Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Keluarga Angkat Serta Kekerasan (b)
Tiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya, yang bisa Meta lakukan hanyalah meringkuk di atas kasur sambil mengunci diri di dalam kamar. Membiarkan rasa sakit itu menggerogotinya sampai tak bersisa. Meninggalkan Risa yang sepertinya masih berdiri di depan pintu kamar sampai saat ini. Meta terlalu hancur untuk memeluk ibunya itu, dan panggilan dari Aksel membuatnya ingin memaki habis cowok sialan itu.
Namun begitu panggilan dijawab, yang Meta dengar justru kekesalan Aksel terhadap Putra. Yang ia yakini besok akan ada perkelahian antara keduanya. Tak kuasa bangkit, Meta hanya mampu terbaring dengan ponsel di dekat wajahnya.
"Belum puas lo bikin gue kayak gini, Sel? Lo mau Putra ikut terlibat dalam kekacauan yang lo buat sendiri? Sebenarnya apa tujuan lo?"
Tak kuasa membentak, memaki, atau bahkan menyumpahi pemuda di seberang telepon yang mengutarakan kekhawatirannya, Meta hanya mampu berucap lirih. Tenggorokannya masih sakit menahan tangis, lukanya masih baru, namun Aksel malah mengasami lukanya.
"Ta, gue nggak punya tujuan apa-apa. Gue sayang sama lo, karena itu gue nggak mau lo terjebak dalam kegilaan bapak angkat lo."
"Jangan ada satu pun kata yang keluar dari mulut sampah lo lagi, Sel. Gue nggak mau denger, gue minta lo berhenti ikut campur urusan gue!"
Terdengar helaan napas gusar melalui speaker ponsel, yang membuat Meta yakin bahwa Aksel juga merasa sangat tertekan. "Sebenarnya apa yang terjadi setelah gue pergi, Ta? Putra ngaduin hal apa ke bokap lo?" desaknya ingin tahu, beriringan dengan emosi yang mulai tersulut.
"Dia nggak ngadu, tapi gue tau. Lo sebenarnya mau balas dendam sama gue. Lo mau gue menderita, karena dulu gue pernah mempermalukan lo di depan banyak orang."
"Gue nggak pernah mikir kayak gitu!" sentak Aksel kesal, siapa yang membuat Meta memikirkan hal gila ini. "Putra udah cuci otak lo, ya, supaya kita renggang? Dan lo akan tetap kayak gini, terus Putra bisa dengan bebas dapetin lo? Babi banget caranya, Ta. Itu orang bakalan habis di tangan gue!"
Meta memejamkan matanya mendengar amarah Aksel, bibirnya sampai bergetar menahan tangis yang tak kuasa lagi ia redam.
"Putra nggak ngomong apa-apa! Setelah lo pergi, dia juga ikut pergi. Jadi lo nggak perlu bawa-bawa Putra dalam masalah ini."
"Tapi gue yakin dia tau sesuatu tentang lo yang nggak gue tau."
"Jangan terlibat lagi, gue nggak mau lo ikut mati."
Kebohongan Meta dipoles dengan sangat indah, Putra memang berhasil membuatnya terhasut untuk membenci Aksel. Putra berhasil membuat ayahnya semakin membenci Aksel agar cowok itu tak lagi datang ke rumah ini. Apa benar Putra memiliki perasaan untuknya seperti yang ibunya dan Aksel katakan?
"Gue nggak mau kehilangan siapapun, Sel. Gue harap lo ngerti, nggak semua perasaan itu berbalas dan mendapat tempat terbaik."
Meta mengatakan kalimat itu sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tanpa persetujuan dari si penelepon. Sejak dahulu kisah percintaannya sangat miris, Meta enggan mengambil risiko. Biarlah seperti ini, ia menjadi Meta yang kesepian.
...***...
Hari ini Aksel benar-benar kehilangan suasana hati yang bagus. Bahkan sampai masuk jam istirahat, tatapannya selalu terarah pada kursi di sebelah. Belum lagi perkataan pemilik kursi itu semalam yang memaksa Aksel untuk tidak melibatkan Putra, tapi ia sudah geram, memaksanya untuk segera beranjak selepas melawan pergolakan batin. Mencengangkan teman-teman tim inti yang tadinya mengobrol dan bercanda.
