NovelToon NovelToon
PLAGUEHART

PLAGUEHART

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Penyelamat
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Widya Pramesti

Di kota Plaguehart, Profesor Arya Pratama melakukan eksperimen berbahaya untuk menghidupkan kembali istrinya, Lara, menggunakan sampel darah putrinya, Widya. Namun, eksperimen itu gagal, mengubah Lara menjadi zombie haus darah. Wabah tersebut menyebar cepat, mengubah penduduk menjadi makhluk mengerikan.

Widya, bersama adiknya dan beberapa teman, berjuang melawan zombie dan mencari kebenaran di balik wabah. Dengan bantuan Efri, seorang dosen bioteknologi, mereka menyelidiki lebih dalam, menemukan kebenaran mengerikan tentang ayah dan ibunya. Widya harus menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan yang menentukan nasib kota dan hidupnya.

Mampukah Widya menyelamatkan kota dengan bantuan Dosen Efri? Atau justru dia pada akhirnya ikut terinfeksi oleh wabah virus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pramesti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu Kembali Dengan Widya

Truk militer itu melaju cepat, menembus hujan deras, dan suara mesin berdengung keras bersaing dengan gemuruh langit yang tak kunjung reda. Bryan menggenggam kemudi dengan erat, menatap ke depan, sementara Sersan Arif duduk di sampingnya, matanya terpejam sejenak, mengatur napasnya yang mulai terengah-engah setelah berlari, berhasil dari kejaran zombie. Tiba-tiba, Arif membuka matanya dan menatap peta yang ada di tangannya dengan seksama.

"Belok kiri!" perintah Arif, suara tegasnya memecah kesunyian. "Kita akan berhenti di pom bensin terbengkalai. Kemungkinan di sana aman, dan kita bisa beristirahat sejenak disitu."

Bryan menoleh sejenak, langsung berputar setir ke kiri begitu melihat belokan yang dimaksud. Sementara itu, di belakang truk, anggota tim militer duduk dengan cemas, tubuh mereka terguncang karena truk semakin melaju kencang. Sedangkan Gio, yang duduk di dekat pintu belakang truk, menopangkan tangannya di ujung senjata yang ditegakkan di hadapannya.

Gio, melirik sekilas ke arah Laura yang duduk berhadapan dengannya. Dia melihat dengan jelas ujung kuku Laura yang mencuat tajam, tersembunyi di balik lengan jaketnya yang besar. "Apa itu...?" gumam Gio dalam hati, merasa sedikit khawatir.

Gio menatapnya lebih lama, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sedangkan Laura yang menyadari bahwa Gio sedang memerhatikannya, sedikit menundukkan kepalanya dan menggeser tangannya dengan cepat, menyembunyikan tangannya di balik lengan jaket, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu.

"Kenapa dengan tanganmu, Laura?" tanyanya dengan suara pelan, merasa ada yang tidak beres semenjak Laura menyembunyikan tangannya.

Laura tidak menjawab. Kepalanya semakin menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan Gio, dan tangannya melipat lengan jaketnya lebih rapat.

Sementara itu, Leon yang duduk di sebelah Gio, menyenggol bahunya. "Kenapa kau bertanya padanya? Ada apa?" bisiknya. Tapi, Gio mendekatkan bibirnya ke telinga Leon dan berbisik dengan nada khawatir, "Aku melihat kuku tajam dari balik jaketnya, Leon," bisik Gio dengan suara pelan, berusaha agar hanya Leon yang mendengar.

Leon langsung terdiam, matanya terbelalak. Sejenak, dia menatap ke arah Laura, juga merasakan ada yang tidak beres dengan Laura sejak pertama kali, wanita ini ditemukan di toko baju. "Iya, aku juga merasa ada yang janggal dari dia sejak awal," jawab Leon dengan suara pelan, menyadari hal yang sama.

"Aku rasa kita harus hati-hati," ujar Leon, mengalihkan pandangannya. Namun, Laura mendengar pembicaraan mereka meski dalam bisikan. Dia tersenyum sinis, seolah menyadari bahwa Gio dan Leon mulai curiga.

