Takdir seakan mempermainkan kehidupan Lintang Arjuna, ia yang dulu harus merelakan Danu, sang kekasih untuk menikahi kakaknya, kini ia harus terlibat hubungan kembali dengan pria di masa lalunya.
Lintang terpaksa naik ranjang dengan mantan kekasihnya karena permintaan sang ibu demi bayi kembar yang dilahirkan Libra, sang kakak.
Bagaimana Lintang mampu bertahan dalam pernikahannya di tengah kebencian Danuar Anggara yang masih memuncak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Mengalah
Malam sudah larut, tetapi Mas Danu belum pulang ke rumah sementara ibu mertua dan Gina masih berada di rumah kami, lebih tepatnya rumah Mas Danu sendiri.
"Apa Danuar memang biasa pulang malam?" tanya ibu mertua seraya menuruni tangga, menghampiriku yang sedang duduk di ruang tamu.
"Terkadang Ma, mungkin pekerjaannya belum selesai," ucapku agar mama Mas Danu tidak khawatir. Beliau hanya mengangguk lalu duduk di sampingku.
"Anak-anak sudah tidur, kalau kamu mau tidur duluan silahkan biar Mama yang menunggu Danuar," ucapnya pelan. Aku menggeleng, tidak sopan rasanya jika tidur duluan sementara adik ipar dan ibu mertua masih belum pulang.
"Mama mau menginap di sini?" tanyaku memastikan.
"Tadinya iya karena aku pikir kamu sakit, tapi karena sehat dan anak-anak sudah ada pengasuh sepertinya mama memang harus pulang, kasihan papa di rumah–"
Belum selesai beliau berbicara, ponsel di tangannya berdering.
"Sebentar." Wanita itu berdiri kemudian mengangkat telepon. Dalam sekejap raut wajahnya menjadi pucat.
"Ada apa Ma?" Aku menjadi gelisah, jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Mas Danu.
"Papa ... penyakit vertigo papa kambuh. Aku harus segera pulang. Gina kita pulang sekarang!" Ibu mertua tergesa-gesa pergi.
"Tunggu Ma, saya mau ikut!" seruku seraya mengejar langkah ibu mertuaku.
"Kamu temani si kembar saja! Ini sudah malam sekali, nanti kalau ada apa-apa Mama akan menelponmu. Lagipula nanti kalau Danuar pulang tidak ada kamu, dia bisa marah lagi." Mau tidak mau aku menyetujui perkataan ibu mertua.
Dalam sekejap Gina dan mama sudah pergi dengan mobil. Aku menatap kepergian mereka dengan perasaan tidak menentu kemudian duduk sofa dengan menutup wajah dengan kedua tangan. "Semoga papa dan semuanya baik-baik saja," lirihku lalu menghela napas panjang seraya menyandarkan diri pada sofa.
Jam berdentang satu kali pertanda sudah masuk tengah malam, namun Mas Danu belum pulang juga. Pekerjaan apa yang dilakukan sampai larut malam begini? Aku menatap ke segala penjuru rumah yang hening, bahkan jika ada jarum yang patah suaranya mungkin akan kedengaran.
Ponsel di sebelahku berdering, dengan sigap tanganku meraih benda pipih itu. Ini pasti Mas Danu, mungkin saja dia akan memberikan kabar tentang keberadaannya. Apakah Mas Danu langsung pulang ke rumah papa? Oh ya aku lupa bahwa mama belum memberikan kabar padaku. Namun, ada sedikit kekecewaan setelah melihat siapa orang yang menelpon.
"Bagaimana keadaan papa, Gin?" tanyaku pada gadis yang bergelar adik iparku.
"Sudah membaik Mbak. Mas Danu belum pulang?" Gina melirihkan ucapannya ketika menyebut nama Mas Danu.
"Belum Gin, dia lembur malam ini, katanya besok baru akan pulang." Aku terpaksa berbohong agar keluarga Mas Danu tidak khawatir. Mereka sudah mengkhawatirkan keadaan ayah mertua, jangan sampai bertambah beban pikiran karena Mas Danu.
"Oh syukurlah kalau begitu. Sudah dulu ya Mbak, aku cuma disuruh kasih kabar agar Mbak nggak khawatir."
"Iya Gin." Tidak menunggu lama Gina memutuskan sambungan telepon. Aku meletakkan ponsel kemudian berjalan keluar. Mencoba mengamati keadaan di luar, siapa tahu ada pertanda Mas Danu akan pulang.
Sayangnya setelah setengah jam aku di luar tidak ada tanda-tanda kedatangan Mas Danu. Aku meraih ponselku kembali, menahan napas lalu mencoba menyingkirkan ego dan menelpon dirinya. Panggilan masuk, tetapi tidak diangkat. Dia masih marah sehingga mengabaikan panggilan dariku ataukah dia memang masih sibuk?
