Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bos besar
Hana menarik napas dalam sebelum melangkah masuk ke gedung megah yang kini menjadi tempatnya bekerja. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu. Tidak pernah ia bayangkan bahwa ia akan diterima di perusahaan sebesar ini, apalagi sebagai staff finance, posisi yang menuntut ketelitian dan tanggung jawab tinggi.
Setelah melakukan registrasi di resepsionis, seorang wanita muda dengan pakaian rapi mendekatinya.
“Kamu Hana, kan?”
Hana mengangguk cepat. “Iya, saya Hana.”
Wanita itu tersenyum ramah. “Saya Tina, bagian HR. Saya akan mengantarkanmu ke divisi finance.”
Hana mengikuti langkah Rina dengan hati berdebar. Kantor ini terasa begitu profesional, penuh dengan karyawan yang terlihat sibuk di meja masing-masing.
Ketika tiba di ruangan finance, seorang pria berusia sekitar 40-an dengan kemeja putih rapi menyambutnya.
“Kamu pasti Hana, saya Pak Surya, kepala divisi finance di sini.” katanya dengan nada ramah.
“Senang bertemu dengan Bapak.” Hana segera menjabat tangannya dengan sopan.
Pak Surya tersenyum. “Kami sudah mendengar banyak hal baik tentang kamu dari hasil tes seleksi. Kamu anak yang cerdas. Saya harap kamu bisa cepat beradaptasi di sini.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin,” jawab Hana mantap.
Hari pertama Hana dimulai dengan banyak perkenalan. Ia dikenalkan kepada rekan-rekan satu timnya, diberikan penjelasan tentang sistem keuangan perusahaan, dan mulai diberi tugas-tugas kecil untuk membiasakan diri dengan pekerjaannya.
Tak butuh waktu lama bagi Hana untuk memahami ritme kerja di sini. Dengan ketelitian dan kecerdasannya, ia dengan cepat menyelesaikan laporan-laporan yang diberikan kepadanya. Bahkan, saat makan siang, salah satu rekan kerjanya, Andien, mendekatinya dengan kagum.
“Kamu baru masuk hari ini, tapi sudah paham banyak hal. Keren banget!” ujar Andien sambil tersenyum.
Hana tersenyum kecil. “Aku masih belajar, kok. Tapi, aku memang suka angka-angka.”
Andien tertawa. “Baguslah! Soalnya di sini kerjaannya nggak jauh-jauh dari angka. Kalau nggak suka, bisa pusing sendiri.”
Di sela-sela pekerjaannya, ponsel Hana bergetar.
Dominic.
Hana melirik sekelilingnya sebelum mengambil ponsel dan membaca pesannya.
— Bagaimana hari pertamamu? Ada yang buatmu kesal? Kalau ada, bilang sama aku. Aku bisa beli perusahaannya kalau perlu.
Hana menahan tawa. Dominic memang selalu seperti itu, penuh godaan dan perhatian di saat yang bersamaan.
Ia membalas pesan singkat.
— Semua baik-baik saja. Aku tidak butuh kamu beli perusahaan ini. Aku butuh kamu traktir makan malam nanti.
Tak butuh waktu lama, balasan masuk.
— Siap, Nona. Aku jemput setelah kerja. Jangan kabur.
Hana tersenyum kecil. Hari pertama di dunia kerja ini memang melelahkan, tapi setidaknya ia tahu ada seseorang yang selalu memperhatikannya.
Hari itu, Hana masih sibuk dengan laporan keuangan yang harus diperiksa. Ia menikmati pekerjaannya, merasa tertantang dengan angka-angka yang memenuhi layar laptopnya. Namun, di balik kesibukan itu, ada rasa penasaran yang menggelitik pikirannya.
Selama ini, ia tak pernah benar-benar mencari tahu tentang perusahaan tempatnya bekerja. Ia hanya tahu bahwa ini adalah salah satu perusahaan terbesar di bidang finansial, dan mendapatkan pekerjaan di sini adalah sebuah keberuntungan besar.
Namun, ketika suara riuh kecil terdengar dari meja-meja di sekitarnya, Hana mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
"Bos besar datang," bisik salah satu rekan kerjanya, Andien, dengan nada gugup.
Hana ikut melirik ke arah pintu masuk ruangan finance, di mana beberapa atasan sudah berdiri dengan sikap penuh hormat. Langkah sepatu mengisi ruangan dengan aura kewibawaan.
Dan saat sosok yang ditunggu itu masuk, Hana langsung membeku di tempatnya.
Dominic.
Pria itu berjalan dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan mahal berwarna hitam. Matanya tajam, wajahnya serius, begitu berbeda dengan Dominic yang biasa menggoda dan menggodanya.
Hana menelan ludah.
Dominic Lancaster.
Bos besar di perusahaan ini.
Kekasihnya.
Darah Hana seakan berhenti mengalir. Ia tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi.
Dominic melirik ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya matanya bertemu dengan mata Hana. Sesaat, pria itu tampak terkejut. Namun, dengan cepat, ekspresinya berubah menjadi senyuman tipis yang penuh arti.
Pak Surya, kepala divisi finance, segera menyambutnya. "Selamat siang, Pak Dominic. Kehormatan bagi kami Anda bisa mengunjungi divisi finance hari ini."
Dominic mengangguk santai. "Saya hanya ingin melihat bagaimana semuanya berjalan."
Ia melangkah mendekat, dan Hana masih belum bisa bernapas dengan normal.
Ketika akhirnya Dominic berdiri tepat di depan meja Hana, pria itu menatapnya dalam sebelum tersenyum tipis.