Di luar, hujan semakin deras. Sedangkan Arif, menatap sekitar jalan. Truk militer itu hendak tiba di depan pom bensin yang terbengkalai, namun Arif menyipitkan matanya, memastikan apa yang baru dilihatnya. Matanya menangkap sosok yang begitu familiar, Widya, wanita yang sangat dicintainya hendak berdiri tegak, di samping anak kecil yang tidak dia kenali, saat truk memasuki halaman pom bensin terbengkalai tersebut.

"Bryan, berhenti!" perintah Arif, suaranya tegas.

Bryan menekan pedal rem, dan truk itu akhirnya berhenti dengan suara berderit, membuat seluruh tubuh mereka terguncang. Semua anggota yang dibelakang truk, terdiam, bingung. Mereka mengira truk itu mogok.

Gio yang terkejut, segera memegang Earpiece, mencoba menghubungi Sersan Arif. "Sir, kenapa kita berhenti?" tanyanya, cemas. "Bukankah bensinnya sudah terisi?"

Di dalam truk, Arif menjawab dengan suara tenang namun penuh makna. "Truknya aman. Kita berhenti karena aku melihat Widya," jawabnya, menatap Widya berdiri di luar bersama anak kecil, Anna, yang sudah bersembunyi sedikit di belakang kakinya, tampak ketakutan dan bingung melihat truk militer yang sudah berhenti dihadapan mereka.

"Widya!" seru para anggota serentak, saling memandang, setelah mendengarkan perkataan Sersan Arif melalui Earpiece. Sejenak menoleh ke luar, terkejut melihat sosok yang berdiri di tengah hujan. Itu benar-benar Widya, dan bersama Anna yang terlihat cemas. Mereka tampak basah kuyup, tubuhnya menggigil karena hujan yang terus mengguyur.

"Iya, Widya. Dia bersama seorang anak kecil yang tampak asing, dan mereka tampaknya bersih. Belum terinfeksi sama sekali," lanjut Arif, senyum lega muncul di wajahnya.

"Syukurlah," gumam semua anggota, dengan suara lega, senang melihat Widya yang masih hidup.

Tanpa menunggu lama, Arif membuka pintu truk depan, melompat turun, dan berlari menembus hujan deras, menghampiri Widya. Sedangkan para anggota militer, tanpa aba-aba dari Sersan Arif, ikut turun dan melangkah dekat, berdiri di sebelah pintu depan truk yang dimana Bryan masih duduk dengan tangan di atas stir.

Arif, tanpa banyak kata, segera memeluk Widya dengan erat. "Syukurlah, kamu masih selamat, Widya," bisiknya, suaranya teredam di tengah hujan.

Widya, yang terkejut dengan pelukan Arif, perlahan membalas dengan canggung. "Arif!" serunya. "Aku… aku kira, kalian melupakanku dan tidak akan mencariku sampai ke sini," ujar Widya dengan suara yang sedikit terbata-bata.

Sejenak, Arif tersenyum lembut, perlahan melepaskan pelukannya, memegang wajah Widya, dan menatapnya dengan dalam. "Kita ini satu tim. Jadi, apapun yang terjadi, kami akan mencari kamu," balas Arif dengan suara rendah.

Widya menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. "Terima kasih... Kalian sudah berjuang mencariku. Tapi, aku... aku merasa sangat bersalah. Semua ini terjadi karena ulah ayahku... kota ini sekarang dipenuhi zombie," katanya dengan suara tercekat, dan air matanya mulai mengalir tanpa bisa dia tahan.

Arif terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan mantan kekasihnya. "Tidak perlu minta maaf. Karena ini, bukan salahmu," katanya dengan lembut, meraih wajah Widya dan menyeka air matanya yang sudah bercampur dengan air hujan. "Dan aku, akan tetap berada di sisimu walaupun kota ini sudah sepenuhnya jadi kota mati karena wabah zombie."

Namun, tangisan Widya meledak begitu saja, dia memeluk Arif lebih erat, seakan mencoba melepaskan semua beban yang sudah lama terkumpul di hatinya. Dia menangis bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk semua orang yang terinfeksi, untuk semua yang telah kehilangan nyawanya akibat wabah yang tak terkendali.