Lelah, dan rasa kantuk mendera membuatku menyerah. Aku mengunci pintu, mematikan lampu kemudian merebahkan tubuh di atas sofa lalu memejamkan mata.
Masih terasa sekejap mata ini terpejam, tiba-tiba terdengarsuara pintu dibuka. Aku tersentak kaget lalu seketika duduk. Aku pikir ada maling yang sudah berhasil menelusup masuk ke rumah ini. Aku mengucek mata dan mencoba melebarkan pupil mataku agar bisa melihat dengan jelas.
Klik.
Terdengar sakelar dipencet kemudian ruangan menjadi silau di mataku. Sesosok pria berjalan mendekat dengan tas di tangan. Aku langsung menyadari kalau pria tersebut adalah Mas Danu.
Aku bangkit dan berjalan ke arahnya. Mencoba menjadi istri baik meskipun tidak diinginkan. Kuraih tas kerja di tangannya dan mencoba bicara lembut dengannya.
"Kenapa baru pulang, Mas? Apa sangat sibuk?"
"Bukan urusanmu!" Mas Danu menepis tanganku dan berjalan cepat menaiki tangga, meninggalkanku dengan menjinjing tas kerjanya.
Aku mengusap dada dan menghela napas, sesaat kemudian mengejarnya ke atas. "Paling tidak aku harus tahu apa yang Mas Danu lakukan di luar."
Dia berbalik dan menatapku tajam. Apa ada yang salah dengan ucapanku?
"Maksudku agar aku tidak khawatir, bagaimanapun aku ini istrimu, Mas. Apa yang akan aku jawab jika mama menanyakan keberadaanmu?"
"Sudah bicaranya?" Nada suaranya begitu dingin, tetapi aku tidak peduli.
"Tadi penyakit papa kambuh."
Dia tertegun, sesaat kemudian melanjutkan langkahnya kembali.
"Mas sudah makan?" Entah kenapa aku jadi perhatian padanya. Apakah perkataan mama mempengaruhi suasana hatiku? Entahlah yang jelas kali ini aku tidak ingin berdebat dengan Mas Danu dan merasa tidak masalah jika harus mengalah.
Dia tidak menjawab dan meninggalkanku dalam kebekuan. Ketika aku melihat Mas Danu menutup pintu aku berjalan menuju kamar keponakanku dan merebahkan kembali tubuhku di sana.
"Ya ampun, kenapa aku sampai lupa dengan buku diary Kak Libra?" Aku menekan-nekan kepalaku yang mudah lupa. Di dalam hati berharap agar Mas Danu tidak menemukan benda itu. Besok setelah mas Danu Kembali bekerja aku akan segera mengambilnya.
Aku pikir setelah kepulangan Mas Danu aku akan tidur dengan nyenyak, pada kenyataannya aku malah semakin tidak bisa tidur. Untuk itu aku aku aku memilih mengamati kedua bayi yang masih tertidur pulas.
"Nyonya belum tidur?" Pengasuh kedua bayi masuk dengan membawa dua botol susu.
"Tidak bisa tidur. Mbak mau ngasih susu?" tanyaku seraya menatap kedua tangannya.
"Iya Nyonya. Sesuai aturan Nyonya 2 jam sekali," ucapnya.
Aku mengangguk dan berkata, "Sebenarnya itu anjuran dokter anak," jelasku dan si Mbak balik mengangguk.
Aku bangkit dan meminta botol yang satunya. Daripada tidak ada kegiatan lebih baik aku membantu si Mbak menangani keponakanku.
"Biar saya saja Nyonya." Awalnya dia menolak, mungkin tidak enak padaku. Namun setelah mengatakan aku bingung mau mengerjakan apa di saat tidak bisa tidur begini dia langsung memberikannya.
Selesai memberikan susu dan mengganti popok, aku lanjut memasak ke dapur karena bibi sudah memberikan kabar tidak bisa kembali bekerja untuk sementara.
Baru saja selesai memasak, aku melihat Mas Danu sudah siap kembali dengan jas kerjanya. Haruskah dia bekerja sepagi ini setelah semalaman lembur?
"Mas, sudah mau berangkat? Ini masih jam 5 loh." Mungkin Mas Danu ngelindur sehingga salah melihat jam. Dia hanya menatapku tanpa kata.
"Untuk yang kemarin, aku minta maaf."
Dia sama sekali tidak merespon permintaan maafku.
"Makan dulu yuk Mas, aku sudah memasak untuk kita."
Dia tersenyum pahit. "Jurusmu nggak mempan padaku." Dia pergi begitu saja setelah membuat hatiku kembali terluka.
"Aku harus bagaimana, Mas?"