"Hana, sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" tanyanya, suaranya terdengar santai, tapi bagi Hana, itu seperti petir yang menyambar kepalanya.
Semua mata langsung tertuju pada Hana.
Hana menelan ludah, suaranya hampir tidak keluar. "E—Ehm… baru beberapa hari, Pak."
"Bagus." Dominic mengangguk, lalu melirik ke arah Pak Surya. "Saya harap dia tidak mendapatkan kesulitan. Hana adalah orang yang sangat cerdas."
Pak Surya tersenyum, tampak sedikit bingung. "Tentu saja, Pak. Hana sangat teliti dan cepat belajar."
Dominic masih menatap Hana. "Kalau ada yang mengganggumu, langsung laporkan pada saya."
Suasana mendadak hening. Semua orang di ruangan itu kini menatap Hana dengan penuh tanda tanya.
Kenapa CEO mereka tiba-tiba begitu perhatian pada karyawan baru ini?
Hana merasa jantungnya hampir meledak. Ia ingin menghilang saat itu juga.
Setelah berbicara sebentar dengan beberapa kepala divisi lainnya, Dominic akhirnya pergi. Namun, Hana tahu satu hal pasti.
Setelah ini, ia tidak akan bisa menghindari pertanyaan dari rekan-rekannya.
Dan benar saja. Begitu Dominic benar-benar meninggalkan ruangan, Andien langsung mendekatinya dengan mata berbinar.
"Hana… Kamu kenal Pak Dominic?" tanyanya penuh selidik.
Hana tertawa kecil, mencoba mengalihkan. "Kenal? Ya… hanya sebagai bos besar kita."
Andien mendengus. "Oh ayolah, itu bukan tatapan bos ke karyawan biasa. Dia jelas punya perhatian lebih ke kamu!"
Hana mencoba menghindar. "Mungkin dia hanya bersikap baik."
Tapi tidak ada yang benar-benar percaya dengan jawabannya.
Dan di dalam hatinya, Hana sendiri pun masih berusaha mencerna kenyataan ini.
Dominic adalah bos besarnya.
Dan ia tidak tahu apakah ini adalah awal dari sebuah tantangan baru atau justru sebuah masalah besar yang harus dihadapinya.
Hana masih belum bisa bernapas dengan normal setelah pertemuan singkat dengan Dominic di ruangannya. Rasanya seperti mimpi buruk sekaligus mimpi indah yang datang bersamaan.
Dominic Lancaster, pria yang selama ini menggenggam hatinya dengan erat, ternyata adalah CEO besar tempat ia bekerja. Dan lebih parahnya, Hana sama sekali tidak tahu.
Setelah Dominic pergi, pekerjaan terasa jauh lebih sulit. Bukan karena tugasnya yang berat, tapi karena seluruh rekan kerjanya kini mulai memperhatikannya dengan tatapan penasaran.
Namun, Hana tidak punya waktu untuk merenung lama. Beberapa jam setelahnya, ia mendapat pesan dari HRD yang memintanya datang ke lantai paling atas, ruang CEO.
Jantungnya hampir melompat keluar.
Dengan langkah ragu, ia naik ke lantai yang dimaksud, dan setelah mengetuk pintu besar berlapis kayu mahoni itu, suara berat yang sudah sangat ia kenal menyambutnya.
"Masuk."
Hana menghembuskan napas panjang sebelum melangkah masuk. Di sana, di balik meja besar dengan pemandangan kota yang luas, Dominic duduk dengan tenang. Matanya menatap Hana dengan penuh arti.
“Duduklah,” katanya lembut.
Hana menurut, meski tubuhnya terasa kaku. Ia merasa seperti seorang karyawan yang akan dimarahi atas kesalahannya.
Dominic menautkan jemarinya, lalu menatapnya dengan intens. “Jadi… ternyata kekasihku bekerja di perusahaanku sendiri, dan aku baru tahu hari ini.”
Hana menelan ludah. “Aku juga tidak tahu kalau ini perusahaan kamu…”
Dominic terkekeh, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Hana. Ia menyandarkan diri di meja di hadapannya, membuat jarak mereka semakin dekat.
“Kamu tahu? Aku tidak suka melihat kekasihku bekerja di bawah orang lain.”
Hana menatapnya dengan bingung. “Maksud kamu?”
Dominic menyeringai. “Mulai hari ini, aku ingin kamu jadi asistennya CEO. Jadi, aku bisa mengawasimu langsung.”
Hana terbelalak. “Tunggu… apa?”
Dominic menundukkan tubuhnya sedikit, membuat wajah mereka hampir sejajar. “Aku ingin kamu bekerja langsung denganku, Hana. Jadi aku bisa memastikan kamu tidak terlalu lelah, tidak ada yang berani mengganggumu, dan yang terpenting… kamu selalu ada di dekatku.”
Hana membeku. Tawaran ini jelas menggiurkan, tapi di saat yang sama…
“Kenapa… ini terlalu tiba-tiba. Bagaimana dengan posisi lamaku? Bagaimana dengan yang lain?”
Dominic mengangkat alis. “Kenapa? Kamu takut orang-orang berpikir kamu mendapat perlakuan khusus karena kita berpacaran?”
Hana menunduk, merasa sedikit malu.
Dominic tersenyum tipis, lalu mengangkat dagunya dengan jemarinya. “Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan, Hana. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Hana terdiam. Hatinya berperang antara menerima atau menolak.
“Beri aku jawaban besok,” kata Dominic lembut. “Tapi aku harap kamu tahu, aku tidak menerima jawaban ‘tidak’ dengan mudah.”
Hana menghela napas. Sepertinya, hubungannya dengan Dominic baru saja memasuki babak baru yang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Bersambung...