Arif hanya bisa membalas pelukan Widya dengan erat, namun lembut dan nyaman. Dia mencoba menenangkan Widya, tapi tatapan Arif sekilas melirik ke arah Anna yang masih bersembunyi di belakang kaki Widya.

Sementara itu, dari dalam truk, Bryan hanya memandang dengan ekspresi datar, meraih satu batang rokok, menghidupkan korek api, lalu mengisapnya dengan tenang, mengeluarkan segumpal asap tebal dari mulutnya. "Sudah lama nggak lihat pemandangan begini," ejeknya dengan nada sarkastis.

Jack, yang berdiri dekat pintu depan truk, mendongak ke atas karena truk itu sedikit tinggi. Dia menatap ke arah Bryan dengan senyum usil. "Apa kau juga mau seperti mereka, Bryan?" tanyanya sambil menggoda. Bryan hanya mengangkat bahu dan mengangguk.

Jack tersenyum sinis, lalu dengan nada serius berkata. "Aku tahu caranya!"

Sedangkan Bryan, menoleh sejenak ke bawah pada luar truk. Dan dia, mengernyitkan dahinya, memandang Jack dengan bingung. "Apa, caramu?" tanya Bryan, penasaran.

Jack tertawa kecil. "Berikan rokokmu. Setelah itu, kamu akan tahu jawabannya," katanya sambil menunggu Bryan untuk memberikan rokoknya. Tapi, jawaban itu membuat Bryan merasa tertipu dan kesal karena Jack suka usil dengannya.

"Jack!" teriak Bryan, menatapnya dengan tajam. Namun, anggota lain tertawa terbahak-bahak, merasa lucu melihat Bryan berhasil di tipu dengan cara halus.

Namun, hujan semakin deras dan langit semakin mengguntur. Bryan yang mencoba meredakan rasa kesalnya terhadap Jack, menyuruh teman-temannya untuk kembali masuk ke truk. "Sepertinya kalian harus naik ke truk," katanya dengan nada antusias.

Semuanya mengangguk. Sementara Gio, tiba-tiba berteriak, menyuruh Arif dan Widya untuk segera naik ke dalam truk. "Sir! Ayo, kita ke truk! Kembali ke markas!" serunya, berteriak dengan suara tersamar di balik suara hujan yang begitu deras.

Arif menoleh, mendengar teriakan Gio. Namun, saat itu Arif melepaskan pelukan Widya, dan tangisannya mulai mereda. Dan dia, kembali menatap Widya dengan serius. "Ayo, kita naik ke truk. Kita harus kembali ke markas," kata Arif dengan tegas.

Widya sedikit ragu, matanya menatap Arif, dan menolak dengan cara yang lembut. "Arif," ucapnya dengan suara rendah. "Maaf, aku tidak bisa kembali ke markas."

Namun, Arif menatapnya bingung. "Kenapa? Kenapa tidak bisa?" tanyanya dengan penuh kecemasan sert penasaran. Dengan cepat, Widya menarik napas panjang, ekspresinya terlihat serius dan menjawab. "Aku harus mencari adikku, Alvin. Dia masih di kampus. Aku yakin dia masih hidup, tapi terjebak di sana."

Arif terdiam sejenak, meresapi kata-kata Widya. "Kalau memang kamu mau menyelamatkan Alvin, biar kami ikut membantumu, karena itu tugas kita sebagai pasukan militer," jawab Arif, dengan penuh keyakinan. "Dan, tadi kami juga menemukan satu warga yang tidak terinfeksi. Sekarang ada di dalam truk."

Widya sedikit terkejut mendengarnya. "Satu warga? Dimana?" tanyanya, penasaran.

"Di toko baju," jawab Arif singkat.

Widya menatap Arif dengan mata lebar, tidak percaya, serta mencurigai sesuatu. "Di toko baju? Apa kamu yakin dia tidak terinfeksi?"

Arif mengangguk dengan yakin. "Aku yakin. Kelihatannya dia normal dan bisa di ajak berkomunikasi dengan baik layaknya manusia."

