin banget. Malah kadang-kadang aku curiga dia nggak normal."
Warseno tertawa kecil, gelengan kepalanya penuh keyakinan. "Ah, itu cuma isu. Dia normal kok, tenang aja. Papah sudah selidiki."
Susan menatap ayahnya dengan malas. Sudah bisa ditebak, Warseno pasti punya orang-orang yang mengorek informasi tentang siapa pun yang menarik perhatiannya.
"Nanti siang, Papah ada pertemuan dengan Romi Aditama. Kamu ikut, ya?"suara Warseno terdengar lebih seperti perintah daripada ajakan.
Susan mengangguk pelan. "Oke. Tapi nanti malam aku mau ketemu Raka, Pah."
Mendengar itu, Warseno hanya tertawa sinis. "Silakan. Nikmati dia, tapi jangan sampai terbawa perasaan. Setelah kamu puas, buang saja. Orang seperti dia nggak ada gunanya."
Susan tidak menjawab. Pandangannya kosong menatap lantai, hatinya terasa berat. Warseno selalu memperlakukan orang seperti barang yang bisa dipakai lalu dibuang. Ia tahu, ayahnya tidak akan pernah melihat Raka sebagai manusia, apalagi seseorang yang layak dicintai.
Tapi, sampai kapan ia harus mengikuti aturan ini?
Berikut versi yang lebih diperpanjang dengan showing, supaya suasana dan ekspresi lebih terasa:
David melangkah masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Sudah biasa. Sejak lama, ia tahu kalau Romi bukan tipe bos yang suka formalitas berlebihan.
"Bos, gimana perjodohan lu? Lanjut apa udahan?"tanyanya santai sambil menjatuhkan diri ke kursi di depan meja kerja Romi.
Romi, yang sedang membaca laporan, mendongak dengan tatapan tajam. "Apaan sih lu? Pagi-pagi bikin mood gue jelek aja."
David terkekeh, sama sekali tidak terintimidasi. Ia sudah kebal dengan reaksi bosnya yang satu ini. "Bos, gue harus tahu urusan lu, nih. Kenapa? Soalnya kalau HP lu mati, Ibu Suri nanyanya ke gue!" David menunjuk dirinya sendiri, lalu menghela napas drama. "Kadang gue mikir, gue ini asisten lu atau pengasuh lu, Bos?"
Romi mendengus. Ia meletakkan laporan di tangannya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi apa aja, yang penting dibayarin. Asal jangan jadi bini gue aja."
David mengangkat kedua tangan. "Ih, amit-amit, Bos! Gue masih normal, masih doyan cewek. Nggak kayak lu, tahun 2025 masih perjaka. Aih, malu-maluin banget sih, Bos!"
Romi menatap David dengan datar, lalu mengetukkan jarinya ke meja beberapa kali. "David, cepat ke ruang HRD. Bilang kamu saya turunkan jadi OB."
Mata David langsung melebar. "Ih, Bosku yang ganteng, perkasa, macho, idaman para kaum hawa! Jangan marah dong! Hambamu yang bodoh ini masih butuh cuan buat senang-senang, Bos!" katanya dengan nada penuh drama, tangannya bahkan ikut-ikutan menyatukan jari seperti sedang berdoa.
Romi hanya mendesah pelan. "Oke, makanya jangan ngomong sembarangan."
David mengangguk cepat. "Siap, Bos! Aman, Bos!"
Romi menggeleng pelan, lalu kembali fokus ke laporannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman laporan itu. Satu pertanyaan terus berputar-putar di kepalanya tapi bukan perjodohan tapi kenapa aziza sendirian saat mau melahirkan
Pikirannya buyar ketika suara David kembali terdengar. "Bos, siang ini kita ada pertemuan sama Pak Warseno."
Romi mendongak, menatap asistennya dengan ekspresi malas. "Agendanya apa?"
David mengangkat satu alis. "Dia punya produk baru di bidang IT, katanya ada potensi buat ekspansi bisnis."
Romi menghela napas pelan, lalu menutup dokumen di depannya. "Oke, kita agendakan."
David tersenyum puas. "Siap, Bos. Kalau gitu, gue cabut dulu, ya." Ia berdiri sambil merenggangkan badannya.
Romi melambaikan tangannya dengan gerakan mengusir. "Pergi sana yang jauh."
David terkekeh, berjalan mundur menuju pintu. "Alah, ntar juga kangen sama gue, lu, Bos."
Romi melotot. "Daviddd!" suaranya sedikit meninggi, tapi nadanya lebih ke jengah daripada benar-benar marah.
David hanya tertawa kecil sebelum akhirnya membuka pintu dan berlalu dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Romi kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, mengusap pelipisnya pelan. Pertemuan dengan Warseno. Itu berarti ia harus berhadapan dengan seseorang yang penuh ambisi dan perhitungan.
Romi meraih ponselnya, jarinya mengetik cepat sebelum menempelkan perangkat itu ke telinga. Suaranya tenang, tapi ada ketegangan di baliknya. "Bagaimana kabar terkini?" tanyanya.
Suara di seberang langsung menjawab. "Masih ada di kediaman Pratama, Bos."
Mata Romi menyipit. "Belum dijemput suaminya?"
"Belum muncul, Bos. Kayaknya suaminya nggak tahu kalau Azizah ada di sana."
Romi terdiam sejenak. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. "Kalau begitu, kapan dia akan melahirkan?"
"Sepertinya minggu ini, Bos. Tapi dia belum di rumah sakit."
Romi mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya berputar cepat. "Ya sudah, pantau terus dan laporkan kondisi terkini."
Begitu sambungan terputus, Romi menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya berkelana jauh.
Azizah, kenapa suamimu nggak jemput kamu di keluarga Pratama?
Kenapa dia nggak mendampingimu saat kau akan melahirkan?
Apakah dia nggak menganggapmu penting sampai membiarkanmu sendirian?
Dadanya terasa sesak. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
Dan kenapa gue peduli? Sial. Sungguh menyakitkan.
Romi tidak pusing soal perjodohan. Ada banyak cara untuk membatalkannya. Ia juga tidak pusing dengan pekerjaannya—ada David yang bisa diandalkan.
Tapi entah kenapa, satu hal yang terus menghantui pikirannya adalah kenyataan bahwa Azizah sendirian saat akan melahirkan.
Kemana suaminya?
Kenapa dia membiarkan Azizah menghadapi semuanya sendiri?
Dan yang lebih menyakitkan dari semua itu—kenapa dia sendiri merasa begitu peduli?
Bagaimana mungkin ia bisa berharap, kecewa, dan benci pada waktu yang bersamaan?
Romi mengepalkan tangannya. Perasaan itu menggerogoti hatinya.
Dan ia benci kenyataan itu.
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu