Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Adit merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut—setidaknya, itulah yang ia yakini. Tapi tatapan Kai, ketenangan pria itu saat mengucapkan setiap kata, membuatnya sulit mengabaikan tekanan yang perlahan menghimpit.
Di sisi lain, Eka tetap diam, tetapi ada kilatan di matanya yang sulit disembunyikan. Ia tidak pernah menyangka Kai akan ikut campur, apalagi berbicara seolah dirinya lebih dari sekadar masa lalu yang harus dihapus. Apa mungkin Kai tahu rencananya membalas dendam pada keluarga Wirawan? Pikiran itu terus berputar di kepalanya.
Adit mengeratkan rahangnya. "Kamu pikir aku akan percaya begitu saja? Aku tahu Eka lebih baik dari siapa pun. Dia cuma wanita biasa. Kamu hanya tertarik sesaat."
Kai tersenyum tipis—senyum yang penuh ejekan. "Kamu benar, aku tertarik. Tapi bukan sesaat. Dan yang jelas, itu bukan urusanmu."
Dari belakang, Rendi, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. "Pak Kai, sepertinya kita sudah cukup lama di sini. Ada pertemuan penting yang menunggu."
Kai mengangguk sebelum menatap Eka dengan lembut—kontras dengan sikapnya terhadap Adit. "Kembali ke ruanganku. Tunggu aku di sana."
Eka menelan ludah dan mengangguk pelan. Ia belum benar-benar memahami maksud Kai, tapi satu hal yang pasti, pria itu baru saja menegaskan posisinya. Saat masih terjebak dalam kebingungannya, pinggangnya tiba-tiba ditarik oleh Kai. Sebelum sempat bereaksi, keningnya dikecup dengan lembut.
"Jangan lama-lama di sini," ucap Kai tenang, lalu melangkah pergi diikuti Rendi. Namun sebelum sepenuhnya menghilang dari pandangan, ia berhenti sejenak dan melirik Adit.
"Oh, dan satu lagi." Suaranya rendah tapi tajam. "Jika aku mendengar kamu mencoba mengancam Eka lagi… aku pastikan KH Corp tidak akan pernah bekerja sama denganmu."
Ucapan itu menghantam kepercayaan diri Adit seperti palu godam. Matanya melebar, menyadari bahwa kesempatan terakhirnya bisa lenyap hanya karena satu wanita yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya.
Saat Kai benar-benar pergi, Eka menoleh ke Adit. Kali ini, tanpa ragu, ia melangkah lebih dekat. Suaranya rendah, tapi penuh kemenangan.
"Kamu tidak bisa menyentuhku lagi, Adit."
Adit mengepalkan tangan. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena amarah yang membara. "Jadi sekarang kamu sudah punya pendukung? Pantas saja banyak yang berubah darimu. Aku hanya tidak bisa membayangkan… kalau Pak Kai tahu kamu sudah tidur dengan sembarang lelaki, apa dia masih mau denganmu?"
Eka tersenyum miring, tatapannya penuh ejekan. Tapi ia tidak mau repot-repot menjawab. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan menuju lift, meninggalkan Adit yang masih berdiri di tempatnya—terbakar amarah dan kekalahan.
"Eka!" teriak Adit lantang. Tapi Eka sama sekali tidak menoleh hingga pintu lift tertutup.
Adit mengepalkan tangan semakin erat, napasnya memburu. "Tidak, aku tidak bisa membiarkan dia bersama Pak Kai. Jika itu terjadi, Eka pasti akan menghalangiku untuk bisa bekerja sama dengannya," gumamnya penuh tekad.
---
Eka baru saja sampai di ruangan Kai. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Masih banyak hal yang belum bisa ia cerna—terutama sikap Kai barusan. Selebihnya, ia masih terkejut pertemuannya dengan Adit. Lelaki itu tahu tentang hubungannya dengan Kai, dan Eka yakin Adit tidak akan melepaskannya begitu saja.
Eka ingin menjerit—seharusnya, sebulan lalu ia sudah membuat perhitungan dengan Adit. Namun, ia memilih untuk bersabar, menyusun semuanya dengan matang. Rencana balas dendamnya bukan sekadar membalas, tapi memastikan keluarga Wirawan jatuh tanpa kesempatan untuk bangkit kembali.
Pikirannya masih berantakan ketika suara pintu terbuka, membuatnya refleks menoleh. Kai masuk dengan langkah santai, menutup pintu di belakangnya sebelum melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. Tatapannya langsung tertuju pada Eka, mengamati ekspresi gelisah yang jelas terpampang di wajah wanita itu.
"Bukannya kamu ada meeting?" tanya Eka dengan nada gugup.
Sayangnya pertanyaan itu sama sekali tidak mendapatkan jawaban. Kai seperti biasa tetap mendominasi.