Widya terdiam sejenak, tampak ragu, namun dia akhirnya mengangguk. "Oke, kalau gitu kalian boleh menyusul di belakang," jawabnya, berharap teman-temannya tidak salah membantu dan mengangkut warga sembarangan dalam keadaan kota yang semakin hancur. "Tapi, aku titipkan anak ini, namanya Anna. Tolong sembuhkan luka tembak di lengannya, karena aku akan naik motor itu untuk ke kampus."

Arif melirik motor Harley yang terparkir di dekat mereka dan kemudian menatap Anna, yang masih tampak cemas dan takut. "Aku akan sembuhkan luka pada anak ini. Tapi, apa kamu memiliki senjata untuk ke sana?" kata Arif, bertanya dengan wajah serius.

Widya menggeleng. Dan Arif, segera meraih dua pistol kecil pada tas kecil di kedua sisi pinggangnya, langsung menyerahkan dua pistol kecil kepada Widya. "Ini untukmu."

Widya mengambil pistol-pistol itu dengan cekatan dan memeriksa pelurunya yang masih terisi penuh. "Oke, aku harus pergi sekarang," katanya, menatap Arif dengan senjata besar yang tersisa, di sangkut ke bahunya. Kemudian, Widya berbalik untuk mengelus kepala Anna dengan lembut. "Anna, kamu ikut dengan mereka, ya. Aku harus menyelamatkan adikku."

Anna, yang masih merasa takut, menatap Widya dengan penuh kecemasan, menggenggam tanganya dengan erat. Sementara Widya, menyadari ekpresi Anna yang ketakutan, mencoba membungkuk sedikit tubuhnya dan menatap Anna dengan penuh perhatian. "Jangan takut, Anna. Mereka ini rekanku, tim militer. Ini Sersan Arif, yang akan menjaga kamu selama aku tidak ada di sisi kamu," jelas Widya dengan suara lembut, berusaha menenangkan Anna.

Dengan berat hati, Anna mengangguk. "Tapi, kamu harus berjanji untuk tidak meninggalkanku dalam waktu yang lama, kan?" katanya, bertanya dengan suara bergetar.

Mata Anna, mulai berkilat khawatir. Dia mengangkat jari kelingkingnya dihadapan wajah Widya. "Kamu harus berjanji, untuk kembali dengan selamat!" serunya, suara terdengar pelan.

Seketika itu, Widya tersenyum tipis, meraih jari kelingking Anna, mengaitkannya dengan jari kelingkingnya sendiri. "Aku janji. Aku akan kembali," ujarnya, suara penuh tekad.

Anna menggenggam erat jari kelingking Widya, dan sedetik itu jari mereka terlepas secara perlahan. Widya, sejenak mengelus kepala Anna kembali, berbalik, dan melangkah ke arah motor Harley yang terparkir, siap melanjutkannya perjalanannya menuju kampus.

Sedangkan Arif, mulai menuntun Anna menuju bagian belakang truk, melangkah lebih cepat. Sesampainya di belakang truk, Arif mengangkat Anna dengan hati-hati, membawanya ke dalam truk yang ternyata sudah di penuhi anggota militer. Lalu, dia menurunkan Anna dengan lembut di bangku belakang truk.

Sejenak, Arif menatap ke arah Wilona dan memerintah anggotanya, untuk menjaga Anna serta mengobati luka pada lengannya.

"Wilona, tolong obati lengannya yang terkena tembakan," ujar Arif, dengan cepat melanjutkan kalimatnya. "Namanya Anna, tapi aku belum bertanya, kenapa anak ini bisa bersama Widya dan kenapa ada luka tembakan pada lengannya?"

Wilona mengangguk. Dia menarik Anna, yang tampak kelelahan, terluka dan ketakutan saat melangkah melewati Laura yang menundukkan wajahnya.

Anna tampak seperti mengenali Laura, yang menyamar di balik jaket besarnya itu, namun dirinya berusaha untuk tenang dan melangkah dekat menuju Wilona yang duduk di dekat Laura serta Claudia.

