NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: DIAGNOSIS TANPA STETOSKOP

Pagi di Samarinda tidak pernah benar-benar tenang. Suara klakson kendaraan yang terjebak macet di Jembatan Mahakam terdengar samar hingga ke ruang kerja Firman di sebuah kantor berita lokal yang merangkap sebagai perpustakaan mini. Aroma kertas lama, tinta printer yang khas, dan sisa kopi dingin dari semalam menjadi udara yang ia hirup setiap hari.

Firman duduk di depan layar monitor yang menyala terang, menampilkan draf artikel tentang perkembangan literasi di Kalimantan Timur. Namun, jemarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikirannya justru tertahan pada kejadian di GOR sore kemarin.

“Berhenti pura-pura kuat.”

Kalimat Yasmin terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Firman benci itu. Ia benci bagaimana seorang perempuan yang baru ia temui selama tiga puluh menit bisa melemparkan komentar seserius itu seolah-olah dia adalah pembaca pikiran profesional.

"Man, bengong aja lo! Itu artikel deadline-nya jam dua siang, lho," tegur rekan sekantornya, seorang pria paruh baya yang sibuk mengunyah gorengan.

Firman tersentak, lalu berdehem kaku. "Lagi mikirin sudut pandang yang pas, Bang."

"Sudut pandang atau lagi mikirin dokter cantik yang kemarin Rendy ceritain?" goda rekannya itu sambil tertawa renyah.

Firman hanya membalas dengan tatapan datar senjata andalannya untuk menghentikan percakapan yang tidak ia sukai. Ia kembali fokus ke layar, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Baginya, kata-kata adalah alat. Ia menggunakan kata untuk membangun narasi, untuk mencari kebenaran, sekaligus untuk membentengi dirinya sendiri.

Namun, konsentrasinya buyar saat ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

[0812-xxxx-xxxx]: Selamat pagi, Mas Firman. Ini Yasmin. Maaf mengganggu waktunya. Saya dapat nomor Mas dari Rendy. Katanya Mas Firman bisa bantu cari referensi buku medis yang sudah out of print, ya? Saya sedang butuh untuk bahan riset di RS.

Firman menatap layar itu lama. Rendy memang bermulut ember, tapi pekerjaan sebagai Book Consultant adalah salah satu sumber penghasilannya yang paling stabil. Ia tidak bisa menolak klien, bahkan jika klien itu adalah orang yang ingin ia hindari.

Firmansah: Pagi. Iya, saya bisa bantu. Kirim saja judul dan penulisnya. Saya cek di database kolega saya.

Balasannya singkat, padat, dan sangat profesional. Firman berharap itu cukup untuk menunjukkan bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas penyedia jasa dan pelanggan. Tak lebih.

Yasmin: Banyak judulnya, Mas. Mungkin lebih enak kalau saya jelaskan langsung supaya nggak salah cari. Kalau sore ini Mas ada waktu, bisa ketemu di Kafe seberang RS? Saya yang traktir kopinya sebagai tanda terima kasih awal.

Firman mendesah. "Traktir kopi," batinnya sinis. Itu adalah taktik paling klasik dalam interaksi sosial yang ia benci. Namun, sisi profesionalnya dan mungkin sedikit rasa penasaran yang ia sangkal habis-habisan membuatnya mengetik jawaban yang berbeda dari nuraninya.

Firmansah: Jam 5 sore. Saya hanya punya waktu 30 menit.

Sore itu, hujan rintik mulai membasahi kaca-kaca kafe yang terletak tepat di seberang rumah sakit umum daerah. Suasana kafe cukup tenang, hanya ada suara denting sendok dan musik instrumental yang diputar pelan. Firman sudah duduk di sana, sepuluh menit lebih awal dari janji. Ia sengaja membawa laptop dan beberapa tumpukan kertas agar terlihat sangat sibuk.

Pintu kafe berdenting. Yasmin masuk dengan masih mengenakan kemeja putih rapi dan celana kain berwarna gelap. Wajahnya terlihat sedikit lebih lelah dibandingkan kemarin, ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya, tapi senyumnya tetap terjaga.

"Mas Firman, maaf ya kalau menunggu. Tadi ada pasien yang sedikit rewel di ruang pemulihan," sapa Yasmin sambil duduk di hadapannya.

