NovelToon NovelToon
Danyang Wilangan

Danyang Wilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Mata Batin / Roh Supernatural
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: neulps

RONDHO KANTHIL SEASON 2

4 tahun setelah tragedi yang menjadikan Desa Wilangan tak berpenghuni. Hanum masuk usia puber dan kemampuan spesialnya bangkit. Ia mampu melihat kejadian nyata melalui mimpi. Hingga mengarah pada pembalasan dendam terhadap beberapa mantan warga desa yang kini menikmati hidup di kota.
Hanum nyaris bunuh diri karena setiap kengerian membuatnya frustrasi. Namun seseorang datang dan meyakinkannya,
“Jangan takut, Hanum. Kamu tidak sendirian.”

CERITA FIKTIF INI SEPENUHNYA HASIL IMAJINASI SAYA TANPA MENJIPLAK KARYA ORANG LAIN.
Selamat membaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neulps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Balasan

“Maksud kamu apa nyebut aku gebetan Dea—ah, maksudku, mendiang Dea?”

Dwi yang semula tampak mengantuk itu mukanya langsung tertekuk. Lalu ia membelalak kaget saat melihat Febri mendekat ke Mahesa. “Loh, Febri?” tunjuk Dwi.

“Dweensha?” Febri mengernyit melihat Dwi yang berseragam batik rapi. “Lo—sorry, kamu kakak angkat Nayla?”

“Loh, berarti kalian berdua satu circle sama adek aku?” tanya balik Dwi.

Febri tepuk jidat. “Aku guru di sekolah Nayla. Kebetulan Bang Mahesa ini satpam di sana,” terang Febri, “Tapi kok kamu tahu dia gebetan Dea?”

“Sepupu kamu itu dulu suka diem-diem fotoin Babang satpam itu trus ngirim ke aku?” Raut wajah Dwi yang kebulean itu berubah sendu.

Febri membisiki Mahesa tentang Dwi yang merupakan teman dekat Dea sejak SMA, sampai kuliah pun masuk universitas yang sama. Hanya saja mereka berdua tidak satu kelompok saat KKN. Mahesa kemudian mengangguk paham meski tatapan matanya menerawang.

Dwi buru-buru mengalihkan topik, “Yaudah, skip dulu soal itu. Sekarang kalian ada perlu apa tiba-tiba hubungi aku?”

Nayla segera mengarahkan layar HP-nya pada Hanum. “Bu Dwi, saya minta tolong, periksa toilet murid perempuan lantai dua—entah di gedung yang mana, pokoknya tolong banget Bu Dwi buruan ke sana, ya! Darurat soalnya!”

Nayla mengusap lengan Hanum untuk menenangkannya. “Kak, nanti aku jelasin di rumah.”

“Oke!” jawab Dwi sambil beranjak dari kursi kerjanya. Ia pasang airbuds di telinga lalu melangkah terburu-buru menuju gedung-gedung kelas bertingkat dengan sengaja membiarkan videocall terus menyala.

“Kami nggak ganggu kerjaanmu kan, Kak?” tanya Nayla.

“Nggak. Ini udah jam pulang. Aku lagi ngantuk berat tadi, jadi sengaja merem bentar biar nggak oleng pas nyetir nanti.”

Hanum merasa lega karena kakak Nayla tak menunjukkan sikap terbebani oleh permintaan tolongnya. Kartika mencolek Nayla. “Kakak kamu langsung mau aja disuruh?”

Nayla mendengus tawa lalu berbisik, “Dia paham mana permintaan tolong dan mana suruhan.”

Kartika manggut-manggut. “Nice...”

“AAAAARGH!!”

Ketenangan semua orang ambyar tatkala jeritan melengking suara perempuan terdengar. Tak ayal Hanum dan rekan-rekannya langsung terkejut juga karena suara jeritan itu bahkan terdengar sampai di telinga mereka.

Dwi dengan sigap mengantongi HP di saku perut kemeja batiknya dengan posisi kamera belakang menghadap luar. Sengaja, supaya Nayla dan rekan-rekannya juga mengetahui keadaan. Kemudian Dwi berkata, “Sorry, Guys, agak goncang!” lalu berlari ke arah sumber suara.

Beruntung suara jeritan itu tak jauh. Jadi Dwi dan beberapa murid juga guru lain bisa segera mengetahui siapa dan sebab jeritan itu terdengar. Febri dan yang lain harap-harap cemas karena mengira korban bully-lah yang menjerit barusan. Tapi Hanum malah menyeringai.

“Itu Tania,” ucap Hanum sambil tersenyum.

Sontak Nayla dan yang lain saling lirik. Bahkan Kartika dan Mahesa cukup merinding dibuatnya. Mirip ekspresi bengis Mirandani, pikir mereka.

Dwi yang lebih dulu tiba di dekat Tania. Gadis cantik itu tampak meringkuk sambil mengerang kesakitan di bawah anak tangga. “Kamu kenapa? Ada yang luka?” tanya Dwi sembari membalik badan Tania.