Bau darah yang masih menetes dari lengan Anna, membuat indra penciuman kelaparan pada Laura menajam. Dia berusaha menahan dirinya untuk tidak menerkam, Anna.

"Bau darah ini... membuat aku semakin lapar. Tapi, sepertinya anak ini tidak asing," katanya di dalam hati. Sejenak, dia menoleh sedikit, dengan wajah masih sedikit menunduk, melirik Anna yang hendak di obati lukanya agar tidak terinfeksi, oleh Wilona yang sangat memahami hal medis. "Ternyata dia. Tapi, dimana Widya? Bukankah anak ini tadinya bersama Widya?"

Laura mencoba mengangkat kepalanya, menatap keluar, melalui celah jendela kecil pada truk militer. Beruntung, dia sempat melihat Widya yang hendak melajukan motor Harleynya ke jalanan.

"Widya! Ternyata kau tadi bersembunyi di tempat ini?" gumamnya di dalam hati, sebuah senyum miring terukir di bibirnya yang kaku. Dengan cepat, dia menundukkan wajahnya kembali. "Aku tidak sabar, ingin membunuhmu dan mencicipi darahmu, Widya."

Sedangkan Gio, yang masih duduk dihadapannya kembali, sekilas melihat sebuah senyuman mengerikan di sudut bibir Laura. "Sangat mencurigakan!" pikir Gio, di dalam hatinya. "Kenapa, dia harus tersenyum seperti itu, saat melihat ke arah Widya?"

Di sisi lain, Arif segera kembali ke depan truk, masuk, dan duduk di sebelah Bryan. Dia memeriksa peta lagi, memastikan jarak ke kampus tidak terlalu jauh. "Bryan, tetap ikuti Widya. Kita akan menuju ke kampus tempat Alvin berada," perintah Arif dengan suara tegas.

1
Pompon
lanjut kak, btw semangat berpuasa ya kak
Pompon
alah mimpi kirain beneran udah tegang bet tadi cak🥴
🟢Widya Dya: jangan lupa sediakan air putih/Facepalm/
total 1 replies
Bluery
jangan-jangan Roger sudah terinfeksi? tapi bukannya dia belum terkena gigitan zombie?😱🤔
Bluery
Alur ceritanya menarik, ada bagian part tersedih,. menegangkan, dan novel ini sangat keren karena banyak sekali cerita aksinya yang membuat pembaca semakin penasaran dan suka/Rose/
Bluery
siapa yang naro bawang disini/Cry//Scowl/
Bluery
😱😱
Bluery
Beautiful/Drool/
Bluery
uwuuu/Chuckle/
ESdoger
bikin merinding
ESdoger
keren ceritanya
ESdoger
Beneran menegangkan dan ceritanya menarik untuk di baca👍 alurnya keren, susah di tebak dan banyak misteri yang belum terpecahkan.
ESdoger
lari ada zombie😱
ESdoger
Jadi ini prof yang menciptakan virus zombie itu?
ESdoger
baru 2 bab udah bikin penasaran
Lovely
Nah, Caver Utama sangat mendukung.
Syari Andrian
Waahhh.. Jangan sampai Laura itu nyerang mereka pas di mobil... Aku curiga kalau dia juga hasil eksperimen dari ayahnya Widya dan ayahnya ana
Pompon
bagus banget, updatenya jangan terlalu lama semangat terus buat author nya 😁😆
🟢Widya Dya: makasih, sorry agak lama updatenya krns Authornya sibuk kerja jarang ada waktu luang🙏🏻😇
total 1 replies
Pompon
langsung buang aja tu orang tendang dari truk biar mampus/Hammer//Hammer/
BuayaMT🐊
Ceritanya bagus, alurnya sangat bagus. Di karya "PLAGUEHART" ini menceritakan sebuah wabah dari ekperimen yang tidak manusiawi, namun penuh banyak misteri. Ekperimen itu dilakukan oleh Professor Arya, tapi tidak menemukan obat penawar dan malah ikut terinfeksi menjadi zombie.
🟢Widya Dya: makasih
total 1 replies
BuayaMT🐊
Seru banget Thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!