Firman hanya mengangguk kecil tanpa menutup laptopnya. "Saya juga baru sampai. Jadi, buku apa saja yang kamu cari?"

Yasmin mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya. Ia mulai menyebutkan beberapa judul buku anatomi dan patologi klinis terbitan lama yang memang sulit ditemukan di toko buku biasa. Firman mencatat semuanya dengan cekatan.

Selama sepuluh menit pertama, percakapan mereka benar-benar profesional. Firman merasa lega. Begini seharusnya, pikirnya. Selama mereka bicara tentang pekerjaan, dinding pertahanannya aman.

"Oke, saya rasa itu saja. Saya akan kabari kalau sudah ada titik terang," ujar Firman hendak menutup laptopnya.

"Mas Firman belum pesan kopi?" tanya Yasmin tiba-tiba, menahan pergerakan tangan Firman.

"Saya nggak butuh kafein sekarang. Saya harus segera kembali ke kantor."

Yasmin menatap Firman dengan saksama. Tatapan itu lagi. Tatapan yang membuat Firman merasa sedang didiagnosis.

"Mas Firman, boleh saya tanya satu hal? Sebagai orang asing, bukan sebagai klien," suara Yasmin merendah, terdengar lebih hangat.

Firman mengerutkan kening. "Apa?"

"Kenapa Mas selalu terlihat seperti sedang dikejar sesuatu? Bahkan saat duduk tenang seperti ini, napas Mas pendek-pendek dan bahu Mas kaku sekali. Mas sedang merasa tidak aman?"

Firman terdiam. Ia merasa dadanya sesak secara tiba-tiba. Pertanyaan itu terlalu tepat sasaran. "Saya jurnalis, Yasmin. Hidup saya penuh dengan deadline. Wajar kalau saya terlihat sibuk."

"Ada bedanya antara sibuk dan tertekan," potong Yasmin lembut. "Di rumah sakit, saya sering melihat orang dengan ekspresi seperti Mas. Biasanya mereka adalah orang-orang yang sedang menahan rasa sakit tapi menolak untuk diberi obat karena merasa bisa sembuh sendiri."

Firman menutup laptopnya dengan suara keras, menimbulkan dentuman kecil yang membuat beberapa orang di kafe menoleh. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Yasmin dengan tajam.

"Dengar, Yasmin. Kita baru kenal kemarin. Jangan merasa karena kamu seorang dokter, kamu bisa mendiagnosis keadaan mental saya hanya dengan melihat cara saya duduk. Saya baik-baik saja. Hidup saya sangat teratur karena saya menjaganya tetap rasional."

Yasmin tidak gentar dengan nada bicara Firman yang meninggi. Ia justru meraih cangkir teh hangatnya dan menyesapnya pelan.

"Rasionalitas itu bagus, Mas. Tapi kalau rasionalitas dipakai untuk membunuh perasaan, itu namanya pelarian. Mas sedang lari dari sesuatu, kan? Sesuatu yang terjadi setahun lalu?"

Firman merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Bagaimana perempuan ini tahu? Apakah Rendy menceritakan semuanya? Sialan kau, Rendy!

"Rendy cerita apa saja sama kamu?" tanya Firman dengan suara tertahan.

Yasmin menggeleng. "Rendy nggak cerita apa-apa soal masa lalu Mas secara detail. Dia cuma bilang Mas Firman itu orang hebat yang tiba-tiba berubah jadi tertutup. Saya cuma menyimpulkannya sendiri. Ekspresi Mas saat melihat orang yang berpasangan di kafe ini tadi... itu ekspresi orang yang sedang marah pada konsep cinta."

Firman tertawa sinis. "Marah? Tidak. Saya hanya merasa itu membuang-buang waktu. Cinta itu tidak bisa diukur, tidak bisa diprediksi, dan tidak punya jaminan kepuasan. Sebagai jurnalis, saya lebih percaya pada data daripada perasaan."

"Tapi manusia bukan data, Mas Firman," balas Yasmin tenang. "Kita ini makhluk organik yang butuh keterhubungan. Mas mungkin bisa membohongi dunia dengan wajah dingin Mas, tapi Mas nggak bisa membohongi diri sendiri kalau setiap malam Mas merasa hampa saat pulang ke kosan yang sepi."