Dwi cukup terkejut melihat wajah Tania basah, kedua pipi memerah, rambut panjangnya awut-awutan, dan kemeja yang terbuka hingga dada. Dwi langsung menduga ada yang coba melecehkan Tania. “Tolong jawab, apa yang terjadi sama kamu barusan sampai kamu jatuh di sini dan jejeritan?”

Namun Tania membisu. Tatapan matanya kosong tapi raut wajahnya ketakutan. Telunjuk tangannya terangkat secara perlahan, mengarah pada tangga yang tak terdapat siapa pun di sana. “H—ha—han—han—hantu...” ucapnya dengan terbata.

Dwi mengernyit. Ia segera mengalihkan pandangan ke arah yang Tania tunjuk. Tapi sebagai pemilik indra keenam, Dwi tak melihat makhluk astral satu pun di tempat itu. Ia menggeleng lalu berkata, “Nggak ada apa-apa di sana. Kamu pasti salah lihat.”

Tania menarik lengan kemeja batik Dwi kuat-kuat sambil menangis meraung. “Saya lihat, Bu! Di toilet lantai dua! Item gosong! Bau—”

“Huweeek!” Tiba-tiba Tania muntah di bawah kaki Dwi.

Beberapa murid dan guru yang ikut berkerumun di tempat Tania langsung menyingkir dengan ekspresi wajah jijik. Dwi mendengus lelah. Sejenak ia biarkan Tania menyelesaikan muntahnya. Lalu memapah gadis yang lunglai itu menuju toilet bawah tangga.

“Bu Vika,” panggil Dwi pada seorang guru yang ada di dekatnya, “bisa tolong ambilkan jaket saya di ruang guru?”

Guru baru bernama Vika itu pun langsung mengangguk. “Iya, Bu!” Ia lalu berlari melaksanakannya.

“Yang cowok,” panggil Dwi pada murid-murid yang masih menonton. “Kalian ambilin kursi roda di UKS, please! Sama panggilin pak janitor buat bersihin ini! Oh, sama panggilin Pak Husein.”

“Siap, Bu!” sahut beberapa murid laki-laki.

“Yang lain bubar!” titah Dwi. Ia kemudian menutup pintu toilet dari dalam. Dwi menempatkan Tania di kloset duduk yang tertutup. “Tunggu di sini, ya. Saya mau nyuci sepatu dulu—”

“BU!” jerit Tania sambil menarik tangan kiri Dwi. “JANGAN TINGGALIN SAYAAA!!” rengeknya dengan tangis yang menyedihkan.

Dwi masih merasa aneh dengan keadaan itu. Ia pun berjongkok dan menatap gadis yang ketakutan itu lekat-lekat. “Bener kamu lihat penampakan?”

Tangis Tania langsung hilang. Ia tampak melotot sambil celingukan. Dwi berdecak. “Beneran kamu nggak diapa-apain orang?”

Seketika Tania mengalihkan pandangannya ke mata Dwi. Lalu Tania menangis lagi. “Aku di-bully, Buuu!” Lalu tangisannya reda dan mulai kembali celingukan. “Aku lihat hantu sereeem! Jijiiikk!!”

“Justru dia tukang bully-nya, Bu!” ujar Hanum yang suaranya terdengar di telinga Dwi. “Biarin aja dia digangguin hantu! Bu Dwi mending tolongin Mbak Kinar yang tadi dia bully di toilet lantai dua!”

Dwi mengernyit mendengar sarkasme Hanum. Seingatnya saat mengantar pulang anak perempuan itu beberapa minggu yang lalu tidak sesinis dan setegas itu. Dwi tak bisa menyahut karena Tania bisa menyadari bahwa dirinya sedang berkomunikasi dengan ponsel yang menyala.

Dwi melirik ke arah pojokan toilet. Dilihatnya sosok hitam yang diyakininya sebagai pengganggu Tania. Bau amis dan busuk menguar. Tania kembali jejeritan. Kontan pintu digedor orang-orang yang ada di luar.

“Bu Dwi, kenapa anaknya jerit-jerit gitu?”

Rupanya Vika yang datang. Dwi segera beranjak membukakan pintu dengan terus dirangkul perutnya oleh Tania yang histeris ketakutan. “BU! ITU HANTUNYA, BU, USIR DIA BUUU!!”

Dwi frustrasi. Perutnya terus didekap Tania dengan erat sambil mendengar anak itu teriak-teriak. Sedangkan di seberang malah mendengar Hanum tertawa terpingkal-pingkal. Beruntung guru PAI segera tiba bersama murid yang mengantar kursi roda.

“Tania?” panggil guru PAI. “Beneran kamu lihat hantu?”

Ditanyai begitu membuat Tania makin menangis histeris. “Dek, keadaan kamu lagi kalut gini, biar dianter ke musala trus ditolongin Pak Husein, ya,” ujar Dwi sambil berusaha melepaskan dekapan Tania.