“Masih kepikiran dia?” suara Kai terdengar datar, tapi sorot matanya tajam, menusuk tepat ke dalam pikirannya.
Eka menelan ludah kasar, kelopak matanya menutup sebentar. “Aku hanya…” Ia menghela napas. “Aku tidak menyangka dia ada disini.”
Kai tidak segera merespons. Ia berjalan mendekat, lalu bersandar di meja kerjanya, menatap Eka tanpa berkedip. “Dan itu membuatmu takut?”
Eka menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tidak takut.”
Kai mendengus kecil, seolah tidak percaya. “Benarkah?” Tanpa peringatan, ia bergerak. Dalam satu langkah, ia sudah berdiri di hadapan Eka, membuat wanita itu spontan mundur. Namun, punggungnya segera terbentur dinding, dan sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tangan Kai sudah terangkat, menempel di dinding di samping wajahnya, mengurungnya di antara tubuhnya dan tembok dingin di belakangnya.
Jantung Eka berdebar kencang. “Patkai…”
Melihat sorot mata tajam Kai akhirnya Eka dengan nada pelan berkata lagi, "Kai..."
“Kalau kamu benar-benar tidak takut, kenapa kamu gemetar?” bisiknya, suaranya lebih rendah, lebih menuntut.
Eka menunduk, menyembunyikan tangannya yang sedikit bergetar. Ia tidak bisa membedakan apakah ini karena ketegangan, ketakutan… atau karena sesuatu yang lain.
Kai tidak bergerak menjauh. Sebaliknya, ia semakin mendekat, napasnya hampir menyentuh kulit Eka. “Aku tidak peduli dengan masa lalu kalian. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu.”
Eka mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu yang kini begitu dekat. “Apa?”
Kai menyeringai kecil. “Aku tidak berbagi.”
Eka mengerjap, dadanya terasa sesak karena intensitas yang diberikan Kai. “Apa maksudmu?”
Alih-alih menjawab, Kai mengangkat tangannya, menyelipkan jemarinya ke belakang leher Eka, ibu jarinya mengusap pelan di sana, membuat tubuhnya refleks menegang.
“Jika Adit pikir dia masih punya hak atasmu, aku ingin dia tahu satu hal,” Kai berbisik, matanya menelusuri setiap detail ekspresi Eka.
Eka menelan ludah. “Apa?”
Senyum Kai semakin tipis. Tanpa peringatan, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, bibirnya nyaris menyentuh telinga Eka. “Bahwa kamu sudah menjadi milikku. Dan kamu tidak boleh menyesal Eka! Kamu yang sudah memprovokasi aku untuk menikah denganmu kan?”
Seketika, Eka tersentak. Dadanya naik-turun dengan cepat, jantungnya berpacu dalam ritme tak terkendali. Kai tidak hanya sekadar mengatakan itu—ia menyatakan kepemilikannya dengan cara yang begitu nyata, begitu menuntut.
Ia ingin menyangkal. Ingin mengatakan bahwa dirinya bukan milik siapa pun. Tapi tatapan Kai membuatnya kehilangan kata-kata.
Hening melingkupi mereka. Ruangan terasa lebih sempit, udara di antara mereka semakin panas, menyesakkan, seolah mengunci mereka dalam ketegangan yang semakin memuncak.
Kai menatap bibirnya sekilas, lalu kembali menatap matanya. “Masih ingin bilang kalau kamu tidak takut?” bisiknya.
Eka menahan napas. Tubuhnya terperangkap di antara dinding dan Kai. Namun, ia segera menguasai dirinya, mengangkat tangannya untuk mendorong Kai agar sedikit menjauh.
“Patkai!”
Kai menatapnya lama, sebelum akhirnya menyipitkan mata.
Bibirnya melengkung, tapi kali ini bukan senyuman—melainkan peringatan halus yang jauh lebih berbahaya.
“Eka…” suaranya rendah, hampir terlalu pelan. “Sejak tadi, ini sudah dua kali kamu memanggilku begitu.” Ia mendekat sedikit lagi, cukup untuk membuat napas Eka tertahan. “Sekali lagi, kamu akan tahu akibatnya.”
Nada tenangnya justru terdengar lebih menantang daripada ancaman.
Namun, alih-alih mundur, Eka justru mendongakkan dagunya. Tatapannya penuh perlawanan.
“Siapa suruh kamu mesum?”
Kai tidak langsung menjawab. Tapi ekspresinya berubah. Kali ini, bukan kemarahan yang tampak di matanya—melainkan sesuatu yang lebih berbahaya. Sesuatu yang membuat bulu kuduk Eka meremang.
Dan saat Kai tiba-tiba bergerak, cepat dan tanpa peringatan, Eka baru sadar kesalahannya, ia terperangkap dalam sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan.