Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 21 — Ini Sumpahku!
"Kenapa tidak mirip?"
"Hanya saudara kandung yang mirip," balas Chen Huang. "Kami itu saudara sesumpah," lanjutnya dengan kebohongan penuh.
Pemimpin desa kecil ini, Xiao Tian, walau tak cukup mengerti namun mencoba mengabaikan. "Yah ... kalau aku jadi kau, aku lebih memilih menjadikannya tunangan."
"Maaf, saya bukan anda."
Xiao Tian tertawa. Ditariknya kursi kecil yang hendak diduduki Bai Li, membuat wanita itu merengut. "Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Saya sudah menduga, silahkan." Chen Huang menepuk tempat tidur di sampingnya, mengisyaratkan Bai Li untuk duduk di sana. "Soal Suku Gagak?"
Xiao Tian mengangguk. "Apa kelihatan terlalu jelas?"
"Jika saya bilang tidak, maka saya bohong."
Sejenak, Xiao Tian terkekeh. Setelah itu, wajahnya membayangkan keseriusan yang amat jelas. "Apa yang menyebabkan kehancuran Gagak?"
Dengan yakin, Chen Huang menjawab tepat setelah mulut Xiao Tian terkatup. "Tanduk Darah."
Seruan-seruan terkejut terdengar di ruang tersebut. Wanita yang tadi mengobati Chen Huang serta seorang pemuda lain, saling berpandangan dalam heran.
Wajar saja, semua orang di sini menganggap Tanduk Darah tak lebih dari cerita rakyat. Sekarang ada seorang pemuda enam belas tahun yang mampu mengatakannya dengan keyakinan penuh.
Chen Huang sadar dan paham akan keterkejutan mereka, maka dia menyambung. "Keterkejutkan kami belum selesai ketika mereka melakukan pembantaian."
Xiao Tian masih belum lepas dari terkejutnya, mendengar itu dia semakin heran. "Maaf, bagaimana caramu selamat?"
Chen Huang diam beberapa saat, untuk pertanyaan satu ini, dia sendiri pun bingung luar biasa.
Saat masih berada di pondok Suku Serigala, setiap malam dia selalu memikirkannya, tapi sebanyak itu pula dia tak mendapat jawaban. Barangkali wanita iblis itu mengasihinya, tidak sungguh-sungguh membunuhnya? Rasanya mustahil sekali mengingat senjata yang berupa darah beku di punggungnya itu membantai Wu Rui sekaligus semua warga desa tanpa ampun.
"Panjang ceritanya, dan jika saya ceritakan semua, kita harus berdiskusi sehari penuh untuk memecahkan misteri besar."
"Maaf?"
"Saya sendiri pun tidak tahu bagaimana detailnya," Chen Huang mengaku, "tiba-tiba saya bangun dan semua orang sudah dibantai, kemudian saya pergi dari desa." Kemudian diselamatkan kawanan serigala.
"Kisah yang menakjubkan."
"Saya sendiri terkejut." Chen Huang melihat perutnya, jubahnya robek besar di sana. "Sepertinya saya akan merepotkan anda sedikit lagi."
"Jubah baru? Tentu saja, aku sudah menyiapkannya sejak tadi." Xiao Tian menoleh kepada wanita perawat Chen Huang. "A Hui, ambilkan jubahnya, yang hitam-hitam. Harus hitam, kecuali kita ingin bermusuhan dengan gagak," katanya dan wanita itu pergi.
"Anda senang bergurau, ya?"
"Bukan," Xiao Tian menggeleng, "aku tahu warna hitam adalah kebanggaan Suku Gagak lebih dari apa pun. Aku tak ingin engkau berpikir bahwa kami meremehkan Suku Gagak."
"Itu bisa anda lakukan dan saya tak dapat berbuat sesuatu. Bagaimanapun, Gagak hanya tinggal satu," Chen Huang terkekeh dengan hati nyeri.
"Maksud adikku dua," Bai Li berceletuk, "kan?"
Pemuda itu sedikit kaget, setelah beberapa saat keduanya saling pandang, dia mengangguk juga. "Maksudku, dua. Kenapa tidak jubah hitam? Karena dia jadi saudara saya ketika saya sudah pergi dari desa."
"Kalau begitu, dua jubah hitam." Xiao Tian menoleh kepada si pemuda. "Li San, laksanakan!"
"Siap!"
...----------------...
Chen Huang dan Bai Li pergi dari desa dengan tatapan jengkel dari sebagian besar penduduk. Mereka bisa selamat karena Xiao Tian sendiri yang mengantar sampai ke gerbang desa.
"Kau melakukan sesuatu?" tanya Chen Huang yang merasa aneh dengan sikap penduduk, mengingat Suku Merak itu pecinta damai.
Bai Li tersenyum kikuk. "Mungkin mereka hanya terkejut dengan kedatangan kita?"
"Yah ... kurasa aku tak perlu tahu apa yang kaulakukan di sini saat aku tidak sadar."
"Ya, benar! Itu bisa menghambat perkembanganmu!"
Setelah berpamitan dengan sopan, Chen Huang dan Bai Li pergi meninggalkan desa Suku Merak itu dengan perasaan lega. Terutama sekali Bai Li. Setelah dia dibutakan hasratnya untuk melahap Chen Huang, dia mungkin akan bunuh diri saat itu juga jika Chen Huang benar-benar mati.