Awalnya Tania menolak, tapi Husein berusaha membujuknya dengan penuh pengertian hingga akhirnya anak itu menurut dan menjadi sedikit tenang. Vika membantu Tania duduk di kursi roda setelah membungkus badan atas anak itu dengan jaket Dwi. Lalu Vika mendorongnya pergi diikuti yang lain.

Tak buang waktu, Dwi segera berjingkat menaiki tangga menuju toilet yang Hanum maksud. Dan benar saja, ada seorang murid perempuan yang sedang terduduk lemas bersandar dinding di dekat pintu toilet. “Mbak Kinar!” pekik Hanum, membuat Dwi langsung melepaskan airbuds-nya.

Meski dalam pikiran Dwi masih dipenuhi pertanyaan mengenai Hanum yang tahu kondisi di sekolahnya, tapi ia tak mau ambil pusing saat ini. Diangkatnya wajah Kinar yang basah dan pucat pasi. “Kinar? Kamu dengar saya?” tanya Dwi.

Kinar merespons dengan anggukan lemah. Dwi membantu gadis yang lunglai itu untuk berdiri lalu memapahnya keluar toilet. “Bisa kamu ceritain apa yang terjadi?” bisik Dwi.

Kinar menggeleng. Lalu terisak. “Saya—tadi dipukulin sama tiga murid—”

“Tania?” tukas Dwi. Sontak Kinar menatap Dwi dengan nanar. “Bu Guru tahu?”

Dwi mengangguk. “Trus kenapa malah dia yang histeris kayak gitu?”

Kinar menunduk. “Kalo itu... saya ndak tahu, Bu. Itu bukan perbuatan saya.”

“Oke, saya percaya sama kamu,” sahut Dwi. Meski kenyataannya ia sudah diberi tahu Hanum dan sosok hitam yang tadi memperingatinya untuk tak menolong anak jahat saat di toilet, Dwi merasa harus mencari tahu jawaban dari sisi korban. “Apa kamu juga lihat hantu yang Tania sebut?”

Kinar menggeleng. “Ndak tahu. Saya ndak bisa lihat yang gitu-gitu.”

Dwi manggut-manggut. Ia terus memapah Kinar menuju kelasnya yang sudah kosong untuk mengambil tas. Kinar sempat tak enak pada Dwi yang menemukannya bahkan membantunya. “Nanti Bu Dwi di-blacklist lho sama kepsek.”

Dwi mengernyit. “Maksud kamu?”

“Tania... ponakan kepsek, Bu. Tiap hari dia bareng temen-temennya bully saya. Dan mereka selalu aman nggak dapet hukuman. Karena punya bekingan.”

Gigi Dwi mengerat. Kedua tangannya terkepal. Diamatinya kondisi Kinar yang basah dan gemetaran. Bahkan ia menemukan lebam dan bekas sayatan yang mengering di tangan gadis itu. Napas Dwi memburu.

“Ayo, saya antar kamu pulang.”

“Ndak usah, Bu. Saya pulang sendiri aja.”

Dwi melotot. Kinar menunduk, takut. Dwi meremas lengan Kinar. “Kamu nggak bisa terus-terusan ngalamin kejadian buruk kayak gini. Saya akan cari cara buat bantu kamu sekaligus kumpulin bukti.”

“Percuma, Bu! Lawan kita Pak Kepala. Beberapa guru juga ngelindungin Tania.”

“Justru itu! Saya makin nggak bisa diem aja ngebiarin ini.”

Kinar menelan ludah susah payah. Dwi menatapnya tajam. “Kamu takut saya kenapa-napa? Kamu ngeremehin saya? Saya juga punya bekingan, kok. Bahkan lebih dari Kepala Sekolah serakah itu.”

Kinar tak bisa menolak lagi. Ia menurut saja saat Dwi menggeret tangannya melewati tempat-empat sepi. Meski sudah berjanji akan membantu Kinar, nyatanya Dwi tak mau ambil risiko dengan menunjukkan pembelaannya secara terang-terangan. Ia perlu mengenakan topeng untuk menipu semua orang.

1
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ahmad Abid
lanjut thor... bagus banget ceritanya/Drool/
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
reska jaa
wahhh.. masih sempat up.. thank you👌
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
lanjut thoor
reska jaa
bagus cerita muu thour.. di lanjut 🥳🥳
n e u l: terima kasih /Pray/ siapp /Good//Smile/
total 1 replies
Lyvia
suwu thor u/ upnya, matrehat
n e u l: sami-sami /Pray/ matur suwun juga terus mengikuti
total 1 replies
Ali B.U
apa yang terjadi sama Pak Dirman.?

lanjut
n e u l: masih misteri ya pak /Joyful/
total 1 replies
Lyvia
lagi thor
Ali B.U
next.
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
jangan2 Siska anak yg punya panti tempat kinar yg mau di jadiin tumbal ...nah lho thor
n e u l: identitas asli Siska ntar direveal /Sneer/ ikuti terus ya kak /Joyful/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!