Kalimat itu menghantam Firman tepat di ulu hati. Bayangan kamar kosnya yang hanya berisi buku-bintang, cahaya redup dari lampu meja, dan keheningan yang mencekik setiap pukul dua pagi tiba-tiba melintas. Hampa. Kata itu sangat akurat.

"Kamu terlalu banyak bicara, Dokter," ucap Firman sambil berdiri. "Saya akan cari buku-bukumu. Tapi tolong, jangan pernah coba-coba untuk menganalisis saya lagi. Saya bukan pasienmu."

Yasmin ikut berdiri. Ia menatap Firman dengan tatapan yang sangat dalam, tatapan yang kali ini tidak hanya berisi kecerdasan, tapi juga empati yang tulus.

"Maaf kalau saya lancang. Tapi Mas Firman harus tahu, mengakui kalau kita sedang tidak baik-baik saja adalah langkah pertama untuk benar-benar jadi rasional. Kalau Mas terus menyangkal, Mas justru sedang hidup dalam ilusi."

Firman tidak menjawab. Ia segera melangkah keluar dari kafe, membiarkan rintik hujan Samarinda membasahi wajahnya. Ia berjalan cepat menuju motornya, jantungnya berdegup kencang karena amarah atau mungkin karena ketakutan.

Ketakutan bahwa apa yang dikatakan Yasmin sepenuhnya benar.

Sesampainya di kosan, Firman melempar tasnya ke lantai. Ia bercermin di kaca lemari yang kusam. Ia menatap wajahnya sendiri wajah yang selalu ia anggap kokoh dan tak tertembus. Namun, sore ini, di bawah cahaya lampu kuning yang remang-remang, ia melihat apa yang dilihat Yasmin.

Ada kelelahan yang luar biasa di sana. Ada kesepian yang mengakar.

Ia mengambil ponselnya, hendak memaki Rendy karena memperkenalkannya pada perempuan sepeka Yasmin. Namun, jarinya tertahan saat melihat ada pesan baru dari Yasmin.

Yasmin: Mas, ini daftar tambahan bukunya. Dan satu lagi... terima kasih sudah mau ketemu. Mas mungkin merasa saya gangguan, tapi saya hanya ingin bilang: punya teman untuk bicara tanpa harus merasa dinilai itu melegakan. Kalau Mas butuh itu, saya ada di level yang sama dengan Mas. Sama-sama sedang berusaha sembuh.

Firman meletakkan ponselnya di dada. Kata-kata "level yang sama" dan "sama-sama sedang berusaha sembuh" bergema di kepalanya. Jadi, Yasmin juga terluka? Perempuan yang terlihat begitu tenang dan bijak itu juga punya trauma?

Tiba-tiba, rasa marahnya menguap, berganti dengan rasa penasaran yang berbeda dari sebelumnya. Selama ini, Firman selalu merasa sendirian dalam penderitaannya. Mengetahui ada orang lain yang mungkin mengerti rasanya "hancur dengan cara yang rapi" membuat hatinya sedikit bergetar.

Ia merebahkan tubuh di kasur, menatap langit-langit kamar.

"Teman level," gumamnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Firman tidak langsung membuka laptop untuk bekerja. Ia hanya diam, mendengarkan suara hujan di atap seng kosannya, memikirkan diagnosis tanpa stetoskop yang diberikan oleh seorang dokter muda bernama Yasmin.

Sebuah diagnosis yang mungkin adalah kebenaran yang paling ia takuti di dunia ini. Bahwa dia, Firmansah, ternyata sangat butuh untuk disembuhkan.

Firman mulai menyadari bahwa Yasmin bukan sekadar "pengganggu". Namun, saat ia mulai membuka sedikit celah di dindingnya, sebuah kiriman paket misterius tiba di kantornya. Paket yang berisi undangan pernikahan dari mantan tunangannya, yang entah bagaimana berhasil menemukan alamat barunya. Akankah Firman kembali menutup diri dan menjauh dari Yasmin, atau justru menjadikan Yasmin pelarian dari rasa sakit yang kembali kambuh?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!