Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20
"Ckckk konyol"Pak Arsya membuang pandangannya ke arah kanan lengkap dengan tarikan napas panjang.
"Aku tahu beliau mamahnya bapak, tapi ini bukan omong kosong ataupun fitnah, entah bu Prily serius atau enggak, yang pasti aku mendengarnya sendiri" Ujarku meski sedikit gelagapan.
Hening. Kami sama-sama diam dengan pandangan lekat saling tatap.
Meski tak mengatakan apapun, tapi sikapnya itu jelas membuatku merasa bahwa tak seharusnya aku mengucapkan kalimat tadi. Sudah pasti sebagai anak, dia sangat tersinggung ada orang yang menjelekkan mamahnya. Dari binar matanya aku paham betul kalau dia sedih mendengarnya.
Menahan napas, perlahan aku menjauh dan berjalan menuju pintu yang ku biarkan setengah terbuka tadi. Aku lebih baik pergi dari hadapannya, dari pada harus melihat sorot matanya yang sekelam malam.
"Aku akui mamahku egois" Suara pak Arsya tiba-tiba ku dengar dari arah belakang, membuatku reflek berhenti lalu membalikkan badan. "Tapi nggak mungkin jika harus menghilangkan nyawa seseorang"
"Tapi aku punya buktinya"
"Apa?"
"Bahkan dua kali aku mendengarnya, dan sekali aku merekamnya"
"Apa buktinya?" Sentaknya membuatku kaget. Detik itu juga jantungku bergetar sangat hebat. Kakiku juga seakan tak mampu menopang berat tubuhku.
Bibirku sampai bergetar karena saking takutnya dan ingin menangis.
"Kamu bilang punya buktinya, tunjukan padaku!"
Ku usap pipiku yang telah basah, lantas merogoh saku piyama untuk mengambil ponsel.
Tak kurang dari satu menit, aku menemukan rekaman yang masih tersimpan di handphoneku, ku perlihatkan layarnya tepat di hadapannya.
Dengan cepat pria itu melangkah maju, lalu merebut benda yang ada di tanganku.
Melihat rekaman yang sedang di putar, pak Arsya meneteskan air mata. Sungguh reaksinya membuat hatiku teriris, aku seperti tak rela melihat priaku menangis.
Dia orang baik, aku berharap bu Prilly memang bukan orang yang setega itu.
Tak tahan, aku akhirnya memilih keluar dari kamar pak Arsya.
Baru saja balik badan, tanganku tiba-tiba di raih, kemudian di tarik hingga aku berada dalam dekapannya.
Pria yang masih sesenggukkan ini melingkarkan lengan di pinggangku, dia memelukku seraya berkata. "Maaf" Lirihnya sendu. "Mamah memang menolak pernikahan kita, Tapi aku nggak nyangka kalau dia sesadis itu"
"Kalau terlalu menyakitkan untuk di lihat, lebih baik hapus saja" Ucapku, masih belum membalas pelukannya. "Aku bahkan menyesal sudah memperlihatkan rekaman itu ke bapak"
Pelukan pak Arsya ku rasa kian kencang, sedikit ragu, aku lantas melingkari pinggangnya dengan kedua tanganku.
"Trust me, I'll handle it"
Aku tertegun mendengar kalimatnya. Sungguh di luar ekspektasiku.
Ku pikir dia akan marah dan membenciku, atau bahkan menolakku seperti mamahnya, tapi dugaanku salah besar.
Apa yang membuatnya langsung menerimaku?
Ah.. Kenapa pertanyaan itu mendadak mengusiku?
"Bapak sudah makan malam?" Tanyaku.
"Bahkan belum ada nasi yang masuk ke perutku sejak aku menemukan buku nikah dan laptopmu" Jawabnya, spontan membuatku merenggangkan pelukan.
"Kenapa?" Kembali aku bertanya, tanpa berani menatap wajahnya, pandanganku justru jatuh di dada bidangnya.
"Aku bisa apa saat tahu kamu mengunjungi makam orang tuamu?"
"Pak Arsya tahu aku ke sana?" Ketika aku masih belum menatapnya, tangan pak Arsya tahu-tahu mengangkat daguku supaya aku bisa membalas tatapannya.
Ku telan ludahku dengan gugup, sementara tanhanku kian erat menggamit sisi bajunya.
Tak hanya tampan, pria ini bahkan jauh lebih tampan jika di lihat dari jarak sejengkal.
"Aku menyuruh orang buat membututimu kemana kamu pergi"
"Jadi_" Aku menahan kalimatku.
"Jadi apa?"
"Siapa yang memberitahu pak Arsya kalau aku Afi?" Tanyaku keluar dari topik sebelumnya.
"Shema"
"Oh" Benar feelingku.
Kembali hening.
Hampir satu menit kami hanya saling beradu pandang, akhirnya aku menyerah.
"Aku akan memasak" Kataku melepaskan tangan dari pinggangnya.
Aku tak sanggup jika berhadapan dalam posisi seperti ini, bisa-bisa aku jantungan kalau tidak secepatnya menghindar. Meski sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin aku tanyakan.
Aku juga masih sedikit ragu dengan sikap manisnya, aku merasa pak Arsya hanya mengasihaniku, atau menghiburku saja.
Aku nggak yakin dia benar-benar menerimaku sebagai istrinya.
Masa iya secepat itu.
Bersambung
semoga end nya nanti sudah baikan semua 😊