Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Hujan baru saja berhenti sore itu, meninggalkan aroma aspal yang basah dan kabut tipis yang menyelimuti jalanan kota. Di lantai tiga gedung tua yang warnanya mulai pudar, sebuah papan bertuliskan “Red-Eye Detective Agency” menggantung setengah miring, dihempas angin berkali-kali seperti menolak jatuh. Di balik jendela buram, Bagas Pratama duduk diam, dikelilingi kabut asap rokok kretek yang berputar lambat di udara.
Bagas menatap secangkir kopi hitam di hadapannya, yang sudah dingin sejak pagi. Pikirannya melayang-layang, entah sedang memikirkan kasus lama atau sekadar merenungi nasib hidupnya yang selalu dikelilingi aroma kematian dan misteri. Dinding kantornya dipenuhi tempelan kertas, foto-foto buram, dan coretan yang hanya dimengerti olehnya. Di sudut ruangan, sebuah mesin ketik tua berdiri, berdebu, tapi tetap siap dipakai kapan saja.
Suara langkah sepatu tinggi berderap dari luar, semakin mendekat ke pintu kantornya. Satu-dua ketukan terdengar, pelan, namun cukup memberi kesan bahwa si empunya langkah datang dengan tujuan yang mendesak. Bagas menoleh, tanpa minat, dan mengucapkan satu kata yang biasa ia katakan pada klien yang datang dengan harapan berlebihan.
“Masuk.”
Pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang wanita bergaun hitam, wajahnya ditutupi topi bulu lebar. Nyonya Ramelan — perempuan anggun yang terlihat seperti baru saja meneteskan air mata, namun bibirnya tersenyum lemah. Ia berjalan mendekat, sepatu hak tingginya berbunyi menggetarkan lantai kayu usang.
“Bapak Bagas Pratama?” tanyanya, suara lembut namun bergetar, seperti menahan sesuatu.
Bagas hanya mengangguk. Tanpa basa-basi, ia menunjuk kursi di depannya dengan gerakan tangan yang nyaris tak terlihat. Wanita itu duduk, mengatur posisi gaunnya dengan canggung, lalu menghela napas panjang.
“Suami saya… Pak Ramelan…” ucapnya, terputus-putus. “Dia meninggal… tapi tidak wajar.”
Bagas menatapnya datar, mengamati wanita itu tanpa ekspresi. Diam-diam ia memperhatikan hal-hal kecil — cara wanita itu menggenggam tasnya erat, cara matanya sesekali melirik ke arah cangkir kopi di meja, atau bagaimana cincin di jarinya sedikit longgar. Semua hal itu adalah petunjuk, bagi Bagas.
“Polisi bilang dia jatuh dari tangga. Kecelakaan,” lanjutnya dengan nada getir. “Tapi… saya tahu suami saya lebih hati-hati dari itu. Saya rasa… seseorang menginginkannya mati.”
Bagas menyentuh ujung jarinya ke bibir, isyarat bahwa ia mendengarkan dengan penuh perhatian, meski dari tatapannya, seolah-olah ia sudah tahu setengah dari cerita ini.
“Kenapa datang ke saya, Nyonya Ramelan?” tanyanya datar, suaranya rendah namun terasa menusuk, seakan mempertanyakan keputusannya yang terdengar konyol.
Wanita itu terdiam sejenak, jelas tidak siap dengan pertanyaan itu. “Anda adalah detektif swasta terbaik di kota ini. Kata orang, Anda tidak hanya menangkap bukti, tapi juga mengerti… apa yang ada di baliknya.”
Bagas mengangkat alis tipis. Satu-satunya pujian yang ia terima hari itu, dan ia tidak tahu harus merasa tersanjung atau sekadar menahan tawa kecil. “Polisi sudah menyimpulkan, Nyonya. Apa yang membuat Anda tidak percaya?”
Nyonya Ramelan mengeluarkan sebuah amplop merah tua dari tasnya, dengan tangan gemetar. Ia menyerahkannya kepada Bagas, yang menerimanya dengan enggan, seakan surat itu membawa sebuah malapetaka. Bagas membuka amplop itu, mengeluarkan selembar kertas dengan satu kata yang tertulis di tengahnya: “Utang.”
Bagas membaca kata itu berulang kali, tak ada ekspresi yang berubah di wajahnya. Namun matanya berbinar, dengan sorot yang hanya muncul saat ia mencium bau misteri.
“Apakah suami Anda punya utang, Nyonya?” tanyanya pelan, matanya tak lepas dari amplop merah itu.
Nyonya Ramelan menggeleng cepat, tapi ada keraguan dalam gerakannya, seakan menyembunyikan sesuatu. “Tidak. Tidak yang saya tahu…”
Bagas menaruh amplop itu di meja, lalu menatap tajam, menusuk langsung ke mata wanita itu. “Kebohongan, Nyonya, hanya akan membawa Anda lebih jauh ke dalam kegelapan. Katakan yang sebenarnya.”
Wanita itu terdiam. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya ia menarik napas panjang, mengakui dengan suara kecil, “Pak Ramelan punya urusan… urusan lama, dengan orang-orang yang… tidak mudah dilepaskan begitu saja.”
Bagas menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis muncul di bibirnya. “Dan sekarang, orang-orang itu ingin balas dendam.”
Nyonya Ramelan tampak ketakutan, wajahnya semakin pucat. Namun, ia tak sanggup menyangkal pernyataan Bagas. “Saya mohon, Bapak Bagas. Cari tahu siapa yang melakukan ini pada suami saya. Saya tidak tahu harus kemana lagi.”
Bagas menutup matanya sejenak, berpikir dalam-dalam. Setelah hening beberapa saat, ia membuka mata, kali ini dengan tatapan dingin dan tajam yang sudah siap menerjang apapun yang ada di depannya.
“Saya akan cari tahu, Nyonya. Tapi jangan berharap hasil yang nyaman,” ujarnya tajam.
Wanita itu hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca. Bagas berdiri dan mengantar wanita itu keluar. Ketika pintu menutup, Bagas duduk kembali dan menatap amplop merah tua itu dengan tatapan yang penuh makna.
“Utang,” gumamnya pelan. “Kita lihat seberapa dalam utang ini tertanam.”
Dengan itu, ia mengambil sebatang rokok lagi, menyalakannya dengan pemantik kuno, dan mulai merancang langkah pertama untuk membongkar teka-teki kematian Pak Ramelan.
---
Semangat.