Langkah Aksel terus cepat, seirama dengan ketakutan di kepala, beserta segumpal tinju di kedua sisi tubuhnya. Berselisih dengan para siswi meninggalkan aura kematian di belakangnya, menambah kesan ngeri tiap kali siswi-siswi itu memandang. Aksel acuh, tak ingin peduli. Kepalanya hanya dipenuhi satu orang, untuk bergumul di lapangan.
"Bangsat! Gue nggak bisa nahan diri gue, Ta!" maki Aksel untuk dirinya sendiri, desahannya memperlihatkan betapa tertekannya ia saat ini.
Sesampainya di kelas Putra, cowok itu sedang duduk di kursinya sambil memandangi ponsel. Terlihat seperti sedang menerima panggilan seseorang.
"Jelasin ke gue, apa yang lo lakuin di rumah Meta semalam? Lo ngadu?"
Putra yang awalnya tak menyadari kedatangan Aksel pun tersentak, menatap lelaki penuh emosi itu dengan garis wajah menegang.
"Yang jelas nggak ada kaitannya sama lo. Dan gue nggak pernah ngadu." Putra menjawab pertanyaan dengan tenang, tetapi justru membuat Aksel semakin tidak tenang.
Yoga dan Andre entah ke mana, yang saat ini ada di kelas IPA hanyalah Putra beserta lima orang teman sekelasnya. Sedang menyaksikan perdebatan kedua laki-laki itu.
"Kalau lo nggak ngadu, bokapnya Meta nggak akan semarah itu sama gue. Dia nggak akan nyakitin Meta sama Tante Risa!"
"Terus menurut lo, salah gue kalau Om Beni marah sama lo dan nyakitin Meta sama ibunya?"
Saat Putra ingin bangkit, Aksel yang sudah berdiri di dekat meja cowok itu pun menggerakkan kakinya untuk mendorong meja Putra. Membuat pergerakan cowok itu terkunci dan tepian meja berhasil membentur dadanya. Siswi yang menonton aksi itu sontak ternganga, tak mengira Aksel akan berani menyerang Putra.
Aksel mencondongkan tubuhnya, kini wajah mereka semakin dekat. "Sejak awal lo tau masalah ini, kan? Dan lo sedang berusaha ngusir gue, supaya Meta tetap jadi punya lo," ujarnya pelan, tak ingin siswi lain mendengar apa yang mereka ributkan.
"Baguslah kalau lo sadar sama pergerakan gue. Dan gue harap lo ngerti, kalau kehadiran lo cuma jadi masalah buat Meta sama ibunya."
Pukulan keras yang berasal dari meja mengejutkan siswi di kelas itu kembali, sekarang banyak yang menyaksikan kegaduhan itu di luar kelas, mendadak kepo dengan apa yang terjadi. Di dekat pintu ada Bens dan Dewa yang sedang memantau situasi, takut sahabat mereka khilaf dan menghabisi Putra.
"Jangan coba-coba mencuci otak gue, kayak apa yang lo lakuin ke Meta sama bokapnya!"
"Tapi faktanya bener. Lo yang memperparah keadaan mereka, Sel, bukan gue."
Mata Aksel berubah semakin tajam dan sengit, menunjukkan bahwa ia sedang di puncak kemarahan. "Lo pinter ngebalikin fakta. Kalau lo sayang Meta, lo nggak akan biarin Meta dipukulin sama bapak angkatnya!" tukasnya.
Kali ini Aksel membuat kesalahan besar, yang membuat Putra tersenyum penuh kemenangan, karena sejak awal itulah tujuannya. Melihat reaksi cowok itu, Aksel menggigit bibir bawahnya sambil memejamkan mata. Menyesal karena sudah keceplosan.
Selagi tak ada suara yang keluar dari mulut mereka, kedua telinga Aksel mendengar keriuhan di dalam dan di luar kelas. Mengetahui fakta bahwa Meta telah dipukuli oleh ayah angkatnya sendiri. Dan ingat, kejadian seperti ini tak pernah lepas dari sorot kamera. Mendatangkan musibah besar yang tak lagi bisa Aksel tahan.
Aksel menyunggingkan senyum, tangannya bertumpu pada meja. Matanya menghunus tajam lelaki di depannya. "Lo emang anjing! Kali ini gue nggak akan maafin lo!"