Kini, keduanya tampak seperti Suku Gagak tulen. Orang tak akan pernah mengira kalau Gagak asli hanya satu orang, yaitu Chen Huang. Memang ada sedikit perbedaan. Suku Merak hanya bisa memberikan jubah hitam, tidak dengan mantel berbulu khas Suku Gagak. Sehingga hanya Chen Huang yang mengenakan mantel tersebut, Bai Li hanya dengan jubah hitamnya.
"Kita tak beri mereka sesuatu untuk bayaran?"
"Sebuah penghinaan bagi Suku Merak untuk menerima bayaran dari orang malang," jelas Chen Huang, "bagi mereka, menolong orang kesusahan bukan pekerjaan, tapi kewajiban. Kalau aku tadi membayar, maka aku sedang mengejek."
Bai Li mengangguk takjub, ternyata ada juga spesies seperti itu, pikirnya.
Setelahnya hanya ada keheningan di antara mereka. Chen Huang yang pendiam, dan Bai Li yang masih merasa bersalah atas kejadian beberapa waktu lalu.
"Soal gagak tadi, aku serius." Tiba-tiba Bai Li membuka suara ketika mereka sudah pergi jauh dari Suku Merak. "Jika lawannya memang Tanduk Darah seperti yang ada dalam dongeng."
Chen Huang menghentikan langkah, menoleh. "Kupikir tadinya kau hanya membelaku?"
"Aku serius," balasnya yakin. "Sungguh, aku serius. Kecuali kau menolaknya. Bukankah aku sudah berjanji akan melindungimu?"
Mereka saling bertatapan, diam tak bersuara. Ketika tiupan angin menghasilkan suara nyanyian bambu di kejauhan, baru saat itulah Chen Huang menjawab. "Latihan-latihanmu itu sudah termasuk melindungiku."
"Kali ini lain lagi, selama kau tak sadar, aku sudah bersumpah tujuh kali untuk mengikutimu."
"Sungguh?"
"Kupikir bahkan sembilan kali."
"Kau tahu ke mana aku akan pergi?" Tiba-tiba, Chen Huang merasa ragu dan dia pasti akan sedih bila Bai Li mengurungkan niat setelah mengetahui tujuan aslinya. "Mungkin kau akan mengingkari sumpahmu bila kau tahu."
"Katakan saja dan aku bersumpah tak akan ingkar," balas Bai Li dengan tatapan menantang karena keraguan Chen Huang. "Katakan!"
"Kalau kau pernah membaca buku yang membahas tentang ketujuh suku, kau pasti pernah membaca soal Raja Malam dan kaitannya dengan Suku Gagak."
Bai Li mengangguk.
Chen Huang melanjutkan. "Orang itulah yang ingin kucari untuk kubawa pulang ke utara, berdiri di garis depan melawan Tanduk Darah, seperti lima ribu tahun silam."
"Akan kutemani kau," Bai Li menjawab hampir tanpa jeda. "Aku akan jadi perisaimu dalam perjalanan kali ini. Apa pun yang terjadi, kau tak akan mati bila aku masih hidup!"
Chen Huang tak bisa pura-pura terkejut karena saat ini dia benar-benar terkejut. Bai Li, seorang wanita aneh yang datang kepadanya minta makan, dan sekarang bersumpah akan jadi perisainya. Bahkan jika seandainya saat ini sang Raja Malam sendiri tiba-tiba muncul dari tanah sambil berseru, "Bentangkan Sayapmu," Chen Huang tak akan lebih terkejut daripada ini.
"Kau serius?" ucapan Chen Huang seperti mengambang. "Sungguh, kau serius?"
"Apa yang akan membuatmu percaya?" Bai Li mendekat, menyentuh bekas gigitan samar di leher pemuda itu. Walau sudah sembuh total, tapi bekasnya tetap tinggal walau tak banyak. "Ini ... bekas luka ini, anggap saja sebagai sumpahku. Aku Bai Li, sebagai kultivator Tingkat Surgawi bersumpah demi langit dan bumi, mulai hari ini akan kulindungi Chen Huang dengan nyawaku sebagai taruhannya! Aku akan menjadi perisai bayangan yang tak tertembus dan pedang hitam yang membekukan seperti milik Raja Malam! Ini sumpahku, jika aku melanggar, biarlah aku dan seluruh leluhurku disimpan dalam neraka paling dalam!"
"Tunggu, kenapa sampai leluhur?"
"Biar kaupercaya," tukas Bai Li menahan tangis. "Tolong jangan menolakku, sampai mati pun aku tak akan bisa mengenyahkan rasa bersalah ini jika kau sampai menolak."
Chen Huang tak tahu harus bilang apa, dia terlalu terguncang dengan sumpah mengerikan itu. Mulai hari ini, Bai Li akan menjaga di sisinya, bertarung bersamanya, dan menjadi pengikut Raja Malam! Itu membahagiannya, sungguh.
"Akan kubalas," lirihnya penuh tekanan.
Bai Li menelengkan kepalanya tak mengerti.
"Katakan, siapa pembunuh guru, murid dan kakakmu. Latih aku sebagaimana kau berlatih dahulu kala. Kita berdua, sepasang gagak ini akan membantai musuh-musuhmu sebagai permulaan. Ini sumpahku!"
Gaya penceritaanmu udah pas menurutku. Enak diikuti. Entahlah, beberapa yang saya baca dan bagus malah sepi.
Saya kurang paham dg selera orang-orang zaman sekarang. Kadang yg minim narasi, typo bertebaran, catlog, cerita serupa, malah lebih banyak pembacanya.
persahabatan Bai Li apa tidak akan diromantisasi?
(dari siang kesel ga bisa komen)